Waktu
belum dapat aku mengeja satu satu
waktu yang meliliti buruh tani disamping kiriku
serta para nelayan disisi kananku
tentang mereka yang meniduri kemiskinan sepanjang usia
dan menjadi sebuah alat warisan untuk anak cucu
tapi aku harus mengeja waktu dari sebuah perjalanan kecil
tentang kekejaman kota menggorok secara bengis kehidupan
belum sempat aku mengeja tentang derita hidup
yang diarungi para nelayan tatkala tangan raksasa
mengangkat rompong mereka dari laut
serta petani yang tak putus putusnya dicengkram kering panen
sebab kemarau panjang tidak hanya disuguhkan rotasi bumi
tapi subsidi pupuk jauh lebih mencekik
ini yang belum kueja lantaran aku dihadapkan
pada satu sikap hidup membatu dimana serentak kusaksikan
puluhan anak usia tekamenyerbu terminal
setelah lelah jajakan botol aqua bersegera tenadakan tangan
persis pengemis ompong di gang gang pasar
belum juga sempat kueja secara tuntas
rakitan etalase kebudayaan diMandar
serta rapuhnya susunan kesenian dihadapan penyantet kreatifitas
sebab ada saja tangan gemar merayap
menyerbu bangunan roti penguasa
lantas aku kembali disuguhi fenomena kerdil yang dipajang
sekelompok pengemis bengis penghuni pojok terminal
aku rasanya ingin tidur saja tanpa igau
lalu merajut mimpi manis
menanggalkan perhelatan jiwa dalam kejujuran
tapi bagaimana mungkin aku bisa lelap dan diam
sementara belantara masa datang harus dikembarai
perjalanan jaga sekalipun berarti sebuah tidur panjang
sementara mimpi adalah peristiwa yang direkam oleh jiwa.
Makassar, 29 Oktober 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H