Mohon tunggu...
SYUKRON MAHMUDI
SYUKRON MAHMUDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, UIN Raden Mas Said Surakarta

Jika anda mencari tulisan provokatif, anda berada di halaman yang tepat. Jangan salahkan saya jika emosi anda terangsang saat membaca tulisan-tulisan random tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nasib Manusia di Bawah Kaki Pendidikan

10 Mei 2024   12:24 Diperbarui: 10 Mei 2024   12:28 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Per hari ini, pendidikan di Indonesia bermadzhab pada banking concept. konsep banking yang dimaksud disini bukan tentang kapitalisnya, namun seputar konsep serah-terima yang ada di dalam bank. Yakni, terdapat seorang kasir dan pelanggan yang hanya melakukan serah-terima uang. Jika di dalam dunia pendidikan, terdapat seorang guru dan murid yang di dalam kelas hanya melakukan serah-terima pengertian. Nah loh, bagaimana mau hidup nalar kritis dan jiwa manusiawi dari siswa/ mahasiswa jika di dalam kelas hanya sebatas serah-terima definisi.

Proses kegiatan belajar mengajar seperti di atas hanya bisa terjadi jika guru atau dosen sebagai ujung tombak dari sistem pendidikan sudah bisa membedakan mana pengetahuan dan informasi adalah dua hal yang berbeda. Apalagi jika pendidikan hanya dijadikan jembatan untuk menggaet pekerjaan semata, maka kita, sebagai manusia akan mati konyol di bawah kaki pendidikan.

Di samping itu pula terdapat kegagalan dalam menumbuhkan persepsi masyarakat sehingga muncul stigma bahwa tujuan dari pendidikan adalah sebuah pekerjaan. Jika dirujuk dari sejarah perjalanan pendidikan mulai dari masa kerajaan yang menjadikan agama sebagai landasan utama dari sebuah pendidikan sampai pada masa reformasi, pada masa penjajahan Belanda lah yang menjadi titik awal penanaman stigma pendidikan untuk pekerjaan.

Pada masa penjajahan Belanda menekankan bahwa sekolah didirikan demi menghasilkan tenaga kerja yang cakap sehingga dapat dipekerjakan di bidang administrasi dan gereja. Setelah posisi Belanda digantikan oleh Jepang maka sekolah-sekolah dan pendidikan semuanya dikerucutkan untuk mempersiapkan tenaga pendidik dalam jumlah banyak dan besar demi memompa dan mempropagandakan semangat jepang.

Lalu beranjak ke masa kemerdekaan, pendidikan pada masa itu tidak jauh beda dengan watak pendidikan pada masa penjajahan belanda karena tokoh pendidik yang diangkat adalah tokoh pendidik yang berjasa pada masa kolonial belanda. Sehabis masa kemerdekaan, muncullah masa orde baru. Pada masa inilah pendidikan di Indonesia dikiblatkan pada ekonomi negara. Buktinya, penyelenggaraan Pelita I, Pelita II, Pelita III, dan seterusnya ialah hanya pendidikan rekayasa belaka. Program Pelita yang sampai banyak kelipatannya itu hanya untuk mencetak 63,5 juta buku SD, 6000 gedung SD, dan 5 proyek pusat pelatihan teknik di beberapa daerah.

Lebih parahnya lagi setelah masa orde baru runtuh, yakni pada masa reformasi bahkan sampai detik ini sistem pendidikan hanya mengalami pembaharuan dalam hal teknis saja, selebihnya dibiarkan begitu saja. banking concept masih dibiarkan, kapitalis mau masuk di-iyakan, dan bahkan praktik koruptif masih merajalela di dalam dunia pendidikan.

Mau diganti sebanyak apapun kurikulumnya dan mau sampai Kurikulum Merdeka mencapai ke-100 kalau masih diberatkan pada para kapitalis dan banking concept tetap berlanjut, pendidikan di Indonesia tidak akan pernah merealisasikan apa yang ada di konstitusi, yakni di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.

Maka dari itu, muncullah jalur alternatif sekolah atau komunitas pembelajaran yang berdasarkan UU. No. 20 tahun 2003 pasal 1, ayat 2 yang berbunyi Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Dan hal itu juga sebagai sikap warga negara terhadap ketidakpedulian pemerintah dalam merespon dunia pendidikan.

Terkait sekolah alternatif yang disebut di atas, sebagaimana yang sudah ada di Indonesia yaitu, Sekolah Pamong yang menawarkan kebebasan dan kemerdekaan peserta didiknya serta memungkinkan para peserta didik belajar secara kontekstual. SMK Bakti Karya Parigi, yang menawarkan kelas multikultural berbeasiswa penuh dan mengenalkan arti toleransi hidup di tengah keramaian dan keragaman yang sangat tinggi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun