Aku tak yakin ada seseorang yang lain yang dapat merampas hati, pikir, jiwa dan cintaku sedahsyat dirimu. Betapapun aku bersusahpayah mencarinya, namun tak pernah kutemukan seseorang sepertimu. Namun sayang, egoku menutup semuanya. Membiarkanmu pergi meninggalkan hidupku. Kau yang mampu meyakinkan diriku bahwa masih ada cahaya untukku di kala gelap, namun justru aku yang membiarkan cahayamu padam.
Walau kini aku berkubang dalam rasa sesal, namun ego menahanku untuk menjemputmu kembali. Aku tak mau terlihat sebagai pria cengeng yang rapuh karena cinta, namun aku tak bisa memungkiri hati kecilku, bahwa aku hancur. Hilang tanpa hadirmu.
Engkau yang telah merasuk hingga ke sela-sela kecil ruang di hidupku, kini tak ada lagi. Aku kehilangan orang yang telah memberikanku keyakinan bahwa aku tidak sendiri. Bahwa ada kamu yang selalu siap berada di sisiku kala sedih ataupun riang. Kini aku benar-benar sendiri dan sepi.
Tunjukkan aku cara mengalahkan egoku, agar aku dapat menarik tubuhmu dan mendekapmu kembali dalam pelukku. Aku tak ingin menjadi pria bodoh yang membuat air matamu terjatuh, kemudian melihat pria lain memberikan bahunya dan menyeka air matamu dalam peluknya. Sungguh aku tak ingin itu. Gamang dalam jiwaku saat bayangan akan hal itu terjadi di pikirku. Aku masih mencintaimu dan aku ingin kau kembali.
Dan ketika aku telah mengalahkan egoku dan mencoba untuk memintamu kembali, kau telah menjadi milik orang lain. Walau aku tak ingin air mataku terjatuh di sana, namun sungguh tak dapat kubendung rasa sakit itu. Ketika kutemui kenyataan bahwa aku telah terlambat. Bahwa kata maaf telah menjadi debu yang mudah tertiup angin dan hilang tanpa jejak. Bahwa aku bukan lagi menjadi raja di hatimu. Bahwa aku hanya menjadi bagian masalalumu yang kelam dan harus kau lupakan.
Ego… ya.. egokulah yang menjadi virus yang menggerogoti bangunan cinta kita hingga hancur berkeping-keping. Kini aku merutuki diriku yang bodoh. Jumawa akan perasaan dicinta. Yang aku kira bahwa kau akan terus bertahan di sisiku tanpa rasa lelah. Aku terlupa bahwa kau juga hanya manusia biasa yang dapat rasakan sakit, lelah, jenuh dan jengah. Aku terlupa bahwa cinta juga harus memberi saat menerima. Aku terlupa bahwa kau juga butuh dekapan hangatku untuk meyakinkan perjuanganmu tidak sia-sia. Betapapun aku menyesal kini, berapa banyakpun ucapan maaf yang terucap. Aku tersadar bahwa waktu tak bisa kuputar kembali. Aku benar-benar telah kehilangan dirimu.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam.
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.
Aku tanpamu, butiran debu.
Bait lagu Butiran Debu milik Band Rumor mengisi isi kepalaku. Tak terasa air mataku terjatuh tak terhalang.
Aku menerawang jauh menyapu langit malam. Aku jadi ingat perkataanmu –yang saat itu belum menjadi pacarku- bahwa kita tidak pernah sendiri di dunia ini, persis seperti bintang-bintang yang menemani bulan di malam hari. Seandainya bintangku itu benar-benar hanya kamu. Karena hanya engkaulah yang aku rasa siap berada di sisiku kapanpun.
Saat itu kau menatapku dalam. Jauh merasuk melalui mataku.
“Apalagi yang mengganggu pikiranmu?” tiba-tiba kau mengajukan pertanyaan yang membuatku gugup dan tergagap.
“E- entahlah.” Aku hanya dapat tertunduk.
Kau memelukku dengan penuh kelembutan. Entah mengapa tiap sentuhanmu membuat degup jantungku semakin berdebar kencang. Ah… sial, jangan sampai bunyinya terdengar olehmu. Bisa malu aku dibuatnya nanti. –itulah yang kupikir saat itu-.
“Lihat- ada bintang jatuh. Kalau kata orang, saat kau melihat bintang jatuh, buatlah harapan. Maka harapanmu akan terkabulkan.” Tiba-tiba kau berkata yang membuatku kaget. Dan aku ikut melihat bintang berekor itu jatuh di batas cakrawala.
“Apakah kau tahu, bahwa sangatlah menyenangkan memiliki seseorang yang selalu ada di sisimu, baik susah ataupun senang. Seseorang yang bukan hanya sekedar menerimamu apa adanya, namun juga menuntunmu ke jalan yang benar, sehingga kau menjadi seseorang yang lebih baik. Seseorang yang selalu mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah.” Mataku menerawang menuju langit luas.
“Seseorang yang siap menyeka air matamu saat terjatuh. Seseorang yang selalu siap menyediakan bahunya untuk dijadikan tempat bersandar. Seseorang yang selalu siap membantumu bangkit, saat kau terpuruk dan mengingatkan kita agar tidak kelewat batas saat kita bahagia.”
“Dan seseorang itu dinamakan belahan jiwa.” Aku menghentikan perkataanku dan berharap kau tahu maksudku. Aku ingin menjadi belahan jiwamu.
“Ehm….. Nggak.” Jawabmu datar.
“Ah… dasar kau pria bodoh. Kau terlalu berharap kepada gadis bodoh seperti dia. Apa kau pikir selama ini dia melakukan semua hal untukmu karena dia menyukaimu? Bukan!! Dia hanya seorang gadis polos yang masih sibuk mengurusi urusan kuliah dan impian-impian hidupnya. Mana mungkin dia sempat berpikir untuk mencintaimu.” Aku merutuki diriku sendiri.
Rasa kecewa menyelimuti hatiku setelah mendengar jawabanmu yang datar.
“Pernahkah kau merasa kesepian?” Tanyaku tanpa menatapmu.
“Pernah, bahkan sering” jawabmu sekenanya.
“Aku selalu merasa kesepian. Tidak ada satu orangpun yang peduli denganku di dunia ini. Aku selalu merasa sendiri, bahkan di antara keramaian. Dan sepertinya memang tidak ada yang pernah peduli denganku.”
“Ehm… tahukah kamu, saat sepi mendera hatiku, aku selalu menatap langit dan menyapu malam.” Ternyata kau menanggapi perkataanku.
“Cobalah lihat langit malam ini. Apakah bulan pernah sendirian? Jawabannya adalah tidak. Ada berjuta-juta bintang yang berkedip genit dan riang menemani bulan. Walau bintang tak pernah menempel pada bulan, namun bintang selalu ada saat bulan bertugas mengganti mentari.”
“Jika saja kau mau membuka matamu, maka kau akan menemukannya. Bahwa ada berjuta-juta cinta untuk kita, walau tanpa kita sadari keberadaannya. Bahwa kita tidak pernah sendirian.” Kau tersenyum menatap wajahku.
Aku ikut tersenyum. Yang kuingin adalah dirimu, tidakkah kau mengerti?
Kemanakah sosok dirimu itu kini? Sosok gadis periang yang selalu tersenyum tulus kepada semua orang. Senyuman yang selalu meneduhkan jiwaku saat kalut. Aku sungguh kehilangan sosokmu.
Pernah kau ingat saat itu? Saat kita sedang tertawa dan bercengkrama di sebuah warung kopi pinggir jalan, karena aku tidak memiliki cukup uang untuk mengajakmu sekedar jalan-jalan ke mall atau menonton film-film terbaru di bioskop. Kau tetap menemaniku dengan riang.
“Kemanapun kau pergi, aku akan selalu bersamamu.” Itulah ujarmu.
Rasa syukur tiada tara tertuju pada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan sosok gadis sepertimu. Kau selalu meyakinkanku saat aku mengeluhkan tentang hubungan-hubunganku yang silam.
“Aku selalu iri, setiap kali aku melihat pasangan yang sedang merayakan anniversary hubungannya yang kesatu, kedua dan seterusnya. Karena aku tak pernah sekalipun merasakan hubungan yang seperti itu sebelumnya.”
Kemudian kau mendekapku dari belakang dan berbisik di dekat telingaku, “Berdirilah bersamaku, pangeranku. Karena denganku, kau tidak akan sekedar merasakan cinta satu, dua, tiga ataupun hitungan tahun yang lain. Karena aku akan berada di sisimu selamanya.”
Apakah kau ingat akan janjimu itu? Aku hanya dapat menggenggam dan memandang potret dua dimensi dirimu, sedangkan kini dirimu telah berada dalam pelukan orang lain. Sungguh sesalku tiada guna. Kini aku hanya dapat merasakan kepedihan, karena ego dan kebodohan diriku yang telah menyia-nyiakan dirimu saat berada di sisiku. Mungkin aku memang tak pantas untukmu, karena tanpamu aku bukan apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H