Suatu kala anakmu sudah menginjak umur 5 tahun, perkenalkan dia anggota rumah. Setidak-tidaknya kenal Ayah sebagai kepala keluarga. Lalu jelaskan juga, bahwa di lembaga pendidikan mempunyai kepala yang bernama Mentri Pendidikan. Tapi jangan lupa beritahu ia perbedaannya, kalau Ayah di rumah sebagai penanggungjawab keluarga, kalau Mentri Pendidikan ialah sebagai pemegang otoritas tertinggi di lembaga pendidikan.
Ketika si anak beranjak ke usia 6 tahun, berilah ia uang sendiri untuk belanja keinginannya. Setelah si anak membeli sesuai apa yang dinginkan, ajaklah dia berbicara. Kamu, sebagai ayah, wajib memberi tahu Si Anak bahwa kamu memberi uang untuk dipakai sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Supaya kelak, ketika Si Anak masuk ke lembaga pendidikan, dapat memahami bahwa itu adalah praktik Mentri Pendidikan dengan bawahannya.
Lain lagi ketika Si Anak sudah berusia 7 tahun, usia-usia sebagai siswa baru Sekolah Dasar. Di usia tersebut, saat kamu mau membeli rokok, ajaklah Si Anak untuk menemaninya ke toko terdekat yang terletak di sebelah Indomart. Ketika sudah sampai di warung tersebut, kamu harus sengaja membeli rokok yang tak dijual di sana. Lalu kamu dengan tampang pasrah membeli rokok yang lain. Secara alamiah, Si Anak akan bertanya kenapa tidak membeli di Indomart saja. Itulah momen yang pas untuk menjelaskan bahwa di pendidikan ada yang namanya sistem zonasi. Supaya Si Anak kelak paham alasan kamu menyekolahkannya di sekolah terdekat meski secara fasilitas dan kualitasnya lebih bagus di sekolah sebelah.
Namun ketika Si Anak sudah usia 8-10, jangan lagi kamu rekayasa seperti di atas. Tapi, bimbinglah ia sesuai dengan mata pelajaran di sekolah. Jika mata pelajaran matematika, ajarkanlah ia pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Jika mata pelajaran bahasa Inggris, ajarkanlah ia kosa kata dasar seperti nama buah dan nama hewan. Jika mata pelajaran bahasa Indonesia, ajarkan Si Anak fasih membaca dan menulis kata-per-kata. Jika saat mata pelajaran peminatan berupa menggambar, jangan kamu ajarkan, bahkan jangan kamu dekati ketika Si Anak sedang menggambar, biarkan Si Anak merdeka mengekspresikan imajinasinya.
Sama juga ketika Si Anak sudah berusia 11 tahun, tidak ada lagi rekayasa-rekayasa seperti saat usia 7 tahun ke bawah dan juga tidak ada lagi bimbingan seperti saat usia 8-10 tahun, melainkan kamu harus mengarahkan Si Anak sesuai mata pelajarannya. Mulai kenalkanlah Si Anak bahwa di pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya ada tokoh Budi dan Ani, melainkan ada Kopral Jono, Bobo, Si Dul, Si Jamin dan Si Johan serta tokoh lainnya. Nah, baru ketika sudah berusia 12 tahun, kamu ajak Si Anak ke pertemuan anak-anak karangtaruna yang sedang mengumpulkan uang iuran untuk kegiatan desa, lalu ibaratkan bahwa karangtaruna kalau di sekolah itu namanya ekstrakurikuler sekolah. Supaya nanti Si Anak paham bahwa anak-anak ekstrakurikuler sekolah itu patungan terlebih dahulu untuk mengadakan kegiatan.
Lain lagi ketika Si Anak sudah berusia 13 tahun, usia-usia sebagai siswa baru tingkat SLTP. Di usia tersebut sampai usia 14 tahun, kerjaanmu sudah gampang dalam mendidiknya. Di rentang dua tahun tersebut kamu hanya butuh mengontrol Si Anak. Selain itu, kamu juga perlu menanyakan Si Anak terkait kegiatannya dan kesibukannya. Selama hal tersebut tidak keluar batas kewajaran, biarkan saja, bahkan kamu harus mendukungnya.
Lalu ketika sudah masuk ke usia 15 tahun, rekayasakanlah kembali. Kamu bisa ajak Si Anak mengelilingi toko grosir, mulai dari tempat busana, tempat alat mandi, tempat makanan, dan tempat minuman tanpa membeli barang satupun. Setelah itu baru kamu tanyakan pada Si Anak maksud dari ajakanmu mengelilingi tempat-tempat tersebut. Ketika Si Anak kebingungan untuk menjawabnya, baru kamu jelaskan bahwa nanti, di pendidikan tingkat SLTA akan ada yang namanya penjurusan. Supaya Si Anak tidak salah memilih jurusan ketika sudah menyelesaikan SLTP.
Sudah bisa dipastikan, ketika Si Anak berusia 16 tahun, masa-masa sebagai siswa baru tingkat SLTA, akan memilih jurusann sesuai minat dan bakatnya sendiri. Karenanya, beban kamu sudah tidak perlu rekayasa lagi sampai usia 17 tahun. Kamu hanya meyakinkan dan mendukung kegiatan-kegiatan Si Anak. Akan tetapi, kamu masih membutuhkan rekayasa paling terakhir yakni ketika berusia 18 tahun.
Ketika Si Anak berada di usia 18 tahun, pertama kali yang kamu lakukan ialah kamu harus mengajak Si Anak ke toko grosir yang pernah kalian kunjungi sebelumnya. Teknisnya hampir sama, tapi kamu harus pergi ke satu tempat tapi dengan mengelilingi rak-rak yang berbeda. Contoh kamu pergi ke tempat alat mandi, terus kamu mengelilingi rak sabun, shampo, odol, dan lain sebagainya tanpa membeli barang satupun. Secara naluriah Si Anak akan otomatis bertanya alasan kamu mengajak ke tempat tersebut. Jawab saja, bahwa hal tersebut untuk menunjukkan bahwa di perguruan tinggi nanti akan ada yang namanya program studi (prodi) yang benar-benar fokus ke satu bidang saja.
Tak berhenti di situ saja, selepas dari toko grosir, kamu ajak Si Anak ke kandang sapi lalu bilang bahwa si sapi tersebut tidak enak meskipun makan sudah disediakan karena tak bisa kemana-mana, hanya di kandang. Tanpa kamu tunggu respon Si Anak, langsung saja kamu ajak ke ladang terbuka yang ada sapi dan pengembalanya, lalu kamu bilang bahwa sapi itu juga tidak enak meskipun sudah tidak di kandang dan ada rumput masih segar, karena masih diawasi oleh pengembalanya. Lalu tinggalkan Si Anak sendirian tanpa sepatah kata. Karena kelak, ketika sudah berkuliah, Si Anak akan paham bahwa kamu sedang menjelaskan sistem SATKER dan BLU di perguruan tinggi.