Mohon tunggu...
Teungku.nurdin Teungku.abd.gani.isa
Teungku.nurdin Teungku.abd.gani.isa Mohon Tunggu... -

sebagai manusia yang haus ilmu pengetahuan,makanya sangat senang membaca dan menulis yang bisa berguna bagi semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rawagede: Suatu Pembelajaran Hukum Bagi Rejime SBY

22 September 2011   16:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan pengadilan negeri Belanda yang memenangkan para keluarga korban pembantaian Rawa Gede, sebagai  suatu pembelajaran hukum yang semestinya bisa di tiru oleh pemerintah Indonesia.Meskipun pembantaian  yang di lakukan oleh pasukan rejim kolonial Belanda terhadap 400-an  penduduk Rawa Gede,Karawang  Jawa Barat itu  terjadi pada tanggal 9 Desember tahun 1947 lalu,tetapi masih bisa juga  di adili sebagaimana mestinya dan pemerintah Belanda menagkui kesalahannya,serta berjanji akan memberikan ganti rugi dan santunannya  kepada keluarga korban Rawa Gede  (Balong Sari),Karawang,Propinsi Jawa Barat .

Dalam hal ini pemerintah Indonesia tidak perlu merasa malu,meskipun proses pengadilan yang dilakukan para korban kebrutalan Belanda di Rawa Gede(balong Sari)di negeri Belanda tidak terdengar( mendapat )dukungan dari pemerintah Indonesia,kemungkinan rejime ini khawatir akan menjadi preseden negattif bagi para pelaku pelanggar HAM yang masih berkeliaran bebas di Indonesia.Inilah barangkali bedanya hukum Belanda yang dianggapnya penjajah dengan hukum Indonesia yang sudah merdeka,meskipun para penegak hukum Indonesia masih berkiblat ke  negara kincir angin tersebut. Karena jika para penegak hukumnya masih seperti itu ,maka apa yang di lakukan oleh para penegak hukum Belandapun mestinya juga di tiru .

Pemerintah Belanda masih menganggap relevan dan mengusut tuntas tanpa membedakan asal usul status bangsa penggugat tersebut,karena memang  pemerintah Belanda yang pernah menjajah Indonesia,khususnya pulau Jawa sekitar  tiga abad lebih itu masih menganggap hukum sebagai panglima,sehingga menyangkut masalah kejahatan terhadap kemanusiaan tidak ada istilah kadaluarsa,meskipun peristiwa tersebut terjadi  64 tahun  lalu. Karena itu tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia   untuk mengabaikan berbagai kebrutalan aparatnya terhadap warga masyarakat yang masih belum terbukti kesalahannya,karena belum melalui proses suatu pengadilan yang adil dan legal menurut hukum dan aturan yang berlaku.

Sementara pemerintah Indonesia yang masih banyak sekali menanggung dosanya terhadap berbagai kekejaman terhadap warganya sendiri dengan berbagai dalih dan alasannya yang sangat naif masih berkelit ,untuk mencoba lari dari tanggung jawabnya.Padahal sebagian para "penjagal"tersebut masih berkeliaran bebas tanpa tersentuh hukum Indonesia yang konon di sebutnya sebagai panglima,tetapi dalam kenyataannya tidak lebih dari isapan jempol belaka.

Bagi masyarakat Indonesia yang beradab dan menghormati hukum  sebagai panglima,bisa di pastikan sangat prihatin  jika melihat bagaimana penegakan hukum di Indonesia .Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan negara terhadap warga negaranya belum di selesaikan secara hukum ,selain hanya berupa jargon-jargon politik belaka .Berbagai pembantaian masa lalu belum tuntas,meskipun para saksi mata,keluarga korban dan para pelakunya juga masih ada..Lalu mengapa juga pemerintah masih berkelit dengan slogan"Lupakan masa lalu,dan tataplah kedepan".Padahal bagi pemerintah Indonesia sekarang masa lalu dan kedepan sama-sama gelap dan kelam.

Peristiwa  Tanjung Priuk yang terjadi pada tanggal 12 September tahun 1984,yang menelan korban ratusan jiwa itu masih bisa diusut tuntas karena masih ada para pelakunya ,baik Tri Sutrisno mantan Wakil Presiden yang saat peritwa tersebut terjadi beliau sebagai Pangdam  Jaya.Semenatara mantan anggota DPR,Ahmad Fatwa dan para korban lainnya yang selamat juga masih bisa di periksa untuk menyelesaikan masalah tersebut.Tidak seperti sekarang tidak jelas apa yang sebeanrnya terjadi waktu itu,sehingga gerakan yang di pimpin oleh Ahmad Biki itu dibantai oleh aparat rejime Orde baru .

Selanjutnya pemebantaian terhadap warga masyarakat Talang Sari yang terjadi pada tanggal 7 Februari tahun 1989 yang menewaskan puluhan korban jiwa.Menurut pihak pemerintah Orde Baru kononnya mereka tersebut merupakan kelompok ekstrimis yang berkumpul ,dan mereka  anti rejim otoriter Orde baru . Sementara menurut informasi lainnya,bahwa mereka itu merupakan kelompok pengajian yang sedang mengaji di tempat tersebut. Nah,untuk lebih jelas semestinya hal itu segera di usut tuntas,karena para korban yang selamat atau para keluarganya dan saksi-saksinya masih ada.Bahkan Komandan militer yang memimpin operasi militer terhadap masyarakat Talang Sari itu ,Hendro Priyono masih bisa di mintai keterangannya. Ada apa rupanya sehingga masalah tersebut belum juga diusut ?.

Menjelang ambruknya rejime Orde baru  tahun 1998,puluhan aktifis di culik oleh aparat keamanan rejime otoriter Orde baru meskipun menjelang saat keruntuhannya.Dan sampai sekarangpun korban penghilangan paksa tersebut seakan-akan sudah diabaikan begitu saja oleh pemerintah,meskipun salah satu otak pelakunya masih ada ,dan ia sendiri sudah mengakui perbuatannya dalam sidang kehormatan militer di masa Wiranto. Tetapi sampai kinipun mantan Danjen Kopassus sekaligus menantu orang kuat rejim Orde baru itu masih bebas tidak tersentuh hukum,selain pensiunan dini sebagai keputusan badan kehormatan militer pimpinan Jenderal Wiranto waktu itu.

Selain pelanggaran Ham yang dilakukan oleh negara terhadap warga  masyarakatnya itu ,juga masih banyak lagi peristiwa serupa yang juga masih diambangkan ,meskipun acapkali menjadi sasaran tembak para penggiat badan organisasi hak asasi  manusia  internasional,seperti peritiwa pembantaian Mahasiswa Trisakti,Semanggi I-II ,Teungku Bantaqiyah (Butong Ateuh-Aceh),Haur Kuneng,Timor Leste,Poso ,Papua ,Ambon . Para pelakunya juga masih banyak yang bisa diseret kepengadilan Hak asasi manusia nasional  maupun Internasional,bahkan bisa saja mereka yang telah melakukan kebiadaban tersebut diseret ke ICCpengadilan kejahatan perang internasional)  itu. Apalagi Indonesia sudah lama meratifikasi hukum-ham PBB,serta sudah beberapa kali menjadi salah satu negara anggota oraganisasi  hak asasi manusia PBB tersebut.Bagaimana mungkin sebuah negara yang menjadi anggota Ham PBB,tetapi di tubuhnya sendiri masih berlepotan dengan "genangan darah"para korban kekejaman terhadap masyarakatnya sendiri  yang tentunya melanggar Ham itu sendiri.Karena  masyarakat yang dibantai tersebut  tidak melalui proses pengadilan terlebih dahulu,selain hanya dugaan-dugaan belaka. Mengapa hal itu di diamkan saja,meskipun mereka sebagai pelakunya yang harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya itu masih hidup  ?  Apakah karena mereka sekarang sudah menjadi orang-orang yang kebal hukum ?  Atau karena mereka sekarang sudah menjadi para elite politisi,dan bagaimana kedepan sekiranya para pelakunya menjadi pemimpin negeri ini ?  .Karenanya seret mereka segera sebelum mereka berkuasa sehingga akan mengulangi kebiadabannya. Jika Belanda bisa melakukannya,kenapa Indonesia tidak ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun