Pengantar: Â
Upaya Indonesia untuk menjalankan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan dengan target momentum 2030 mencapai 23%, akan terasa hambar karena peran ini hanya sebagai pengikut (follower) dari semangat dunia yang sudah menjalankan pendekatan bioekeonomi. Penulis menuliskan otokritik karena mencantumkan kata "kita" kendati masih menggunakan kata Indonesia dalam tulisannya. Kenapa demikian? Kenapa mendorong ke pendekatan bioekonomi bahkan memaparkan paradigma sistem bioenergi berkelanjutan? Â Jawabannya ada diartikel ini. Semoga Bermakna.
------****-----
Upaya kita (Indonesia) untuk beralih ke energi terbarukan dengan istilah transisi energi telah memberikan rasa bangga tersendiri sebagai anak bangsa ini. Kebanggaan itu muncul karena kita pun mampu berkontribusi pada kepentingan global yang peduli pada perubahan global: kenaikan emisi penyebab efek rumah kaca, perubahan tata guna lahan akibat penggunaan energi fosil dan berubahnya layanan ekosistem untuk atas nama pembangunan.
Atas nama peduli lingkungan global, Indonesia pun ikut rembuk di berbagai momen dunia di Paris, Kyoto, Maroko dan Glasgow. Kehadiran pemimpin negara ini pada rentetan momen akbar menjadi kebanggaan tersendiri bagi penulis. Namun demikian, kebanggaan ini tidak berlangsung lama karena tiga alasan:
Pertama, pendekatan yang kita (Indonesia) lakukan untuk peduli lingkungan global hanya bergerak pada transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Padahal pergerakan peduli global ini telah bergerak ke pendekatan bioekonomi yang berkelanjutan. Â Â
Kedua, langkah kebijakan negara kita (Indonesia) terhadap peduli lingkungan dan pendayagunaan sumberdaya termasuk energi terbarukan masih pada level follower (pengikut) atas langkah kebijakan dunia yang dimotori oleh negara-negara maju. Kenapa? Boleh jadi, karena kita (Indonesia) telah melupakan fungsi lembaga riset dan peneliti untuk menopang R&D (Research & Development). Kita cerdas mensitasi publikasi asing namun sering kali lupa dan tak berkemampuan finansial untuk menyajikan publikasi yang akan disitasi oleh dunia.
Ketiga, kita (Indonesia) telah lupa dengan kata "gotong royong" dengan pengembangan dan implementasinya, termasuk menerapkan makna gotong royong ini dalam R&D. Implikasinya berakhir pada kegiatan R&D yang hanya berskala kecil dan lokal. Bahkan sulit atau masih terlalu premature untuk diterapkan pada skala komersial/industri. Penulis menilai, inilah tiga alasan yang menjadi kelemahan kita (Indonesia) sehingga tidak menarik untuk digandeng oleh pihak industri atau pengusaha.
Perlu juga disimak, kata kita (Indonesia) sering kali ditulis dalam artikel ini karena kesalahan atau kelemahan bukan hanya ditujukan kepada mereka (Pemerintah dan Perusahaan) tetapi juga dia (perguruan tinggi/lembaga penelitian), bahkan engkau (peneliti) dan aku (dosen) yang wajib mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kita perlu manut pada pesan Prof. Emil Salim yang mengatakan bahwa keberlanjutan (sustanability) itu adalah meleburnya kata mereka, dia, engkau, dan aku menjadi kita. Andaikan saja kita (Indonesia) manut pada pesan begawan ekonomi dan lingkungan tersebut sejak reformasi bergulir maka pendekatan bioekonomi akan lahir dan dibesarkan di negeri ini dan bukan di Jerman.
Transisi Energi ke BioekonomiÂ