Kepala saya botak, tapi saya tidak tahu kapan persisnya bisa dibilang botak. Sejak kuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah, helai-helai rambut saya mulai berguguran satu persatu ketika memasuki semester ke delapan. Saya berusaha mengobati, tapi ternyata obatnya kalah juga...
Setelah tamat kuliah dan bekerja, kondisi kepala saya semakin parah. Rasa minder mulai hadir. Masak sih masih lajang rambutnya sudah habis? Untung akhirnya bisa "laku" juga dan saya menikah dengan wanita pilihan saya tahun 2000 di Garut, Jawa Barat.
Hal tersulit untuk dijawab adalah pertanyaan dari teman yang sudah lama tidak bertemu: kok rambutmu bisa habis, sih? Awalnya saya menjawab singkat: "Ini "warisan" dari ayah saya!" Tapi, rasanya ndak bijak juga, kok sepertinya jadi menyalahkan almarhum ayah saya?
Akhirnya, ketika akhirnya kuliah lagi di pascasarjana UGM, saya mempunyai alasan yang tepat: "Saya botak karena kebanyakan belajar". Terlebih lagi, saya berkacamata sejak kuliah.
Tapi, ketika ada yang bertanya begini, "Kuliah di UGM sulit, ya? Sampai-sampai rambut kamu habis dan kaca mata kamu tebel banget?", saya memberikan jawaban yang berbeda:
"Ah, ndak, kok. Saya botak bukan karena kuliahnya susah di UGM, tapi karena dulu sebelum kuliah rambut saya sudah mulai rontok dan kaca mata saya sudah minus sekian. Jadi, saya kuliah untuk menemukan pembenaran atas kebotakan saya."
Hehehehe....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H