Mohon tunggu...
Syukur Umar
Syukur Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti/penulis, dan penikmat musik dan perjalanan wisata

Menulis adalah kepastian hidup......

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Nilai: Subjektivitas vs Objektivitas

20 November 2022   08:11 Diperbarui: 20 November 2022   08:20 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah "nilai" sangat sering digunakan oleh manusia, misalnya untuk mengungkapkan baik-buruknya keadaan sebuah kebiasaan manusia atau masyarakat tertentu, atau kondisi suatu barang dan jasa, serta prestasi sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat. Pada konteks teori (value theory), nilai memiliki cakupan yang luas yang berhubungan dengan berbagai pendekatan yang bertujuan memahami bagaimana, mengapa, dan untuk apa seseorang memberikan nilai atas sesuatu. Sesuatu yang dinilai dapat berupa seseorang, ide, objek, atau sesuatu yang lain. Pemahaman manusia tentang nilai sudah dimulai sejak lama oleh para philosof yang kita kenal dengan istila etika (ethics). Pada perkembangannya para philosof membahas nilai pada konteks pemahaman tentang baik dan buruk dan konsep tentang kebaikan (the concept of the good). Kemudian kini teori nilai berkembang menjadi lebih bersifat empiris ilmiah yang menjelaskan tentang apa yang masyarakat nilai dan berusaha untuk mengerti mengapa mereka menilai pada konteks psikologi, sosiologi, dan ekonomi.

Nilai dan penilaian telah menjadi istilah teknik yang berada pada cabang ilmu ekonomi yang bernama teori nilai (the theory of value). Pada awalnya philosof Jerman seperti Rudolf Hermann Lotze, Albrecht Ritschl, dan Frederich Nietzsche, mulai menggunakan istilah nilai pada konteks yang lebih luas dan terutama sangat berpengaruh dalam cara berfikir mereka. Jauh sebelumnya konteks nilai sudah diperbincangkan. Plato telah mendiskusikan berbagai pertanyaan tentang kebaikan, kebenaran, keharusan, jastifikasi moral, jastifikasi estetika, serta keindahan. Pada abad ke 19 konsep nilai lahir atau terlahir kembali oleh karena sudah ada di jaman Plato. Semua pertanyaan dan diskusi di era Plato adalah masalah nilai atau apa yang difikirkan tentang yang seharusnya, bukan tentang fakta atau apa, atau yang akan terjadi. Semua pertanyaan yang muncul pada era ketika itu dipercaya dapat untuk tidak dikategorikan hanya kedalam pembahasan tentang nilai dan penilaian tetapi lebih dari itu yaitu diperhadapkan pada hal yang lebih baik yaitu tentang teori nilai dan penilaian yang memuat tentang ilmu ekonomi, etika, estetika, pendidikan, dan juga logika dan epistomologi. Konsep ini menjadi lebih matang pada tahun 1890an dalam tulisan Alexius Meinong dan Christian von Ehrenfels, keduanya berkebangsaan Austria dan merupakan pengikut Franz Brentano. Melalui keduanya serta pemikiran ilmuan lainnya seperti Max Scheler dan Nicolai Hartmann, ilmuan Jerman pengikut Edmund Husserl, ide tentang teori nilai menjadi populer di Amerika kontinental dan Amerika Latin. Konsep ini juga memiliki beberapa pengaruh di Inggris Raya ketika itu atas hasil kerja beberapa ilmuan seperti Bernard Bosanquet, W. R. Sorley, J.M. Mackenzie, John Laird, dan J.N. Findlay, namun pengaruh mereka lebih sedikit dibandingkan di tempat lain oleh karena mereka lebih mempertahankan konsep tradisional tentang kebaikan dan kebenaran. Teori nilai dan penilaian diterima dengan sangat baik di Amerika Serikat sebelum dan sesudah Perang Dunia I. Teori tersebut diperkenalkan oleh Huga Munsterberg dan W. M. Urban, dilanjutkan oleh Ralph Barton Perry, John Dewey, D. H. Parker, D. W. Prall, E. W. Hall, dan lainnya yang kemudian dipublikasikan kembali oleh S.C. Pepper dan Paul W. Taylor yang juga sangat berpengaruh dan meluas dalam bidang psikologi, ilmu sosial, kemanusiaan, dan bahkan ilmu lainnya.

Pada konteks ekonomi, teori tentang nilai merupakan sebuah istilah generik yang meliputi semua teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang nilai tukar atau harga suatu barang dan jasa. Pertanyaan kunci yang penting di sini adalah mengapa barang dan jasa diberikan harga sebagaimana adanya, bagaimana nilai barang dan jasa menjelaskan tentang itu, dan untuk teori nilai normatif bagaimana menghitung harga barang dan jasa secara benar. Pada perspektif ekonomi, teori nilai terdiri atas dua kategori, yaitu teori nilai objektif dan teori nilai subjektif yang fokus terhadap kondisi produksi dan preferensi konsumen (King dan Mc Lure, 2014). Teori objektif biasa juga disebut teori intrinsik memberikan penekanan bahwa harga barang dan jasa bukan merupakan fungsi dari jastifikasi subjektif melainkan hasil nilai yang dimiliki oleh barang atau jasa itu sendiri. Teori objektif sangat menekankan pada bagaimana proses produksi barang dan jasa, dan ongkos yang digunakan dalam proses tersebut sebagai komponen-komponen ukuran nilai intrinsik.

Teori klassik objektif tentang nilai sudah berkembang sejak pertengahan hingga akhir abad ke 17 dimana perhatian banyak diberikan kepada masalah produksi komoditas yang dibutuhkan ketika itu dan mengurangi perhatian terhadap permasalahan jual beli komoditas dimaksud. Pemahaman ini menjadi titik utama ekonomi politik klassik ketika itu, yaitu berkisar tahun 1690 dan mendapatkan dukungan dari para ilmuan seperti Sir William Petty yang mengemukakan bahwa nilai tukar suatu komoditas ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditas dimaksud. Setengah abad kemudian, Richard Cantillon menyempurnakan teori klassik objektif dengan menambahkan porsi nilai intrinsik barang bagi harga barang tersebut yang sebelumnya hanya ditentukan oleh lahan dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang tersebut.

Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) mengemukakan tiga pendekatan yang berbeda terhadap persoalan nilai, yaitu: teori ketenagakerjaan (labour embodied theory), teori penambahan (adding up theory), dan "kerja keras dan gangguan (toil and trouble). Pendekatan pertama mendukung apa yang telah dikemukakan oleh Petty dan pendekatan kedua menjelaskan bahwa nilai merupakan penjumlahan semua ongkos produksi termasuk lahan dan kapital serta tenaga kerja. Pendekatan ketiga menjelaskan bahwa nilai ditentukan oleh kerja keran dan gangguan yang dialami dan dilakukan oleh produser, dimana pendekatan ketiga ini kemudian mengantisipasi pembentukan teori subjektivitas. Nampak bahwa Adam Smith menjembatani teori objektivitas dan teori subjektivitas yang selama ini dan hingga kini sangat sering dibahas secara terpisah.

David Ricardo membantah teori penambahan yang dikemukakan oleh Smith (teori objektivitas) dan juga mengkritisi teori subjektivitas yang dikemukakan oleh Jean-Baptiste dengan memberikan argumentasi bahwa kepuasan tidak bisa dijadikan ukuran nilai tukar, melainkan yang penting adalah kelangkaan (scarcity). Argumentasi yang dikemukakan dengan memberikan contoh bahwa air dan udara merupakan benda yang sangat penting dan berguna bagi manusia bila dibandingkan dengan emas. Tanpa udara dan air maka akan memberikan resiko kematian bagi manusia, namun emas memiliki harga yang lebih besar dibandingkan air dan udara karena kelimpahan udara dan air, sementara emas merupakan barang sekunder yang memiliki kelangkaan yang tinggi. Kelangkaan akan sangat penting bagi barang yang sulit direproduksi, misalnya patung dan gambar langka dan lainnya yang diproduksi secara terbatas. Namun bagi barang yang mudah untuk direproduksi maka fluktuasi penawaran dan permintaan akan mengakibatkan deviasi temporer harga pasar dari harga primer barang tersebut yang ditentukan oleh tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi barang tersebut. Pada awal perkembangan teori nilai objektif, nilai dipandang sebagai harga yang nilainya ditentukan oleh tenaga kerja dan kelangkaan dimana keduanya menjelaskan tentang teori produksi ketika itu. Mempertimbangkan tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi maka harga atau nilai barang akan merujuk kepada nilai konsumsi yang dibutuhkan oleh tenaga kerja. Sementara kelangkaan berhubungan dengan teori surplus yang membahas tentang residu dari nilai atau harga setelah diperkurangkan dengan nilai konsumsi tenaga kerja.

Selain Ricardo, pengikut teori objektivitas lainnya adalah Karl Marx dan Piero Sraffa. Marx adalah pengagum berat Ricardo namun memberikan banyak kritik terhadap idolanya tersebut terutama kegagalan Ricardo dalam menjelaskan perbedaan berbagai bentuk produksi dan lebih banyak meyakini bahwa kapitalisme merupakan aliran ekonomi yang patut dipertahankan secara terus menerus. Marx menyatakan bahwa nilai atau harga ditentukan secara sederhana oleh proses produksi sehingga barang harus dijual dengan harga yang senilai dengan tenaga kerja yang digunakan. Marx menolak konsep kapitalism yang komponennya berasal dari nilai kelangkaan yang dikemukakan oleh Ricardo. Sementara Sraffa juga memperkuat pengakuannya terhadap teori nilai objektif dengan menekankan kembali bahwa nilai barang akan ditentukan oleh nilai tenaga kerja yang digunakan dalam memproduksi barang tersebut. Selain mempertimbangkan nilai tenaga kerja, Straffa menambahkan nilai bunga uang dalam menentukan harga atau nilai barang yang dihasilkan. Pada perkembangannya, Straffa meyakini perlu adanya penambahan nilai selain nilai tenaga kerja bagi nilai barang yang dihasilkan.

Teori nilai subjektif memberikan penekanan bahwa agar sebuah objek dapat memiliki nilai ekonomi (a non-zero price), objek harus memiliki kegunaan dalam memenuhi keinginan manusia dan objek tersebut bersifat langka (limited supply). Ketentuan tersebut merupakan dasar teori nilai marginal. Teori subjektif memberikan penekanan pada sebuah ide pemikiran bahwa nilai sebuah barang atau jasa tidak ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh barang dan jasa tersebut, juga bukan oleh jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut, tetapi melainkan bahwa nilai ditentukan oleh bagaimana seseorang individu memberikan preferensi terhadap barang dan jasa tersebut dalam rangka pencapaian keinginan seseorang tersebut. Teori ini merupakan salah satu dari konsep penting dari Australian School of Economics. Sementara versi terbaru dari teori ini diciptakan secara terpisah dan hampir secara bersamaan oleh William Stanley Jevons, Leon Walras, dan Carl Menger di akhir abad ke 19.

Teori nilai subjektivitas (C. Menger) dan konsep "marginal utility" merupakan titik balik dari semua teori ekonomi ketika itu (ekonomi positif) menuju formulasi baru yang mengatakan bahwa nilai barang ekonomi merupakan konsekuensi mendasar dari asesmen subjektif yang dilakukan oleh individu. Utility atau kepuasan merupakan subjektivitas seseorang. Kepuasan diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang atau jasa tertentu yang ditentukan oleh asesmen subjektif dari orang yang mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Sementara marginal utility menggambarkan kepuasan yang seseorang peroleh dari mengkonsumsi setiap tambahan unit barang atau jasa yang dimaksud. Misalnya, kepuasan yang diperoleh seseorang yang mengkonsumsi mangga ke 5 setelah mengkonsumsi mangga ke 4. Gosen dan Jules Depuis telah menjelaskan sebelumnya tentang marginal utility yang akan berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Namun Walras dan Jevon kemudian menjelaskan suatu keadaan keseimbangan, dimana titik keseimbangan tersebut merupakan pilihan konsumen untuk memuaskan secara maksimum utilitinya. Pilar utama teori yang dikemukakan oleh Walras dan Jevon adalah bahwa kepuasan maksimum individu akan tercapai pada titik keseimbangan yaitu dimana harga relatif barang atau jasa yang ditawarkan sama dengan assesment subjektif tentang marginal utility yang individu rasakan.  

Dari pembahasan objektivitas dan subjektivitas nilai di atas, maka nilai (value) dapat diberi arti sebagai harga keekonomian (harga pokok) dan atau harga ekonomi (manfaat) suatu barang dan jasa. Sementara penilaian (valuation) berarti mengestimasi nilai suatu barang atau jasa. Harga keekonomian dan harga ekonomi suatu barang dan jasa banyak dijumpai ketika kita melakukan penilaian ekonomi sumber daya hutan dan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya fungsi ekosistem hutan dan lingkungan yang dapat diperoleh oleh manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan memainkan peranan penting dalam memberikan nilai terhadap sebuah objek, termasuk ekosistem atau sumber daya hutan. Seseorang yang memiliki pengetahuan bahwa hutan merupakan sebuah sumber daya yang terdiri atas pohon-pohon, dan ia banyak bekerja dalam bisnis perkayuan, maka ia akan melihat hutan sebagai kumpulan pohon yang memiliki nilai ekonomi (stumpage value) yang dapat diperjualbelikan. Sementara seseorang lainnya yang melihat hutan sebagai ekosistem dan sumberdaya akan memiliki pengetahuan bahwa selain dapat memberikan berbagai macam barang seperti kayu, buah, kulit, rotan, dan seterusnya; hutan juga dapat memberikan jasa lingkungan diantaranya pengatur tata air, mengontrol erosi, menjaga keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, keindahan, dan lainnya. Oleh sebab itu memberikan nilai terhadap hutan harus dilakukan dengan mengestimasi nilai ekonomi total hutan tersebut dengan melibatkan perspektif objektif dan subjektif. Perspektif objektif merupakan pendekatan yang sering dikatakan sebagai pendekatan ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian sumberdaya hutan dapat diamati oleh pancaindera serta dapat diukur dan diramalkan. Objektivitas memandang bahwa kebenaran dapat ditemukan tentang nilai bila diupayakan untuk menyingkirkan campu tangan manusia ketika melakukan penilaian; dalam arti lain mengambil jarak dari objek yang dinilai kerana objektivitas lebih bersifat sistematis, terkontrol, serta empiris. Objektivitas juga cenderung menganggap hutan yang dinilai sebagai sebuah objek yang passif sehingga perubahan yang terjadi akan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dan tidak memiliki pengaruh terhadap ekosistem lainnya sehingga pengaruh hutan terhadap ekosistem lainnya sering disepelehkan dalam proses penilaian.

Subjektivitas dalam penilaian ekonomi sumberdaya hutan dan lingkungan cenderung memandang hutan sebagai sebuah ekosistem yang aktif, dinamis, serta memiliki jasa lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem lainnya, bukan saja pada skala lokal dan regional tetapi juga bahkan pada skala global. Kondisi itulah yang mempengaruhi persepsi manusia sehingga memiliki sikap dalam memberikan jastifikasi dalam proses penilaian ekonomi sumberdaya hutan dan lingkungan. Hutan dan manusia pada konteks dan perspektif subjektif merupakan sesuatu yang aktif dan dinamis namun berbeda oleh karena hutan hanya mampu bergerak secara terbatas dalam proses pertumbuhan dan dinamika tegakan hutan, sementara manusia yang melakukan jastifikasi memiliki kemampuan bergerak dan bertindak. Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah suatu kondisi yang cair dan mudah berubah melalui interaksi manusia yang dijalani sehari-hari, dan manusialah yang menciptakan struktur bukan struktur yang menentukan perilaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun