Sebelum menutup tulisan, ingin urun pendapat saja bahwa saya merasa kebanyakan masalah di Indonesia tidak diselesaikan esensinya.
Kalau masalahnya proses berpikir kritis, mungkin lebih tepat untuk memperbaiki proses belajar mengajar di sekolah. Entah meningkatkan kemampuan guru, memberikan stimulan yang tepat agar murid bisa berpikir kritis, dan masih banyak lagi jalan lain.
Bukan dengan menjadikan pilihan ganda sebagai kambing hitam. Karena kalau meniadakan pilihan ganda sebagai alat evaluasi, pasti menimbulkan masalah baru lagi.
Pengalaman semasa SMA, lingkungan memang berpengaruh besar pada proses belajar mengajar. Saya merasa beruntung karena bisa berada di lingkungan dengan orang-orang yang menjadi stimulan untuk belajar dan tentunya untuk berpikiran kritis.
Meskipun saat SMA saya harus lelah naik kereta KRL pulang pergi bercampur kambing, ayam, sayuran. Kami yang naik kereta bahkan punya panggilan "Anker, atau ANak KEReta!".
Saya bahkan pernah nyaris di-palak (dimintai uang secara paksa) anak-anak STM Manggarai karena saat pulang, saya berjalan ke arah Stasiun Manggarai, bukan ke Stasiun Tebet seperti biasanya.
Waktu itu saya lolos karena mereka melihat nama SMA, dan memang kami tidak pernah bermusuhan dengan sekolah manapun. Zaman saya sekolah, banyak sekali sekolah (terutama STM) yang tidak rukun sehingga sering terjadi tawuran.
Baiklah, saya ingin menutup tulisan dengan meniru lagu Maudy Ayunda, "untuk apa".
Untuk apa menutup lubang disini,
Namun lubang muncul di tempat lain.
Untuk apa lari dari esensi,
Labih baik langsung selesaikan pokok masalah.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H