Mohon tunggu...
SYUKRON MAHMUDI
SYUKRON MAHMUDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, UIN Raden Mas Said Surakarta

Jika anda mencari tulisan provokatif, anda berada di halaman yang tepat. Jangan salahkan saya jika emosi anda terangsang saat membaca tulisan-tulisan random tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mata Kuliah Magang antara Eksploitasi, Profesi, dan Edukasi

18 Juli 2024   16:39 Diperbarui: 18 Juli 2024   16:44 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: BPS Indonesia 2024

Jika siswa kegirangan mendapat pelajaran di luar kelas, maka mahasiswa sebaliknya. Mereka tertekan mendapat tuntutan magang yang juga sama-sama di luar kelas perkuliahan. Saya pun tak mengerti bagaimana bisa satu program magang, yang itu kepunyaan kementrian ketenagakerjaan bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Ntahlah...

Namun yang akan menjadi fokus kita kali ini bukan asal-muasal magang, melainkan efektifitas dan efisiensi magang itu sendiri ketika dibenturkan dengan perkuliahan. Mungkin pembaca dari tulisan ini ada yang bukan mahasiswa, tapi tidak mengapa karena ini nanti untuk pengetahuan kalian terkait praktik lapangan yang sesungguhnya. Dan teruntuk pembaca yang menyandang status sebagai mahasiswa, mari kita refleksikan bersama akan keberadaan magang di dunia pendidikan.

Sekilas informasi, bahwa berdasarkan empiris saya pribadi, magang di kampus itu ada dua varian (mungkin ada yang berbeda, sesuai kebijakan kampus masing-masing). Pertama yakni magang yang bersifat kunjungan atau observasi. Dan kedua, yakni magang bersifat kontrak atau profetik seperti yang biasa dikatakan birokrat kampus. Semua varian tersebut wajib diikuti oleh semua mahasiwa tanpa terkecuali. Dan dari semua varian magang tersebut juga dikenai biaya. Jika pembiayaan tersebut dipetakan, maka akan jadi seperti ini:

1. Magang pertama dikenai biaya 'katanya' untuk transportasi dan konsumsi serta ada juga yang beralasan untuk tiket masuk.

2. Magang kedua biasanya dikenai biaya operasional dan ada sebagian biaya kebutuhan untuk dapat magang di salah satu perusahaan. Bukan praktik suap, tapi memang kebijakan dari perusahaan tersebut ada biaya untuk menempuh magang di tempat tersebut.

Nah sampai di sini saja terlihat seperti ada yang janggal. Kejanggalan tersebut terletak di pembiayaan. Padahal program magang dijadikan sebuah SKS, yang itu sudah dibayarakan di awal, include dengan pembayaran Uang Kuliah Tunggl (UKT). Lalu kejanggalan kedua terletak di sebuah narasi yang mewajibkan seluruh mahasiswa harus ikut magang. Padahal, tak sedikit mahasiswa yang sudah bekerja part-time, lantas 'profetik' seperti apa yang ada di balik program magang tersebut? Yang jelas, pernyataan magang sebagai program profetik bisa dikatakan blunder. Atau masih beralibi lagi untuk koneksi? Boleh saja, tapi yang pasti, hal tersebut masih blunder juga karena tak sedikit mahasiswa yang ikut organisasi.

Antara Eksploitasi dan Profesi

Terlepas dari semua alibi yang memang sengaja direkayasa tersebut, yang terpenting ialah tujuan dari beralasan itu tak luput dari keterikutan semua mahasiswa pada saat magang, supaya kerjasama antara pihak kampus dan pihak perusahaan terpenuhi. Ya, itu hanya terkaan atau praduga secara pribadi. Namun bukan tanpa alasan perkiraan tersebut muncul. Yang jelas, alasannya bertumpu pada rilis data pengangguran sarjana oleh Badan Pusat Statistik Indonesia.

Badan Pusat Statistik Indonesia tidak hanya merilis data pengangguran sarjana, melainkan rilis data angkatan kerja menurut pendidikan tamatan terakhir. Rilis terakhir menyampaikan bahwa distribusi penduduk bekerja menurut pendidikan masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar, yakni sebanyak 36,54%. Lalu di posisi kedua, yakni tamatan Sekolah Menengah Atas sebanyak 20,55%. Kemudian di posisi ketiga ditempati oleh penduduk tamatan Sekolah Menengah Pertama sebanyak 18,15%. Disusul oleh penduduk tamatan Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 12,09%. Sedangkan penduduk tamatan Diploma IV, S1, S2, dan S3 berada di urutan kedua terendah setelah penduduk tamatan Diploma I/II/III sebagai penduduk yang bekerja.

Sumber gambar: BPS Indonesia 2024
Sumber gambar: BPS Indonesia 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun