Bukan hanya Tan Malaka yang hanya dikekang dalam penjara-ke-penjara. Bukan hanya Pramoedya yang juga dikurung dalam bui. Bukan pula generasi sandwich terkekang dalam tuntutannya memenuhi kebutuhan keluarga. Juga bukan teman saya yang terkekang oleh ceweknya. Akan tetapi, guru juga terbui atas profesinya sendiri.
Profesi guru adalah satu-satunya profesi dari sekian banyak profesi di dunia ini yang sangat melekat dan tak bisa dipisahkan dengan pemiliknya. Profesi polisi hanya berlaku ketika bertugas saja. profesi manager hanya ketika di kantor saja. Tapi, profesi guru tak kenal waktu, tempat dan apapun itu pasti berada di punggung pemiliknya. Oleh karenanya, di manapun seorang guru berada dan kapanpun seorang guru bertindak itu adalah atas nama guru meskipun di luar jam aktif sekolah. Bayangkan saja, bagaimana tersiksanya menjadi seorang guru tak dapat bergerak karena stigma Indonesia sudah nihil dihilangkan.
Saya memang bukan guru, tapi saya serinng bersinggungan dengan guru ketika di sekolah dulu membuat acara serta sering juga berinteraksi dengan guru (dosen) ketika di kampus mengadakan sebuah acara, dan juga banyak melihat fenomena guru yang akhir-akhir ini sering muncul di sosial media. Contohnya, ketika saya dan teman-teman sedang nongkrong di sebuah warung kopi, lalu datang seorang dosen yang juga inging ngopi di warkop yang sama itu ternyata berpengaruh pada teman-teman saya yang menjadi canggung di tongkrongan.
Lalu contoh kasus kedua yang muncul di sosial media, ada seorang perempuan yang mengaku sebagai guru sedang nongkrong di coffe bar bersama teman-temannya, lalu datang siswanya menyalami si guru perempuan tersebut. Secara terpaksa, si guru perempuan tersebut merapikan pakaiannya dan secara otomatis si guru juga merasa terganggu dengan kedatangan siswa tersebut yang masih memposisikan sebagai siswa, padahal bukan jam aktif sekolah.
Melalui 2 contoh kasus di atas, saya rasa kita bisa merasakan empati pada dosen saya yang ingin juga nongkrong, menghabiskan masa lelahnya dengan canda tawa malah menjadi sungkan-sungkanan. Dan merasa iba pada si guru perempuan yang tak dapat merasakan canda tawa bersama teman-temannya di coffe bar tersebut.
Sampai titik ini kita dapat simpulkan bahwa hal-hal yang terjadi di atas adalah fenomena profesi guru yang mendapat tekanan dari bawah. Lain lagi nanti ketika guru mendapat tekanan dari atas. Fenomenanya lebih nahas sekali untuk profesi guru. Jika Indonesia mengadakan lomba adu nasib, maka saya yakin 100% bahwa guru akan menjadi juara 2 setelah juara 1 dianugerahkan pada anak ketua panitia penyelenggara. Â
Secara trend belakangan ini, guru honorer menjadi objek utama dari tekanan dari atas sebagai penyandang profesi guru. Mungkin guru ASN dan guru PPPK mungkin hanya tertekan dengan adanya beban administratif sekolah. Dan tak dapat dipungkiri pula ada yang merasa kekurangan akan gajinya sebagai guru berpangkat. Lain halnya dengan guru honorer yang merasakan dua-duanya, antara administrasi dengan upah sebagai guru di Indonesia juga masih marak terjadi.
Bahkan, tak hanya seputar beban administrasi sekolah dan upah sebagai guru, melainkan guru honorer juga dihantui oleh cleansing dadakan yang diadakan oleh atasan. Contoh saja kasus cleansing guru honorer di Jakarta tempo hari lalu. Peristiwa tersebut cukup menjadi bukti bahwa sebagai guru honorer sudah seperti WNI tersangka antek PKI pada tahun 1965-1970-an.
Hal tersebut juga diafirmasi oleh detikcom yang baru saja rilis data terbaru terkait guru honorer di Indonesia. Dalam datanya, tersaji sebanyak 42% guru memiliki penghasilan di bawah Rp. 2 juta setiap bulannya. Lalu, 13% di antaranya berpenghasilan di bawah Rp. 500 ribu setiap bulannya. Serta 89% guru mengaku gaji mereka pas-pasan. Dan 55,8% guru memiliki penghasila tambahan dari pekerjaan lain. Ada yang mengambil sebagai buruh, konten kreator, driver ojol, bertani, berdagang, dan mengisi les privat atau bimbel di luar sekolah. Penghasilan dari pekerjaan sampingan tersebut tak lebih dari Rp. 500 ribu, sama sekali tidak menolong.
Di samping itu, tercatat sebanyak 79,8% guru mengaku mempunyai hutang dan sebanyak 74% guru bergaji di bawah UMR. Akan tapi nasib Indonesia masih baik dan akan menjadi baik mungkin dikarenakan gelora Soekarno, mungkin juga dikarenakan ambisi Soeharto, mungkin lagi dikarenakan kecakapan Habibie, atau mungkin dikarenakan doa Gus Dur, sebanyak 93,5% responden berkeinginan untuk tetap mengabdi dan memberikan ilmu sebagai guru hingga masa pensiun.
Terlepas dari itu semua, semua guru tanpa pandang pangkat juga dikenakan beban kultural tak tertulis. Beban tersebut biasanya dilancarkan atas nama reputasi sekolah. Para guru diharuskan memberi penilaian terbagus untuk semua siswa-siswa meskipun nilai tersebut sebenarnya tak patut didapat oleh siswa. Budaya "katrol nilai" di sekolah-sekolah saat ini berhasil melumpuhkan daya pikir lulusannya. Atas nama reputasi sekolah baik di mata masyarakat dan di mata dinas pendidikan adalah ambisi terburuk pendidikan sepanjang masa.
Ya mau gimana lagi, menjadi guru adalah pilihan. Tapi jika kita beridealis tinggi, saya sarankan untuk tidak memilih menjadi guru, terutama guru sekolah negeri. Kebiasaan mengajar kita dapat disalurkan melalui komunitas mengajar, sekolah alternatif, kursus, les atau sebagainya. Jika kita terpaksa memilih menjadi guru, terutama di sekolah negeri dengan idealis yang masih tinggi, saya hanya bisa berdoa supaya tidak ada kasus bunuh diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H