Untukmu Ayah
Di tempat entah berantah
–yang mungkin juga kau sudah mati-
Entah apakah kata-kata di atas masih pantas kualamatkan untukmu. Mengingat kau tak pernah menampakkan batang hidungmu di hadapan kami, anak dan istrimu sekian lama. Namun, terlepas kau seorang pria berengsek atau tidak, sayangnya kau tetap ayahku.
Bertahun-tahun yang lalu, aku sangat mengagumi, mendambakan, merindukan dan menanti sosokmu hadir di duniaku. Saat aku masih terlalu naïf dan mudah percaya akan cerita-cerita ibu tentang kebesaran, kehebatan dan kehangatan sosokmu.
Bodohnya aku yang percaya cerita ibu, bahwa kau seorang kapten kapal yang gagah berani dan penuh cinta. Berjuang demi anak dan istrimu, demi kelangsungan hidup kami. Berangkat mengangkat sauh dengan derai air mata menatap ibu yang sedang menggendongku dan melepasmu hilang ditelan horizon. Kau pertaruhkan waktu, cinta dan kasihmu untuk kami. Kau mengadu nasib dengan hempasan ombak besar dan puting beliung, demi kami.
Hingga aku harus bergumul penuh lumpur dan ceceran darah, akibat bertarung dengan setiap anak yang mengejek dirimu. Sedangkan aku adalah seorang anak gadis yang seharusnya sibuk bermain dengan boneka, bukan bertarung dengan anak laki-laki saat seusia ku. Aku mempertaruhkan segalanya untuk menjaga kehormatanmu.
Tatapan menjijikkan dan ejekan-ejekan yang menyayat hati menjadi makananku setiap hari. Hatiku selalu terbakar saat mereka mengatakan bahwa ibu hanya seorang pelacur dan aku anak haramnya. Bahwa kau hanya seorang pemabuk dan tukang judi yang mempertaruhkan ibu di setiap perjudianmu dan kau selalu kalah. Mana mungkin saat itu aku percaya bahwa kau selalu tertawa terbahak-bahak dengan napas bau menjijikkan aroma alcohol, saat melihat ibu disetubuhi pria-pria yang mengalahkanmu. Kemudian bagai binatang, kau mengumpulkan tiap keping receh yang mereka lemparkan ke tanah, sebagai bayaran untuk kenikmatan tubuh ibu.
Bagaimana mungkin aku dapat menerima perkataan mereka, bahwa kau mencampakkan dan meninggalkan ibu saat mulai mengandung diriku. Tanpa otak kau berkata bahwa aku bukan anakmu. Bahwa kau juga berteriak mengatakan ibu seorang pelacur –yang justru dirimulah yang menjajakan ibu kepada setiap pria hidung belang di atas meja judi-.
Aku selalu merutuki diriku sendiri, tiap aku mengingat masa-masa itu. Saat aku masih menganggap pria sepertimu sebagai pahlawanku. Saat aku menangisimu setiap malam dan melempar pandang ke arah lautan. Berharap kau muncul dengan senyuman hangat dan pelukan penuh cinta untukku dan ibu.
Entah ini surat keberapa yang sudah kutuliskan untuk dirimu. Walau aku tahu dengan pasti bahwa kau tak mungkin menemukannya dan membaca suratku. Namun bodohnya diriku, masih saja menggoreskan pena di atas kertas dan memasukkannya ke dalam botol, kemudian menghanyutkannya di lautan.
Menceritakan segalanya tentang apa yang kualami dan kurasakan kepadamu. Berharap kau menemukannya dan mengetahui bahwa anakmu masih menunggumu datang. Bahwa kau tidak melewatkan tiap kejadian yang aku alami. Bahwa kau selalu tahu akan perkembangan hidupku.
Surat pertamaku yang menceritakan bahwa aku sudah bersekolah dan mendapatkan beasiswa. Surat pertama yang kutulis dengan kata-kata sederhana yang mengatakan bahwa aku selalu mendoakan kesehatanmu, hingga kau kembali kepada kami. Cerita tentang haid pertamaku, bahwa betapa memalukannya harus berada di kelas, di atas tempat dudukku seharian, karena malu bercak darah yang tembus di belakang rokku. Dan aku tak henti-hentinya menangis akibat olokan teman-temanku, hingga akhirnya ibu menjemputku pulang.
Cerita tentang cinta pertamaku yang bernama Randy. Seorang anak basket di SMP-ku, yang ternyata hanya mendekatiku untuk berkenalan dengan sahabat karibku. Dan ketika aku harus bersekolah sambil membantu ibu berdagang gorengan di sekolahku untuk membiayai hidup kami sendiri, tanpa bantuanmu. Bahkan akupun menceritakan saat-saat ibu jatuh sakit. Di mana aku harus berjuang seorang diri menjadi pembantu rumah tangga di sebuah rumah saudagar kaya, untuk membiayai pengobatan ibu. Hingga akhirnya ibu pergi selamanya meninggalkanku seorang diri.
Juga saat aku menemukan pria baik dan sederhana yang dapat menerimaku apa adanya, kemudian menikahiku. Hingga aku memiliki malaikat-malaikat kecil bernama Salwa dan Rakha yang mengisi hari-hari indahku dengan senyuman mereka. Canda, tawa, sedih dan tangisan, semua kuceritakan kepadamu. Tak ada yang aku lewatkan untukmu. Berharap kau tahu, bahwa aku membutuhkanmu di sisiku untuk mendekapku hangat dan memberikan kekuatan kepadaku. Bahwa kau benar-benar ada untukku, sebagai ayahku.
Mungkin hanya botol-botol dan lautanlah yang tahu seberapa banyak air mata yang terjatuh tiap aku melarungkannya bersama ombak. Dan akupun tak tahu, seberapapun besarnya kebencianku terhadap perlakuanmu, masih saja aku melakukannya. Yang entah mungkin saja jika kau tahu, hanya kau anggap sebagai gangguan atau kebodohan. Dan sekali lagi, mungkin saja kau benar-benar tidak mengganggapku sebagai anakmu.
Namun ini adalah surat terakhirku. Aku takkan lagi mengganggumu. Entah siapakah dirimu, dimanakah kau berada, aku hanya ingin menyampaikan kepadamu, bahwa aku dapat berdiri tegak menatap dunia walau tanpa hadirmu. Bahwa aku takkan mengulangi kebodohanmu yang meninggalkan anak dan keluargamu begitu saja. Bahwa aku membesarkan mereka penuh cinta dan kebahagiaan. Bahwa aku tumbuh dan berkembang sebagai wanita terhormat. Bahwa aku telah memiliki sebuah keluarga sederhana yang utuh dan penuh cinta.
Semoga Tuhan dapat membuka mata hatimu dan memberikan ampunan untukmu.
Anakmu, Sally Agustiana Putri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H