Faizal alias Icol santri kelas II. Ada codet di alisnya. Rambutnya menyerupai duri landak. Sewaktu kelas I rambutnya maksimal bisa tumbuh satu senti. Kenakalannya berimbas kepada pertumbuhan rambutnya. Entah mengapa kenakalan yang disebabkan jiwa yang kurang stabil, rambut yang harus menanggung akibatnya. Ruangan qismul amni selepas pengadilan disiplin menjelma seolah salon yang mau tutup. Sampah rambut santri para pelanggar disiplin mengotori lantai, dan Icol adalah langganan tetap ‘salon’ itu.
Ternyata Icol begitu senang memiliki rambut plontos. Dan ia begitu cerdik, jika rambutnya mulai tumbuh sesenti, dia mulai memutar otak mencari carabagaimana mencukur rambut dengan gratis. Dan masuk qismul amni adalah jalan keluarnya.
Pemikiran Icol soal qismul amni sangat bertolak belakang dengan santri pada umumnya. Rata-rata mereka santri itu beranggapan bahwa momen yang paling menakutkan adalah bakda isya. Bakda isya adalah waktu bagi seksi penerangan berdiri di mimbar mengumumkan dengan lantang nama-nama santri pelanggar disiplin yang ada dalam catatan qismul amni. Icol malah sebaliknya, dia justru menunggu namanya disebutkan. Dimana lagi dia harus memotong rambut dengan gratis selain di dalam ruangan qismul amni.
Icol, begitulah dia disapa. Senang terlambat, jarang masuk kelas, sering ketiduran pada saat pelajaran bahasa di mesjid. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, mencuri perhatian mata-mata qismul amni yang beredar. Ini aku Icol, catat saja namaku, tantangnya tanpa beban dan rasa takut. Selama bukan pelanggaran berat seperti pencurian atau perkelahian memang hukumannya hanya berhenti di qismul amni, Icol santai-santai saja keluar masuk qismul amni layaknya keluar masuk WC.
Icol juga dikenal sebagai seorang santri yang nyentrik. Bila berpakaian, warna atasan dan bawahannya tidak pernah matching. Warna-warna koleksi bajunya menyala membara, kuning, merah jambu, merah, hijau muda dan orange. Sedangkan koleksi bawahannya baik sarung maupun celana juga warna warni, ada ungu, merah dan biru muda. Kebiasaannya yang sering salah warna kostum terkadang merusak kekhusyukan jamaah yang duduk menanti adzan di dalam mesjid. Bisa dibayangkan ketika santri-santri khusyuk tadarus, berdoa atau shalat sunat, dan sekonyong-konyong Icol melintas dengan busana kombinasi baju dan sarung nyentriknya rusaklah suasana khusyuk yang setengah mati dibangun. Dan yang lebih parah lagi, Icol tidak pernah merasa bersalah.
Dan Icol kena batunya. Seumur hidupnya, belum pernah ia merasakan malu luar biasa selain pada suatu hari Sabtu pagi yang sial. Semula dirinya mengharapkan seorang qismul amni menemukan dirinya terlambat menghadiri apel Sabtu pagi. Tapi ternyata pagi itu, tidak tanggung-tanggung, yang menemukannya bukan hanya satu orang qismul amni, melainkan tiga orang ditambah pimpinan pondok Amran Mahmud.
Waktu itu menjelang pukul 7 pagi, apel hari Sabtu hampir dimulai. Panitia apel ditunjuk secara bergiliran. Hari ini adalah giliran kelas IVA. Tapi ada keganjilan pada pagi hari itu. Joe pimpinan upacara pada gladi resik tadi malam belum juga nampak batang hidungnya. Aku yang berdiri di belakang Yazman pada kelompok barisan kelas IA memperhatikan seluruh panitia upacara yang gelisah. Kasak kusuk mereka mempertanyakan keberadaan Joe. Padahal sebentar lagi pembina upacara direktur pondok akan tiba. Para panitia dari kelas IVA saling sikut mengharapkan salah seorang dari mereka mau menggantikan posisi Joe sebagai pimpinan upacara, namun tidak ada pahlawan yang berani tampil dengan alasan belum latihan malam tadi, mereka takut jikalau salah meneriakkan aba-aba yang bisa merusak suasana apel Sabtu pagi.
Detik-detik pelaksanaan apel pagi semakin dekat. Mobil direktur pun sudah memasuki halaman pondok, nampak ketegangan menjalari kubu panitia. Kemana gerangan Joe? Salah seorang panitia menghampiri Amran Mahmud pimpinan pondok dan melaporkan bahwa Joe pimpinan upacara belum juga kelihatan. Amran Mahmud takjub bukan kepalang, kalau pelaksanaan upacara bendera sempat tertunda, reputasinya bakal hancur berkeping-keping di depan direktur. Segera ia bergerak memanggil beberapa anggota qismul amni untuk melakukan inspeksi mendadak ke asrama-asrama.
Menghadiri pelakasanaan upacara bendera setiap hari Sabtu adalah wajib hukumnya. Santri, pembina muda dan guru-guru harus hadir. Karena amanat pembina upacara direktur pondok sangatlah penting untuk disimak.
“Kenapa belum dimulai?” Direktur pondok mulai menegur protokol.
“Pemimpin upacara belum memasuki lapangan upacara Ustaz!” jawab protokol itu hati-hati karena didera rasa takut.
Bapak dirtektur melihat ke lengan kirinya lalu memandang ke seluruh hadirin. Ia mundur selangkah mengharapkan ada sesorang yang mau mengambil alih situasi. Misalnya dengan menampilkan pimpinan upacara yang bertugas seminggu yang lalu.
Mana rasa displin yang aku ajarkan selama ini. Rutuk direktur itu dalam hati.
Waktu terus bergulir dan suasana menjadi kian senyap karena tegang. Santri, guru, pembina semua tegang. Mereka yakin kemarahan bapak direktur sebentar lagi pecah membuncah. Seremonial wajib Sabtu pagi nampaknya mulai diremehkan. Ini pembangkangan ataukah ketidak-becusan? Mari kita tunggu apa reaksi dan tindakan direktur berikutnya.
Aku melihat Yazman yang berdiri di depanku menatap kosong ke tanah lapang. Ia nampak tidak peduli dengan situasi pelaksanaan upacara pagi ini yang amburadul.
“Siapa petugas pimpinan upacara pada pagi ini?”
“Joe santri kelas IVA Ustaz!” jawab protokol upacara masih ketakutan.
Namun tiba-tiba semua mata menoleh ke belakang. Kecuali Yazman yang tetap berdiri menunduk memandang tanah lapang. Keheningan suasana dipecahkan oleh suara bentakan anggota qismul amni. Apa yang kami lihat? Oh! Direktur memegang kepalanya.. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apakah ini hasil dari amanat yang selalu disampaikannya di hari Sabtu pagi?
Tiga orang anggota qismul amni bersama Amran Mahmud pimpinan pondok sedang menggiring dua orang santri yang sekujur tubuh dan wajahnya dipenuhi busa-busa sabun mandi. Handuk dililit secara tidak sempurna di pinggang keduanya. Salah satu dari dua orang santri tersebut adalah orang yang sangat diharapkan kehadirannya pada upacara kali ini, Joe! Sementara satu orang lagi adalah Icol santri kelas II.
Keduanya diarak ke tanah lapang menghadap kepada bapak direktur. Hadirin terjebak dalam suasana antara tegang dan hendak tertawa, namun rasa tegang lebih dominan karena sebentar lagi mereka akan melihat bagaimana murkanya bapak direktur itu.
Amran Mahmud menghadap kepada pak direktur dan melaporkan bahwa Joe begitu bersemangat diberi tugas sebagai pemimpin upacara hingga ia latihan tanpa lelah semalam suntuk, dan setelah shalat subuh ia ketiduran di asrama.
Pak direktur mengangguk-angguk. Lantas ia memerintahkan Icol yang masih menegnakan handuk santri kelas II itu berdiri di sampingnya sebagai ajudannya, dan Joe? Santri kelas IVA itu ternyata diberi kesempatan untuk membuktikan hasil latihannya yang semalam suntuk itu untuk memimpin upacara bendera. Tentu saja dengan tubuh yang masih bersabun dan lilitan handuk yang tidak sempurna.
Kejadian klimaksnya bisa ditebak. Ketika Joe memberi aba-aba, “Kepada pembina upacara! Hormaaaaat……. Grak!” Lalu melucutlah handuk itu dari pingggangnya dan rusaklah suasana pagi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H