Berpuasa di bulan Ramadhan adalah sebuah terapi psikologi untuk mengubah mentalitas kita sebagai umat islam dalam ibadah. Artinya, puasa menjadi semacam sarana dan ajang pembaharuan mental. Dengan berpuasa seseorang bisa melatih kedisiplinan serta dididik untuk senantiasa bersabar. Inilah salah satu hikmah mendasar dari berpuasa di bulan Ramadhan. Tentunya masih banyak lagi hikmah-hikmah yang akan kita peroleh dalam berpuasa diantaranya :
Hikmah pertama dari berpuasa ialah untuk mengembangkan rasa empati dan rasa kepedulian kita terhadap sesama. Saat berpuasa, kita merasakan betapa beratnya ketika perut kosong dan rasa dahaga yang mengeringkan tenggorokan. Hal inilah yang semestinya bisa membangkitkan kesadaran diri kita untuk bisa merasakan apa yang dialami oleh saudara kita yang kurang beruntung dalam kehidupannya. Maka dari itu, berpuasa di bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita peduli terhadap saudara-saudara kita, terutama mereka yang sangat membutuhkan uluran tangan dari kita.
Hikmah kedua dari ibadah puasa yaitu menguji kedisiplinan diri, Ketika berpuasa kita harus menahan rasa lapar dan haus, mengendalikan nafsu diri selama kurang lebih 15 jam dalam sehari. Hal ini membutuhkan kesabaran diri dari segala godaan disekeliling kita untuk tidak membatalkan puasa. Dengan demikian, melalui puasa, seseorang akan semakin giat untuk melatih diri dalam menjalankan kewajiban sebagai muslim yang telah mukhallaf.
Hikmah ketiga dari berpuasa ialah menguatkan lagi keimanan serta ketaqwaan didalam diri seseorang sebagai rasa pengabdian dan penghambaan kepada Allah SWT, karena Allah hanya meminta kita untuk berpuasa satu bulan saja di bulan Ramadhan dan tidak mewajibkan kita berpuasa di sebelas bulan lainnya, oleh karena itu di bulan Ramadhan inilah kita dengan kesungguhan hati menundukkan diri kepada sang pencipta bumi dan seisinya .
Himah keempat dari puasa Ramadhan yaitu untuk menyambung kembali tali silaturrahmi yang hampir putus, menguatkan lagi tali persaudaraan yang mulai renggang antara kita dan saudara sesama muslim lainnya. Bulan Ramadhan ini adalah momen yang selalu di rindukan oleh umat islam di seluruh dunia. Saat berbuka bersama, kita diberi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, karib kerabat, tetangga dan teman teman sebaya. Inilah waktu yang tepat dalam mempererat hubungan sosial dan rasa persaudaraan di antara kita , karena sejatinya kita adalah makhluk sosial yang saling membutukan.
Menurut pakar ulama, jika hendak diakumulasi, puasa pada hakikatnya mendorong kita untuk meningkatkan kesadaran diri untuk selalu berubah menuju ke arah kualitas hidup yang lebih baik. Pembaharuan mental dan emosional, dalam tulisan saya ini didefinisikan sebagai transformasi cara pandang ataupun sikap kita setelah mengetahui hikmah dibalik sesuatu, dengan begitu seseorang akan merasa terdorong untuk melakukan kegiatan positif menuju pribadi yang lebih baik lagi.
Sebagaimana sudah jelas tertera didalam QS.Az-zariyat:7, tugas utama manusia untuk beribadah hanya kepada Allah semata. Pertanyaannya, sejauh mana kualitas ibadah yang kita lakukan selama ini? Yang lebih esensiannya, apakah kualitas ibadah kita sebanding atau sama lurus dengan kualitas hubungan sosial kita dengan sesama?.
Parameter kualitas ibadah seseorang sangat dipengaruhi oleh sikap mentalitas dan motivasi seseorang dalam beribadah. Menurut pakar ulama, jika dilihat dari perspektif ini, maka ibadah puasa dikategorikan menjadi lima tipe.
Pertama, tipe ibadah dengan mentalitas budak, ia bekerja berdasarkan rasa ketakutan kepada tuannya. Jika kita beribadah hanya dengan motif rasa takut akan murkanya Allah, berarti  sama saja kita mengasosiasikan bahwa Allah sebagai tuhan yang begitu "galak", penuh amarah dan sangat menakutkan. Padahal Allah adalah tuhan Yang Maha Penyayang, yang senantiasa setia dan menunggu taubat dari hamba hambanya.
Kedua, yaitu tipe ibadah dengan mental seorang kuli bangunan. Mental kuli tidak jauh dari rasa inginnya akan sebuah bayaran atau upah. Ia mau bekerja jika diberi imbalan yang setimpal akan sebuah pekerjaan yang dilakukannya secara cepat. Ia akan sopan dan loyal kepada atasannya jika setiap ia diberi upah (ujrah). Namun, Ketika sang atasannya terlambat memberikannya upah dari waktu yang telah disepakati sebelumnya, bisa jadi, seorang kuli yang sebelumnya loyal dan sangat rajin berubah menjadi seorang yang pemarah, emosional, dan tidak memiliki semangat untuk bekerja lagi, bahkan ingin berhenti bekerja dari tempat ia berkuli. Nah, diantara kita tentunya masih ada yang memiliki mentalitas ini, dimana pada saat ia beribadah,ia menginginkan imbalan dari Allah langsung dan jawaban akan doa doanya. Ia tidak pernah berpikir bahwasanya besok ada "rapelan" upah atau pahala di akhirat. Ketika ia rajin beribadah, misalnya sholat tahajud, namun ternyata kondisi ekonominya tidak kunjung membaik, maka ia akan mutung dan berhenti beribadah. Mentalitas ini dalam bahasa dinamakan 'ibadatul 'ummal.
Ketika, tipe ibadah dengan mentalitas para pedagang. Sikap ini hanya memikirkan keuntungan saja. Ibadah jenis ini dinamakan 'ibadatil lil masubah. Bahasan "untung-rugi" akan selalu muncul dalam kegiatan ibadahnya. Ketika sholat, misalnya, ia selalu mengharap keuntungan dunia dan berharap diberikan syurga serta limpahan pahala. Bukan berarti dilarang melakukan ibadah karena motivasi ini, karena di dalam al-qur'an dan juga hadist banyak sekali disebutkan iming-iming syurga dan pahala. Namun dalam kaca mata tasawuf, ibadah dengan sikap ini rawan mereduksi kualitas ibadah serta keikhlasan pelakunya. Karena sejatinya ibadah, misalnya bersedekah dilakukan dalam rangka bersyukur dan berbagi rezeki kepada sesama bukan mencari rezeki. Kalau kita bersedekah mengharapkan imbalan yang berlipat ganda dari yang diberikan, maka itu namanya bukanlah sedekah, namun itu adalah dagang.
Keempat, yaitu tipe ibadah dengan mentalitas balas budi. Seseorang pada tahap ini merasa bahwa dirinya tersebut banyak dianugerahkan oleh Allah berupa nikmat-nikmat, maka dari itu orang ini merasa berhutang budi terhadap segala limpahan nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, padahal berpuasa sepanjang hiduppun ia tidak akan bisa menandingi bahkan membayar sewa sepasang mata. Pun, sedekahnya kepada seluruh anak yatim di dunia ini tidak akan cukup memadai untuk mengganti biaya sepasang bola mata. Oleh karenanya, janganlah sampai kita mempunyai rasa seperti ini kepada Allah, sebab ibadah yang kita lakukan seumur hidup pun tidak akan mampu mengimbangi seluruh karunia Allah SWT.
Kelima, yaitu tipe ibadah dengan gaya mentalitas para kekasih. Pakar ulama mengatakan bahwasanya sikap ini dinamakan 'ibadatul ahibba. Para kekasih ini adalah orang yang bertubi-tubi jatuh cintanya kepada Allah. Ibarat seorang pemuda yang sedang sangat kasmaran dalam percintaannya kepada sang kekasih. Dorongan ingin bertemu kekasih bukan karena ingin diberi apa-apa, melainkan agar rasa cintanya dan hubungannya semakin dekat. Ibadah dengan sikap seperti ini, tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang akan melahirkan sikap keikhlasan yang begitu luar biasa. Inilah kategori ibadah terbaik dan yang paling benar kualitasnya. Dan bahkan agama sangat menganjurkan kita untuk senantiasa dapat beribadah dengan sikap ini, karena kita beribadah dengan didasari rasa cinta kepada-Nya.
Pembaharuan mental dalam bulan Ramadhan bukanlah hanya tentang mengubah sikap diri kita, tetapi juga memperbaiki cara pandang kolektif masyarakat. Ditengah-tengah ritual puasa dan ibadah, ada hendaknya kesadaran yang tumbuh bahwa toleransi adalah kunci utama untuk mengatasi perpecahan dan konflik. Walaupun bulan ramdhan telah berakhir, hendaknya semangat pembaharuan mental kita tidak pudar sedikitpun. Dan kita dapat menciptakan kehidupan yang lebih inklusif, lebih berempati dan juga lebih toleransi. Karena pada hakikatnya jiwa-jiwa kita haus akan kedamaian dan persaudaraan. Dengan tekad yang sempurna dan hati yang mulia sudah terbuka, kita bisa bersama-sama menangkal intoleransi, dan membangun kehidupan yang jauh lebih baik untuk generasi mendatang. Semoga puasa yang kita lakukan pada tahun ini dengan segala muatan hikmah yang terkandung di dalamnya bisa menjadi momentum pembaharuan mental, terutama sekali mentalitas dalam beribadah umat islam. Dari level kualitas ibadah yang pertama menjadi level kualitas ibadah yang kelima menurut penulis. Tentu itu semua akan kembali kepada kesadaran diri masing-masing. Namun, bukankah pada hakikinya memang kita dituntut untuk selalu menjadi hamba Allah yang lebih baik setiap harinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H