Akhir-akhir ini, berita tentang guru semakin ramai di media sosial. Saya teringat masa ketika menjadi guru SMA di Maluku Tenggara pada tahun 2005. Saat itu, di daerah terpencil tanpa sinyal internet dan fasilitas air bersih di rumah, kebutuhan air dipenuhi dari satu sumber air di tengah desa. Program pengajaran ini merupakan inisiatif dari Bupati setempat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengundang guru-guru dari Pulau Jawa, mengingat minimnya sumber daya manusia (SDM) guru di daerah tersebut. Selama empat tahun mengajar, saya merasakan bagaimana murid-murid sangat menghormati profesi guru, dan hubungan antara pendidik dan anak didik terasa begitu harmonis.
Sebagai seorang guru, saya selalu merasa bahwa profesi ini berbeda dari profesi lainnya. Guru bukan sekadar pekerja dengan jam kerja dan rutinitas yang kaku. Guru adalah panutan, digugu dan ditiru, yang berarti tindakannya akan menjadi contoh bagi anak didik, baik dalam hal pengetahuan maupun akhlak.Â
Guru bukanlah buruh yang bekerja hanya berdasarkan jadwal; ia hadir sebagai pembentuk karakter, mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, penilaian terhadap profesi guru tidak dapat dilakukan secara parsial atau hanya berdasarkan satu tindakan yang terlihat tanpa memahami konteks dan keseluruhan tanggung jawabnya.
Kesalahpahaman dan Persepsi Parsial
Sayangnya, di zaman sekarang, sering kali sebuah tindakan guru dinilai secara parsial, tanpa melihat konteks menyeluruh. Sebuah tindakan sederhana, seperti memarahi atau menegur siswa, dianggap negatif karena dilihat sebagai tindakan terisolasi tanpa mempertimbangkan alasan di baliknya.
 Kasus seorang guru yang menjewer murid, misalnya, menjadi viral setelah diunggah di media sosial. Sebagian besar netizen dengan cepat menghakimi tindakan tersebut sebagai kekerasan, meskipun mungkin ada alasan pendidikan di baliknya. Akibatnya, kasus ini dibawa ke ranah hukum, yang memunculkan pertanyaan serius tentang bagaimana masyarakat memandang profesi guru saat ini.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut "kebenaran persepsi," yaitu menilai sesuatu hanya dari sudut pandang pribadi atau informasi yang tidak utuh. Seperti yang pernah dijelaskan oleh wartawan Jawa Pos, Dahlan Iskan, kebenaran persepsi dapat berbahaya karena sering kali mengabaikan fakta secara menyeluruh. Penilaian masyarakat yang hanya berdasarkan cuplikan singkat di media sosial menciptakan bias dan kesalahpahaman terhadap profesi guru.
Etika Profesi dan Tantangan
Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga etika profesi guru. Profesi guru, seperti halnya profesi lainnya, tidak boleh dinilai dari satu peristiwa saja. Apabila satu tindakan dianggap salah dan disebarluaskan tanpa memahami konteksnya, maka seluruh profesi pendidikan dapat terdampak. Dalam pepatah, "Nila setitik, rusak susu sebelanga," artinya satu kesalahan kecil dapat mencoreng citra seluruh profesi.
Beberapa kasus plagiarisme yang terjadi di kampus misalnya, menunjukkan bahwa tantangan terhadap etika profesi datang dari berbagai arah. Jika guru dan pendidik tidak menjaga etika mereka, maka kredibilitas dan kepercayaan terhadap profesi ini akan terkikis.
Penguatan dari Dalam
Solusi dari masalah ini adalah memperkuat fondasi internal profesi guru. Dalam dunia yang semakin terbuka, peran guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai panutan yang harus memiliki integritas. Semua elemen di luar profesi ini, mulai dari masyarakat, media, hingga pemerintah, harus mendukung dan memperkuat posisi guru. Hanya dengan menjaga etika dan memperkuat nilai-nilai positif, profesi ini dapat bertahan menghadapi tantangan zaman.