Rasya Dwi Andika
*PERMULAAN*
Gemericik suara rintik hujan senja, membasuh bumi yang mulai bosan dengan terik mentari yang membakar hari. Meskipun sinar surya mulai meredup, namun nampaknya Rasya tidak menggubrisnya. Dia masih saja asik mengibas setiap jenggal sudut berdebu dan menerbangkannya ke udara. Pengap, kotor, dan lembap, itulah yang jelas terasa di dalam ruangan seluas lima kali delapan meter, tempat Rasya berada sekarang. Ruangan yang kelak menjadi kamarnya.
Sudah dua hari ini Rasya pindah ke rumah bekas Duta Besar negeri ini, yang telah meninggal tanpa memiliki sanak saudara. Cukup aneh memang, namun Rasya tidak memperdulikannya. Dia mendapatkan rumah itu dari pelelangan publik bulan lalu.
Dia harus segera menyiapkan ruangan kerjanya, agar dapat segera melanjutkan pekerjaannya sebagai Tim Sukses salah satu kandidat calon pemuka negeri.
Rasya Dwi Andika adalah seorang orator muda yang termasuk beruntung dalam kancah politik. Umurnya bahkan belum genap tiga puluh tahun, namun dia telah terpilih sebagai wakil anggota parlemen di salah satu kota di negeri mimpi tersebut.
Sosoknya yang ambisius, dingin dan cerdas, membuat dirinya cukup diperhitungkan oleh tiap-tiap lawan politiknya. Visi, misinya yang tegas dan jelas membuatnya semakin dihargai. Program strata satu hukumnya dia dapatkan dari Universitas Indonesia pada tahun 2005 dan menyelesaikan program Magister of Law-nya empat tahun kemudian di Oxford University, Inggris.
Sesuai dengan namanya, Rasya adalah anak kedua dari keluarga Haryosusanto yang terpandang di negeri ini. Namun kemudian dia menjadi anak tunggal keluarga ini, karena kakaknya telah meninggal akibat kejadian enam tahun yang lalu. Sebuah cacatan pahit dirinya dan keluarga Haryosusanto. Masa lalu yang coba dia buang jauh-jauh dari pikirannya. Kejadian yang membuatnya sekarang seperti ini. Berkubang dalam dunianya sendiri. Menyibukkan harinya dengan setumpuk pekerjaan, yang bahkan nuraninya menolaknya.
“Krrriiiinnngggg….”, suara dering telpon di sudut ruangan itu mengganggu kesibukannya. Dengan langkah malas dia meraih gagang telpon. Suara yang terdengar di seberang sana terdengar begitu bersemangat.
“Rasya, materi kampanye untuk minggu depan sudah kau persiapkan bukan? Ini langkah awal besar kita. Revolusi! Revolusi Rasya! Persis seperti yang kau utarakan padaku semasa di kampus dulu. Inilah saatnya. Aku tak sabar melihat hasil kerja keras kita selama empat tahun ini.”
Itulah Reno Putra Sebastian, teman semasa kampus Rasya dulu, sekaligus rekannya dalam dunia politik. Dia begitu terpengaruh oleh pandangan Rasya semasa kuliah dulu.
Paradigma yang mendoktrin alam bawah sadar Reno, bahwa segalanya harus jelas dari awal. Dunia butuh kejelasan dan bukti. Tidak perduli dengan janji-janji para aristokrat berdasi yang hanya mengurus perut sendiri. Rakyat ingin mengubah dunia dengan cara sederhananya. Persetan dengan prinsip paling mendasar dari para aristokrat, yaitu feodalisme. Persetan dengan tikus berjas yang menggrogoti lumbung rakyat jelata, demi perut buncit berisi belatung. Bukan feodalis, tapi rakyat yang memandang realita hidup. Ketika koin-koin dan kertas-kertas lusuh menjadi tolak ukur terjaminnya kebutuhan hidup maka rakyat mencarinya. Semua telah bergeser. Dunia dengan hukum manusia terlalu bobrok. Kembali kepada hukum Allah, maka dunia akan mendapat keadilan dan keberkahan.
Rasya hanya menjawab ringan, “Sudah. Semua sudah terkonsep jelas di otakku. Tenang saja. Semua materi akan sampai di mejamu dalam dua hari.”
“Ok. Ku tunggu kabar selanjutnya,” percakapan pun berakhir.
Rasya membanting gagang telpon itu dengan keras, menghantam lantai marmer.
“Aku muak dengan dunia ini. Dunia yang penuh dengan kemunafikan. Semua hanya berlenggang manja pada situasi dan bergelayut dengan kepentingan masing-masing. Omong kosong dengan kepedulian. Tidak ada yang yang benar-benar peduli dengan keadaan orang lain. Semua hanya tunggang-langgang menyelamatkan perut masing-masing.”
Kemudian dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Debu segera berhamburan memenuhi seisi ruangan. Sedahsyat kepulan asap bom atom Hiroshima, yang memperjelas bayangannya, sudah pasti ruangan ini telah ditinggalkan lama sekali. Rasya pun terbatuk-batuk, kemudian dia terjatuh dan mengaduh kesakitan.
Pandangannya seketika tersita kepada sebuah kotak usang, yang tergeletak di bawah ranjang. Sebuah kotak yang mengusik rasa ingin tahunya. Dia meraih dan mengusap kotak kayu lusuh itu. Kepulan asap kotor segera membumbung memenuhi ruangan. Secarik kertas potongan koran ikut terbang di antara kepulan debu, kemudian menempel di badannya. Rasya meraih kertas itu dan bermaksud untuk menyingkirkannya. Namun judul dan sebuah foto yang berada di atas potongan koran itu mengusik rasa ingin tahunya.
“Seorang Gadis Muda Cantik, Korban Penculikan 6 Tahun Yang Lalu Ditemukan”. Sebuah potret gadis muda yang terpampang, memperjelas isi subyek cerita. Tampak raut wajah berbinar seorang gadis muda berambut pendek sebahu dengan tahi lalat kecil tersungging di atas sudut bibir manis nan ranum.
Itu adalah potret Elaina Rosaria Cherril Cantika.
Rasya sejenak tertegun dalam keterperanjatan. Gemuruh bersahut dalam sukmanya. Jemarinya bergetar liar menggenggam potongan koran itu. Mata liarnya mencari-cari sesuatu, yang dia harapkan adalah potongan koran yang lain, namun sayangnya tidak dia temukan. Dalam sebuah hasrat liar menggebu, dia mengamati setiap isi berita di dalamnya. Mengibaskan setiap debu yang menempel pekat yang menutupinya, berharap mendapatkan bacaan yang lebih jelas.
Elaina Rosaria Cherril Cantika, bukan sebuah nama yang asing untuk mata, telinga dan hatinya. Elaina adalah sumber kehidupannya. Pusat dunianya. Bidadari yang dipuja pikirnya. Gadis yang telah merampas semua pandang, pikir dan hatinya hanya untuk tertuju padanya. Gadis yang membawa kunci hati Rasya pergi, hingga kini dia berkubang dalam dingin dan sepi. Dia adalah Elaina Rosaria Cherril Cantika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H