Mohon tunggu...
Tulus Abadi
Tulus Abadi Mohon Tunggu... Lainnya - Ketua Pengurus Harian YLKI

Lahir dan besar di Purworejo, Jateng. Alumni SMA Muhammadiyah Kutoarjo, dan alumni Falultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Jateng. Aktivis perlindungan konsumen sejak 1996, kini sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan Pemerhati Kebijakan Publik. Email: tulus.ylki@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

2018 Ekonomi Digital dan Marginalisasi Hak Konsumen

29 Desember 2018   09:05 Diperbarui: 29 Desember 2018   09:37 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada 2018 fenomena ekonomi digital makin terasa menembus ruang dan waktu. Hampir semua sisi ekonomi mikro tersentuh ekonomi digital ini, konsumen pun sebagai pengguna akhir ekonomi digital dengan berbagai turunannya, makin gandrung dibuatnya. Harus diakui, kehadiran dan eksistensi ekonomi digital makin membuat aktivitas konsumen makin mudah, murah, efisien dan ekonomis. 

Oleh karena itulah ekonomi digital telah memberikan kontribusi ekonomi makro secara signifikan. Diprediksi pada 2025 nanti, ekonomi digital akan berkontribusi pada PDB mencapai Rp 730 triliun. Menurut Google Temasek Economy SEA, Indonesia menjadi negara tercepat dan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.

Fenomena ekonomi digital, yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi; adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari. Dan mempunyai lompatan positif untuk peradaban manusia secara keseluruhan, dan pada sisi mikro membuat aktivitas kehidupan manusia semakin mudah, murah, dan cepat.

Namun, ironisnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini. Dalam aktivitas keseharian ekonomi digital berupa transaksi belanja online/e-commerse, transportasi online, dan finansial teknologi, berupa pinjaman online. Pada tataran ini masih terjadi berbagai paradoks, yakni;

Pertama, masih rendahnya literasi digital konsumen. Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen. Yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan. 

Juga prinsip kehatihatian konsumen terhadap data pribadi, mulai alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, photo pribadi, dan video. Terhadap kehatihatian perlindungan data pribadi, konsumen juga masih rendah. Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang endingnya merugikan konsumen. 

Dan hal ini terbukti, data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki rangking pertama, selama 3 (tiga) tahun terakhir, berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerse, dan atau pinjaman online.

Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Manakala nilai transaksi terus meningkat, tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah masih sangat lemah. Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap, baik dalam membuat regulasi, pengawasan dan atau sanksinya. 

Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350-an, kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan. 

Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerse. Transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Padahal potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar. Terbukti, menurut data 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias terjebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman.

Ketiga, masih lemahnya regulasi. Aneh bin ajaib, jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun