Mohon tunggu...
Syukrie Patria
Syukrie Patria Mohon Tunggu... pegawai negeri -

\r\nSaya hanya seorang pria dengan Jutaan Kekurangan.\r\n^____^"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Sebuah Perjalanan

3 April 2012   11:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mencoba untuk mengingat. Dulu, saat kita bertemu, kita adalah dua insan yang sama-sama baru saja terluka hatinya. Kehilangan arah, harapan dan keyakinan akan eksistensi Cinta yang Tulus. Pejalanan kita tidak mudah. Berkali-kali kita terjebak dalam hati yang terbagi dan mendustakan satu-sama lain. Namun jauh di dasar lubuk hati kita yang paling dalam, sama-sama memiliki lentera kecil yang menyala bernama Asa. Dian kecil yang redup itu mencoba meneguhkan hati kita,

“AKU TIDAK INGIN TERJATUH DALAM PEDIH CINTA TERUS MENERUS. BIARKANLAH AKU MERASAKAN CINTA YANG TULUS, WALAU MUNGKIN UNTUK YANG PERTAMA DAN TERAKHIR DALAM HIDUPKU, SEBELUM MATAKU TERPEJAM UNTUK SELAMA-LAMANYA. SEMOGA…. SEMOGA….. DAN SEMOGA.”

Walau berkali-kali kita mencoba untuk membesarkan bara asa itu, kita kembali gagal. Ketidak percayaan  buta menutupi mata hati kita. Rasa curiga, cemburu dan sangsi membalut perjalanan kisah kita. Kita sama-sama terluka. Tidak sedikit dan tidak pula sebentar, luka itu menganga di lapisan luar dan dalam hati kita karena Ketidak-percayaan.

Entah berapa kali dan berapa banyak air mata yang menetes keluar dari kedua bola mata kita, saat kita menyakiti satu sama lain atau bahkan diri kita sendiri. Ego menjadi Raja atas Hati dan Pikiran kita saat itu. Dan entah untuk keberapa kalinya kita berkubang dengan rasa frustasi, pada saat kita menemukan sesuatu yang jauh dari harapan kita terhadap satu sama lain. Mungkin hanya langit-langit kamar dan derik suara kipas yang berputarlah yang menjadi saksi bisu saat air mata itu terjatuh.

Ketakutan dan trauma masa lalu membuat kita terbelenggu dalam pikiran sosok yang SEMPURNA. Sedangkan kita terlupa, bahwa CINTA YANG TULUS AKAN HADIR SAAT KITA MEMBERIKAN KETULUSAN ITU SENDIRI KEDALAM CINTA. JANGAN BERHARAP CINTA YANG TULUS, TAPI BERIKANLAH CINTA TULUSMU KEPADA PASANGANMU, MAKA KAU AKAN MENDAPATKAN CINTA TULUS YANG JAUH LEBIH INDAH DARI APA YANG KAU HARAPKAN.

Sesungguhnya aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau rasa, namun entah kenapa aku percaya, bahwa kau pun merasakan hal yang sama seperti apa yang kurasakan. Jika boleh, izinkan aku menceritakan Cinta ini menurut perspektifku.

Saat aku bertemu dengan mu dulu, aku berada dalam fase terburukku dalam krisis kepercayaan. Berkali-kali terluka membuatku memandang rendah derajat wanita, terkecuali ibuku, saudaraku dan keponakan-keponakanku. Mencintai menjadi kata-kata HARAM untukku. Bahkan saat aku masih bertahan denganmu, hanya berdasar sebuah alasan yang bernama LELAH. Lelah memulai kembali dan lelah mencari.

Bagitu banyak hal yang membuatku terluka dan kecewa di dirimu. Kemudian tanpa lelah aku BERUSAHA MENGUBAHMU MENJADI SEPERTI APA YANG AKU MAU. Namun seperti apa yang aku perkirakan sebelumnya, hasilnya adalah NIHIL. Kau tidak pernah berubah apapun, sedikitpun.

Dan tahukah kau apa yang membuatku kemudian tersadar atas kesalahan yang aku perbuat terhadapmu?

Sinar sorot matamu yang mengatakan kepadaku bahwa, KAU LELAH. Kau lelah sepertiku. Kau menginginkan hadirnya sosok yang dapat memberikan dekapan hangat atas kegalauan jiwamu. Kau menginginkan sosok yang dapat tetap berada di sisimu mendengarkan seluruh ceritamu. Kau tidak menginginkan sosok yang dapat merubah kesedihanmu menjadi tawa, karena kau tahu, bahwa tawa yang hadir itu adalah palsu. Kau menginginkan sosok yang siap menyeka setiap tetesan air mata yang terjatuh dari bola matamu. Kau menginginkan sosok yang selalu siap memberikanmu bahu dan menyandarkan semua beban yang kau rasa. KAU MENGINGINKAN SOSOK YANG DAPAT MEMBUAT MU KEMBALI PERCAYA, BAHWA CINTA ITU INDAH DAN CINTA TULUS ITU BENAR-BENAR ADA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun