dedaunan kembali merekah
embun menyambut pagi yang cerah
udara berselimutkan dingin
meneduhkan hati yang terbaring
Hari ini, teknologi semakin canggih. Kita bisa meminta kecerdasan buatan (AI) menulis puisi, membuat lagu, menerjemahkan emosi, bahkan menjawab pertanyaan hidup yang rumit. Namun, dibalik kecanggihan itu, muncul satu pertanyaan sederhana tapi mendalam: apakah AI bisa benar-benar merasakan?
Mungkin AI mampu mendeskripsikan pagi yang cerah, menyusun kata tentang embun dan dedaunan, bahkan merangkainya seperti puisi yang di atas. Tapi apakah ia bisa menjiwai kesejukan itu? Dapatkah ia mengerti ketenangan yang menyentuh jiwa saat melihat kabut pagi turun perlahan? Jawabannya: tidak.
Jiwa adalah inti dari kemanusiaan. Ia adalah pusat dari empati, kasih sayang, kesadaran akan makna hidup, serta kemampuan merasakan dan memilih dengan hati. Teknologi mungkin mampu meniru pikiran manusia, tapi belum bisa menyentuh wilayah terdalam yang disebut "jiwa".
Tanpa kehadiran jiwa, ilmu dan teknologi bisa kehilangan arah. Apa gunanya kecerdasan jika tidak ada kebijaksanaan? Apa artinya kemajuan jika tak disertai welas asih?
Pendekatan budaya Barat selama ini mencoba memahami jiwa secara rasional---melalui teori, observasi, dan eksperimen ilmiah. Jiwa dipandang sebagai fenomena yang dapat dipelajari, diukur, bahkan dijelaskan secara neuropsikologis.