Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: Rambo

24 Oktober 2014   21:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bulan separuh menggantung di langit terang. Selepas shalat isya yang didirikan dengan kedalaman jiwa nan syahdu, dituntaskan dengan doa panjang khusyuk mengiba-iba. Ini adalah doa orang teraniaya yang 90 persen bakal dikabulkan oleh Sang Maha pendengar segala doa. Kadang dibayar kontan, kadang pula diangsur sedikit demi sedikit. Dan malam itu, anak yang merasa teraniaya dengan ketakutannya sendiri berharap penuh-penuh doanya malam ini akan dibayar lunas oleh Sang Maha Pengabul doa. Lalu terucap pelan dengan artikulasi yang amat sempurna, “Ya Tuhanku… Malam ini, sebentar lagi, ikhtiarku untuk menyibak rahasia penebar ancaman itu Engkau ridhai. Kirimkan malaikatMu yang perkasa menyertai awal petualangan liarku malam ini, Amin!”

Syal merah terikat di kepala, Sebuah ransel menggantung di punggungnya. Dia telah mengisinya dengan peralatan segala rupa yang ditemuinya di gudang belakang milik Om Arema. Sebuah senter kecil berada di dalam genggamannya. Akulah RAMBO pembasmi kebiadaban.

Dia telah memperhitungkan matang-matang resiko yang bakal ditemuinya. Jika si Perak Laju yang mengaku dirinya telah kembali itu adalah benar-benar manusia pembunuh yang memiliki kecepatan laksana kilat, memiliki kegesitan laksana kijang dan memiliki naluri membunuh tanpa peri kemanusiaan, maka dirinya siap menjadi syahid untuk membela panji-panji kebenaran. Jika sang Perak Laju adalah manusia biasa dengan maksud tersendiri yang hendak mengambil keuntungan dari nama besar Perak Laju, maka dia siap menghadapi mereka dengan kecerdikan yang dimilikinya. Pun jika Perak laju adalah makhluk gaib yang bersekutu dengan setan maharaja segala kejahatan, maka ia meyakinkan dirinya, bahwa makhluk gaib juga adalah ciptaan Tuhan, dan asma-asma Allah akan melenyapkan mereka, memberangus mereka dari sisi orang-orang beriman.

Mantap sudah niat itu. Sekali lagi Ia mengencangkan ikat kepalanya dengan kedua tangannya seerat-eratnya. Tubuhnya tegak dengan sepatu kets warna hitam yang ditemuinya di gudang belakang rumah om Arema. Sekali lagi ia melafalkan doa pamungkas dengan posisi mengheningkan cipta. Kaki kanannya kini melangkah pasti diiringi ucapan basmalah.

“Ini adalah pondokku. Surgaku dan para sahabat-sahabatku. Siapapun yang berani merusaknya, menjarahnya, atau bahkan menghancurkannya akan berhadapan dengan RAMBO. Amanah Amran Mahmud pimpinan pondok untuk menjaga pondok selama libur wajib dipegang teguh, meskipun harus dibayar dengan nyawa.

Malam lengang. Bulan yang hanya separuh masih menggantung di langit terang. Meski hanya separuh, namun keindahan pantulan cahayanya mencebar ke relung-relung dada bagi yang menatapnya penuh gelora di malam itu. Bulan adalah tempat bertemunya para perindu, tempat bertemunya pasangan mata dua insan yang berjauhan. Dia menatap bulan yang hanya separuh malam itu, berharap kedua orang tuanya nun jauh di Manado sedang menatap bulan itu pula di saat yang bersamaan. Di sanalah wajah kedua orangtuanya terbayang, mata mereka bertemu saling melepas rindu. Kalau ini adalah pertemuan mata yang terakhir, Ia memohon ampun bagi segala kesalahan yang pernah ada, namun jangan lupa sertakan doa mengiringi petualangan liar bagi anakmu di malam ini.

Bisa dihitung dengan jari, manusia yang pernah menginjakkan kaki di bulan. Namun konon kabarnya bulan didekati tidak seindah yang dibayangkan. Konon permukaannya berlubang-lubang di sana sini, menyerupai kawah pegunungan, konon pula permukaannya menyerupai tebing-tebing bebatuan menyembul-nyembul kasar tidak beraturan. Maka jika seorang kekasih mengatakan kepadamu, “Engkau laksana bulan,” Maka cepat-cepatlah pergi berkaca dan berfikirlah tentang guna faedah dempul.

Bulan adalah benda besar bentuknya bulat seperti batok tempurung kelapa yang pernah dibelah lalu disatukan, maka seorang ilmuwan peneliti dari Inggris, berkesimpulan bahwa pernah suatu masa bulan ini terbelah dan disatukan kembali, terlihat jelas garis bekas belahan yang mengelilinginya tidak lurus dan tidak merata. Fenomena terbelahnya bulan ternyata tertulis dengan jelas dalam AlQuran; “Sungguh kiamat telah dekat, dan bulan terbelah.” Tahukah siapa yang pernah membelah bulan? Rasulullah Muhammad SAW atas seijin Allah SWT.

Diiringi cahaya bulan separuh, langkah-langkah RAMBO tegap mantap menuju pondok. Himbauan Om Arema untuk tidak kembali ke pondok sebelum masa libur usai dilipatnya kecil-kecil lalu disisipkan ke dalam kantong luar ranselnya. Amanah Amran Mahmud untuk menjaga pondok dan membebaskan diri dari ketakutan adalah hal yang lebih utama dan penting saat ini. Dia belajar dari sejarah kekalahan kaum muslimin pada waktu perang Uhud karena kaum muslimin pada waktu itu mengabaikan perintah Nabi Muhammad untuk tidak meninggalkan tempatnya sebelum ada instruksi selanjutnya. Namun ternyata harta rampasan pada waktu itu lebih menyilaukan mata ketimbang amanah Nabi Muhammad, maka hancurlah pasukan kaum muslimin dibantai kaum kafir. Alan tidak mau seperti prajurit-ptajurit Muslim kala itu yang meninggalkan amanah demi harta rampasan.

Hanya ada penerangan yang tidak berarti dari dua sisi depan sebelah kiri maupun kanan yang digantung di plafon luar aula pondok. Tidak cukup untuk menyorot menerangi kegelapan. Bisa dikatakan nyala lampu itu sekedar formalitas, karena fungsi utamanya untuk menerangi beranda depan pondok tidak tercipta sama sekali. Ini bukan karena pihak pondok tidak antisipatif terhadap kerawanan keamanan atau pengiritan biaya tagihan PLN, ini lebih disebabkan karena selama ini yang ada adalah aman-aman saja.

Pondok adalah kawasan paling aman dari intaian dunia luar. Di dalamnya tidaklah ada material harta berarti. Kawanan penjarah harta kemungkinan besar lebih memilih merampok sebuah bank daripada menyatroni pondok. Tidak ada limpahan harta yang bakal mereka temukan di tempat itu. Yang ada hanyalah limpahan harta-harta ilmu pengetahuan yang melekat dalam diri para guru, ustaz dan santri-santri budiman yang tidak mampu dicuri, dijarah, maupun dirampok oleh kawanan penjahat profesional manapun. Antara menabung uang menumpuk harta dan belajar adalah lebih bijaksana memilih belajar menuntut ilmu. Tabungan uang bisa ludes habis, namun ilmu itu seluas samudera, tak kan habis walau dibagi. Bahkan ia akan mengikutimu sampai ke liang lahat sekalipun. Dan ilmu malah bertambah berkali-kali lipat meski dibagikan ke ratusan atau ribuan orang. Seorang Ali bin Abi Thalib sahabat Nabiullah yang temasuk salah seorang Khulafaur Rasyidin mengajarkan bagaimana lebih utamanya ilmu daripada harta. Ketika suatu waktu disuruh memilih antara ilmu pengetahuan dan harta berlimpah, Ia dengan mantap memilih ilmu.

Mungkin atas pertimbangan itu, pengurus pondok tidak menaruh perhatian tersendiri tentang bagaimana pondok harus dibuat aman dari gangguan dunia luar. Amran Mahmud pimpinan pondok hanya mewanti-wanti kepala bagian umum untuk mematikan aliran listrik, dan kepala bagian dapur untuk melepas slang tabung gas yang terkoneksi dengan kompor gas, serta menutup seluruh wadah alat masak. Selebihnya, Aman. Silahkan berlibur sesuka hati, dan jagalah namabaik pondok ini.

Diputarnya kunci gembok ke arah kiri, ‘clock’. Satu bunyi isyarat dua elemen logam saling melapas tautan. Pintu pagar kecil yang diperuntukkan bagi santri keluar masuk kini terbuka. Ia masuk mengucapkan salam dari dalam hati. Assalamu alaikum Yaa ahla hazal makaan. Gelap menyambut. Petualangan liar dimulai.

Cahaya bulan tidak sanggup menuntun langkahnya dengan sempurna malam itu, penerangan seadanya memang benar-benar seadanya, pandangan hanya mampu menjangkau sejauh tiga meter dari tempat dimana ia berdiri. Itu artinya, ia tidak mampu melihat dengan jelas orang yang berada lebih dari tiga meter dari hadapannya. Ia memencet tombol on pada senter kecil yang ada di genggamannya. Selanjutnya ia berjalan tergesa-gesa menuju asrama. Kali ini ia menghidar untuk melewati sumur wustha, ia berbelok ke arah kiri menuju asrama Panglima Polem, melintasi asrama Diponegoro, melewati sumur qibar yang kian merana di malam-malam sepi mencekam. Ia menaiki tangga Laboratorium IPA, menyusuri berandanya, lalu menyeberang ke asrama Buya Hamka. Di depan asrama yang berada paling belakang area pondok bagian utara tersebut, ia berdiri memandang ke asrama Raja Khalid dan Kihajar Dewantara yang terpampang persis di hadapannya. Gelap gulita. Bergeser pandangan ke arah pukul 10 nampak asramanya sendiri Ibnu Khaldun. Jelas kelihatan atapnya dinaungi cahaya bulan separuh. Ke arah sanalah tempat yang hendak dituju. Namun tanpa disadarinya empat pasang mata sedang mengintai, mengawasi tindak tanduknya.

Detak jam memacu. Malam kian panjang.

“Anak itu nekad kembali. Apa yang harus kita lakukan?” Bisik Sangkala (baca: Sang-kala’) seseorang dari keempat kawanan itu yang berambut gondrong sebahu. Kelompok giginya pada bagian atas offside, lebih maju beberapa senti melewati gigi-gigi bagian bawahnya. Seperti berebut hendak mendahului. Perawakannya sedang. Tingginya tidak lebih dari 165 senti meter.

Tahang terus mengamati. Ia adalah pimpinan kelompok ini. Tubuhnya paling kecil di antara tiga orang lainnya. Namun dia lebih memiliki wibawa dan ketajaman panca indera dibanding tiga orang lainnya. Tahang bicaranya jarang-jarang. Ia hanya mengeluarkan suara bila dirasa perlu. Yang membuatnya nampak sedikit memiliki wibawa adalah kumisnya yang tebal dan cambang kasar-kasar yang menebar di bawah telinganya hingga ke dagu. Rambutnya rapi dan runcing-runcing menjulang ke atas. Seekor cicak yang jatuh di atas kepalanya pasti menjerit seketika lalu meregang nyawa tersate.

Sakka (baca: Sak-ka’) hanya menggeleng-geleng. Ia adalah wakil ketua merangkap bendahara merangkap bagian logistik merangkap bagian distribusi merangkap eksekutor. Tugasnya banyak merangkap-rangkap. Tugasnya menata barang hasil rampasan, mendata lalu membagi-bagikannya menurut persentase pembagian yang sudah ditentukan oleh Tahang. Sakka adalah anggota paling jenius. Paling tidak lebih jenius dari Sangkala dan Jumaing. Untuk urusan hitung berhitung, semuanya diserahkan oleh Tahang kepadanya. Ia juga termasuk anggota yang hormat dan taat kepada atasannya. Dia tidak berani berbicara mendahului atasannya. Ia hanya berbicara bila ditanya atau dimintai pendapat. Loyalitasnya pun tidak bisa diragukan. Dia siap menjadi tameng demi keselamatan atasannya.

Jumaing memadamkan lampu teplok yang ditempel di tiang penyangga asrama Raja Khalid. Tempat itu pun menjadi gelap gulita. Tahang hanya melirik ke arahnya, dalam hati ia merutuk, ‘Bodoh, siapa yang menyuruhmu mematikan lampu itu?’ Juma’ begitu dia biasa dipanggil, anggota yang satu ini susah digambarkan dengan kata-kata. Kita langsung saja kepada satu kesimpulan, dia adalah anggota paling bodoh.

“Kita bereskan saja.” Tahang sudah tidak tahan meredam amarahnya.

Ia merasa sangat marah karena ide Sangkala menebar ancaman kembalinya Perak Laju yang ditulis tebal-tebal di dinding kelompok sumur wustha dan pintu dapur tidak mempan. Ide itu tidak berhasil membuat anak itu jera dan ketakutan.

“Sudah aku bilang, anak itu tidak mengerti sejarah. Mana tahu dia perihal Perak Laju? Sudah aku bilang tulis saja ada pocong mengintai. Itu lebih jelas dimengerti oleh anak sekecil itu.”Tahang menggeram sambil memukul-mukul telapak tangan kirinya menggunakan kepalan tangan kanan.

Jumaing manggut-manggut mengiyakan. “Benar Bos! Ide saya juga berarti lebih manjur. Sebaiknya tulis saja ‘Awas ada setan’.”

“Diam Kamu !” Tahang membentak. “Apalagi itu! Tidak ada seram-seramnya.”

“Tapi Bos, semua anak kecil kan memang takut setan.”

“Kurang spesifik, Bodoh! Dia lebih takut pada gigi-gigi Sangkala daripada kata setan. Nyalakan saja lampu itu, tidak usah terlalu terang, redupkan saja. Kalau gigi-gigi Sangkala sudah kelihatan, barulah kamu berhenti memutar sumbunya!” Hardik Tahang.

Sangkala mendelik, “sialan gigi-gigi ku dijadikan indikator.” Lampu teplok menyala tiba-tiba terang kemudian meredup pelan-pelan.

Tahang lalu memandang hasil jarahan yang ditata oleh Sakka di di atas sebuah hamparan tikar di bawah asrama Raja Khalid. Ia memperhatikan hasil kerja Sakka dengan seksama, kemudian melenguh panjang. “Kita baru membongkar dua asrama sejauh ini, dan hasilnya hanya lima setel pakaian bekas, tujuh buah handuk kumal dan tiga pasang sepatu berukuran 32. Tidak memadai.”

“Kita langsung ke sasaran saja Bos! Brankas!” Timpal Sangkala.

“Sudah terlambat. Anak itu sudah kembali. Jalan satu-satunya, kalian bereskan dulu anak itu. Baru kita bisa beraksi membobol brankas itu. Kalian mengerti?”

“Mengerti Bos!” Sangkala, Sakka dan Jumaing berebut suara berusaha saling mendahului pertanda semuanya sudah mengerti.

Namun ternyata ketiganya mengerti dengan persepsi yang berbeda-beda. Kata ‘bereskan’ menurut Sangkala, bahwa anak itu harus dibunuh, Beres! Sedang Menurut Sakka yang sedikit lebih pintar, bereskan berarti menyingkirkan anak itu dari pondok tanpa membuatnya mati, sampai aksi mereka membongkar brankas telah sukses. Lain lagi menurut Jumaing yang berotak lebih simpel, kata ‘bereskan’ berarti pukuli anak itu hingga babak belur. Beres juga kan?

Seorang Bos memang jarang memberi instruksi dengan detail. Bos pada umumnya memberi instruksi secara global yang langsung mengarah kepada tujuan. Selanjutnya tekhnis pelaksanaannya biasanya diserahkan kepada bawahannya masing-masing. Berita baiknya adalah, lebih dari lima puluh persen Bos siap bertanggung jawab jika bawahannya salah menerapkan tekhnis pelaksanaan instruksi tersebut.

“Cepat laksanakan!!!”

“Siap komandan.” Lalu ketiganya, Sakka, Sangkala dan Jumaing bergegas berpencar meninggalkan tempat itu. Tempat yang mereka jadikan markas sementara menyusun rencana dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan penjarahan. Tahang sang big boss tetap berada di tempatnya menunggu hasil aksi tiga anak buahnya membereskan Alan alias Rambo si anak nekad itu. Anak yang bisa menjadi penghalang rencana-rencana mereka malam ini.

Tiba-tiba hujan mengguyur, bulan yang tadinya kelihatan separuh kini bersembunyi di balik awan. Namun langit berubah menjadi putih. Suasana gelap gulita beralih menjadi terang samar. Asrama-asrama yang berjejer saling terpisah satu sama lain kini jelas memperlihatkan sosoknya yang kokoh tegar dan kesepian dalam selimut malam. Suara hujan yang menerpa atap gentengnya mengeluarkan suara tik-tik. Pohon-pohon ketapang yang tertanam di sisi asrama Buya Hamka tinggi menjulang tumbuh bersisian mengibas-ibaskan daunnya yang terhempas angin malam. Suasana semakin mencekam, sunyi dan gelap bersinergi meluluhlantakkan keberanian yang semula terpatri di diri Rambo. Suara desiran dedaunan dari pohon ketapang itu pun ikut mendera rasa takut yang kian malam kian menyiksanya.

“Apa sebaiknya aku pulang saja ke rumah Om?” Tiba-tiba ia mengkerut. “bukankah keadaan pondok baik-baik dan aman-aman saja? Apa yang aku cari di sini? Berharap bertemu Perak Laju menghantar nyawa dan menjadi pahlawan kesiangan?”

Tapi ternyata keadaan tidak baik-baik dan aman-aman saja seperti yang dia fikirkan sebelumnya, ketika ia secara tidak sengaja melihat pintu asrama Buya Hamka III yang tepat berada di sampingnya berdiri, ia melihat pintu itu sedikit terbuka, tidak ditutup dengan rapat. Rantai gerendelnya menggantung, selop gemboknya tergeletak di lantai. Seketika ia mengarahkan senter kecilnya menyorot pintu itu. Benar saja! Bekas-bekas tindakan kekerasan telah dialami gerendel pintu itu. Sepertinya habis dibongkar dengan usaha paksa. Pelan-pelan Rambo mendorong pintu itu dan memasuki ruangan asrama Buya Hamka III. Disorotnya tiap-tiap lemari yang berjejer membelakangi tiap-tiap ranjang memakai senter kecil yang berada di genggamannya. Pintu-pintu lemari terbuka. Sepertinya dicungkil dengan cara paksa. Rambo kini menyadari, suasana tidak aman. Ini pasti hasil kerjaan beberapa orang. Bukan hasil kerja satu orang. Ada kelompok jahat yang telah menguasai pondok kosong ini. Kelompok yang leluasa melaksanakan aksinya. Brutal. Apa sesungguhnya yang mereka cari? Tidak ada barang berharga berarti yang tersimpan di lemari-lemari santri yang hanya mendapat jatah kiriman bulanan dari orang tua. Itupun setelah dipotong uang pendidikan dan asrama. Apa yang mereka cari? Ember? Timba? Canteng? Sajadah usang?

Kilat menyambar, disusul suara guntur menggelegar, saking kerasnya gemuruh yang ditimbulkan, Rambo nyaris terlempar dari tempatnya berdiri. Suara guntur itu menyadarkan dirinya. Pasti ada orang selain aku di dalam pondok seluas ini. Kilat menyambar sekali lagi, dan dari balik jendela, sekilas dia melihat tiga bayangan kepala manusia mengawasinya. Ia nyaris berteriak, buru-buru dimatikannya nyala senter kecil yang ada di genggamannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun