Mohon tunggu...
SYUKRON MAHMUDI
SYUKRON MAHMUDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, UIN Raden Mas Said Surakarta

Jika anda mencari tulisan provokatif, anda berada di halaman yang tepat. Jangan salahkan saya jika emosi anda terangsang saat membaca tulisan-tulisan random tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Euphoria Politis: Sabotase Jam Operasional Warung Madura

14 Mei 2024   19:45 Diperbarui: 14 Mei 2024   20:06 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadaan Indonesia beberapa bulan yang lalu sedang memanas dikarenakan perbedaan pilihan dalam kontestasi politik, khususnya pemilihan calon presiden dan wakil presiden Indonesia 2024. Dari saking sensitifnya seputar pemilu di Indonesia, sampai-sampai warna, pose berfoto bahkan beberapa angka tiba-tiba menjadi hal sangat mengancam jika salah dalam penggunaannya di muka umum.

Contoh saja penggunaaan pose 1 jari, 2 jari, atau 3 jari itu dapat menimbulkan perselisihan antar pertemanan bahkan bisa jadi antar keluarga yang berbeda pilihan. Contoh lain ketika ada yang sering memakai busana berwarna merah pasti diarani sebagai kader PDIP atau jika ada rumah dengan tembok hijau dikiranya pasti kader PKB. Kalau begitu, lantas anak skena dan starboy yang demen pakai setelan outfit itu kader Partai Ummat semua? Kan mustahil. Aneh-aneh saja warga Indonesia ini.

Tapi, jika memang watak Indonesia tersebut tidak dapat dipatahkan. Saya coba mencocoklogikan peristiwa yang sedang viral ini dengan suatu angka yang mempunyai kesamaan. Ambillah kasus peraturan daerah tentang pemberlakuan jam operasional yang diterapkan kepada warung Madura di Bali. Baru-baru ini kita digemparkan oleh pernyataan Sekertaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim yang mewajibkan warung Madura di Bali untuk menaati jam operasional.

Konon, dibalik alasan jam operasional ada persaingan pasar antara warung Madura dengan Minimarket. Desas-desus seperti itu sudah biasa, meskipun terkesan fakta. Namun bagi saya lebih dari sekedar persaingan pasar akan tetapi peristiwa tersebut saya lihat melalui perspektif angka yang bersangkutan, yakni angka 24.

Hemat saya, angka 24 sebagai waktu jam operasional warung Madura merupakan angka tendesius politis. Artinya, angka 24 tersebut mempunyai kesamaan dengan jumlah presentase perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden,  Anies Baswedan dan Iskandar Muhaimin yakni sebanyak 24,59%. Dikarenakan euphoria pilpres 2024 atau momentumnya masih terbawa sampai putusan MK sudah dibacakan, jadi wajar saja jika ada kasus seperti di atas.

Padahal sekolot-kolotnya orang Madura atau sebengis-bengisnya tampang orang Madura, mereka pasti akan tunduk jika sudah mengatasnamakan perintah yang ada di undang-undang atau perintah presiden. Sayangnya, kepercayaan orang Madura terhadap undang-undang atau perintah presiden sangat tinggi sehingga dimanfaatkan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab. Meskipun secara undang-undang memang ada yang mengatur jam operasional tersebut, kan masih menimbulkan pertanyaan kenapa hanya diberlakukan pada warung Madura saja?

Awal-mula warung Madura

Konon, eksodus orang Madura berawal dari pengembaraan (sebutlah) pak haji asli pulau Poteran, Sumenep, Madura yang memulai perantauan pertama kali ke Jakarta dengan tujuan membuka warung. Pak haji membuka warung terinspirasi dari perantau Batak, Jawa, dan Sunda. Namun, dari antara semua warung tersebut tidak ada yang mengoperasionalkan warungnya selama 24 jam.

Berangkat dari penilaian tersebut, pak haji menawarkan warung dengan konsep 24 jam dan meraup banyak keuntungan dari kerja keras tersebut. Layaknya desa pada umumnya, berita tersebar ke semua penjuru desa pulau Poteran yang menbuat pak haji sebagai public figure dan eksodus orang Madura ke penjuru mata angin Indonesia dimulai.

Kisah di atas diperkuat oleh kondisi ekonomi orang Madura kala itu. Pada awal mula pasca reformasi, harga tembakau dipermainkan oleh mafia dan tidak ada dukungan sama sekali oleh pemerintah pusat maupun pemerintah. Padahal tembakau menjadi pencaharian utama terbesar di Madura yang sampai menyentuh jumlah  triliunan setiap tahunannya.

Singkatnya, pada tahun 90-an orang Madura sebagai petani menjadi korban permainan mafia tembakau pada zamannya. Lalu, membuka warung di desa orang lain adalah jalan alternatif untuk tetap hidup dan menghidupi keluarga. Nahasnya, pada tahun 2024 orang Madura menjadi korban lagi oleh persaingan pasar yang tidak seharusnya mereka merasa tersaingi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun