Pemberlakuan mata pelajaran Coding dan AI untuk siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai tahun ajaran 2025/2026 merupakan langkah ambisius dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Langkah ini membawa Indonesia ke era baru pendidikan berbasis teknologi, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana mendidik anak-anak agar siap menyerap pelajaran ini tanpa kehilangan esensi utama dari kreativitas dan imajinasi.
Saya jadi teringat pengalaman pertama saya dengan coding pada tahun 1997, saat bekerja di bagian Data Processing di Jakarta. Dengan komputer Windows 98, saya mulai bereksperimen dengan program bawaan bernama QBasic. Tampilan layar hitam putih sederhana kala itu menjadi arena eksplorasi tanpa batas. Dari sekadar membuat titik-titik bergerak, hingga menggambar manusia sederhana menggunakan algoritma, saya menyadari bahwa inti dari coding bukan hanya pada teknologinya, melainkan pada daya imajinasi. Saya bahkan sempat mencoba membuat dua figur manusia bergerak seolah-olah sedang berkelahi dengan pedang. Meskipun sederhana, proses ini memerlukan ratusan baris algoritma dan banyak pemikiran kreatif.
Namun, perjalanan itu terhenti karena gejolak reformasi pada tahun 1998. Pengalaman tersebut tetap menjadi pelajaran berharga bahwa inovasi dan kreativitas selalu dimulai dari rasa ingin tahu dan imajinasi.
Kembali pada kebijakan mata pelajaran Coding dan AI di sekolah, tantangan utama bukanlah materi pembelajaran, tetapi bagaimana menciptakan ruang bagi anak-anak untuk mengembangkan imajinasi mereka. Pada usia dini, anak-anak perlu lebih banyak bermain dan bereksplorasi tanpa terlalu dibebani tugas-tugas sekolah yang menumpulkan kreativitas.
Imajinasi, menurut Immanuel Kant, adalah kemampuan mental untuk membentuk gambaran baru yang melampaui pengalaman nyata. Imajinasi memungkinkan manusia untuk menciptakan, memahami, dan memaknai sesuatu di luar apa yang langsung terlihat. Jika anak-anak diberikan waktu dan kebebasan untuk mengeksplorasi ide-ide mereka, mata pelajaran Coding dan AI dapat menjadi sarana yang luar biasa untuk mengasah kreativitas mereka.
Seorang tokoh pendidikan Indonesia pernah mengatakan bahwa anak-anak perlu lebih banyak bermain, bukan hanya duduk mengerjakan tugas. Dengan bermain, anak-anak menciptakan dunianya sendiri, membangun pemikiran abstrak, dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Inilah yang menjadi dasar bagi pembelajaran Coding dan AI.
Sebagai catatan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pernah menyampaikan pentingnya menghasilkan ahli-ahli coding, AI, dan machine learning untuk mendukung visi Indonesia Emas. Tetapi, ambisi ini hanya akan tercapai jika generasi muda memiliki imajinasi yang menjadi bahan bakar utama inovasi. Tanpa imajinasi, hasil pembelajaran akan kaku dan hanya terbatas pada apa yang diajarkan.
Sejarah perkembangan digital hingga kehadiran teknologi AI dimulai dari imajinasi. Dari layar hitam putih hingga tampilan realitas virtual yang kaya warna, semuanya berawal dari pemikiran kreatif manusia. Untuk itu, pelajaran Coding dan AI harus lebih dari sekadar memahami teknologi. Ini harus menjadi ruang bagi anak-anak untuk bermimpi besar, bermain dengan ide-ide baru, dan menciptakan masa depan yang tidak hanya canggih tetapi juga manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H