“Selamat pagi!” Teriak Alan. “Good morning!” Teriaknya sekali lagi. “Sabahul khaer!!!!” Hening. Tidak ada jawaban. Alan berdiri tegak di atas ranjang tingkatnya hingga kepalanya nyaris menyentuh plafon Ibnu Khaldun II, Ia menatap ke bawah. Sepi. Asrama kosong melompong. Matanya dikucek-kucek untuk meyakinkan dirinya sendiri terhadap apa yang ditangkap matanya. Kemana kawan-kawanku? “My friends dissapear” layaknya Macaulay Culkin di home alone ia berbicara sendiri sambil menggeleng-geleng. Lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. Setengah sadar ia bergegas melompat dari ranjangnya.
Ia menyaksikan kasur-kasur yang telah digulung, diikat menggunakan ala tali temali dalam pelajaran Pramuka dengan simpul-simpul yang sempurna. Lemari-lemari digerendel menggunakan rantai dan digembok rapat khas super maximum security system. Lantai kamar telah bersih sebersih-bersihnya, licin selicin-licinnya. Iamenengok keluar. Di sana ia mendapati tali jemuran yang terentang berjajar-jajar tidak seperti biasanya. Setiap pagi hingga pagi berikutnya jemuran yang berjejer disesaki pakaian, handuk, selimut, seprei, dan beberapa pakaian dalam usang dijepit atau diikat supaya tidak diterbangkan angin melambai-lambai memanggil-manggil sesak dinanti beberapa jemuran daftar tunggu. Dan kini jemuran itu kosong tanpa sehelai jemuran walau sebesar sapu tanganpun.Ia tercekat. Mencubit tubuhnya sendiri. Maling maniak darimana yang telah menyikat seluruh jemuran itu?Ini bukanlah mimpi. Pondok yang biasanya ramai dengan santri-santri super sibuk hilir mudik lalu lalang berkopiah, bergamis, berseragam sekolah, berseragam pramuka, berkostum olah raga, berpakaian karate, berhanduk bertelanjang dada kini sepi tidak ada kehidupan. Hanya dia seorang diri.
Alan kembali masuk ke dalam asrama, mengambil mug yang berada di atas lemarinya, membuka tutupnya kemudian mencelupkan ujung jari tengah dan telunjuknya ke dalam mug berisi air sisa minumnya tadi malam. Ia lalu mengusap kedua ujung matanya dengan dua jari tersebut. Cuci muka ala om Pasikom, praktis dan hemat air. Kebiasaan itu pula yang sering dipraktekkannya ketika hendak berangkat ke kelas di pagi hari. Tapi kali ini ia mencuci mukanya sekedar berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidaklah sedang bermimpi pagi ini. Saat ini ia berada di dunia luas dan nyata seorang diri.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Pergi kemana manusia sebanyak itu? Apa mereka sedang usil mengajak diriku bermain petak umpet? Tapi kenapa kasur-kasur digulung dan lemari digerendel? Apakah mereka saat ini sedang bersembunyi didalam gulungan kasur dan sebagaian lainnya saling mengunci di dalam lemari yang pengap? Ah! Tak habis fikir.
Suasana pagi hari itu cerah nan lembut. Hembusan angin dengan irama bersimfoni merayap di atas tanah, melayang sepoi-sepoi di udara, menyapu kaca jendela yang kusam, menabrak-nabrak dinding asrama lalu memantulkan dirinya dan kembali lagi berputar dengan indahnya laksana gerombolan perenang olimpiade yang menyentuh ban kolam pada putaran lima puluh meter pertama. Tapi kesunyian ini terasa begitu dekat hingga suara binatang-binatang bersel satu yang biasa melakukan meeting di atas rawa-rawa yang menghampar di kolong asrama nyaris terdengar saling berbantahan melakukan interupsi. Pastilah meeting kali ini begitu sangat pentingWC-WC umum yang berjejer berjumlah dua puluh buah yang berada dekat di samping kiri asrama Ibnu Khaldun III meringkuk dingin dengan 19 pintunya dibuka lebar-lebar. Sementara satu WC lagi yang di pintunya bertuliskan WC no. 20 jelas masih seperti biasa tertutup dengan rapatnya. WC misteri itu menyimpan cerita tersendiri yang nanti akan kita ulik pada episode berikutnya. Lantai pelataran sumur yang biasa digunakan sebagai tempat mencuci para santri setelah sholat subuh dan dhuhur kini kering tanpa setetes air pun yang menggenangi. Ruang basah itu nampaknya lama tak dijamah. Dapur yang biasanya menimbulkan suara gemuruh kompor gas tidak menampakkan ada tanda-tanda kegiatan tata boga di dalamnya. Celoteh bibi-bibi centil, kejam, jahat, sangar dan suka menggunjing yang kadang-kadang bernafsu melempari santri dengan piring tembaga tak terdengar. Suara itu menghilang begitu saja bak radio transistor tidak sengaja kesenggol anggota tubuh terpencet tombol off.Semua pintu-pintu asrama rapat terkunci menggunakan palang kayu yang kedua sisinya dijalin menggunakan pasak persegi tegak simetris saling mengkait.
Pagi cerah nan berkemilau. Namun gulana menyerang ke sendi-sendi hati Alan yang berdenyut-denyut cepat saling mendahului. Rasa lapar kini membuyarkan segalanya. Dia memeriksa lemarinya meski dia sendiri tahu tidak ada persediaan logistik di dalamnya namun siapa tahu lemari itu kini menjelma menjadi lemari es yang disesaki persediaan makanan seperti lemari-lemari es yang berada di rumah orang kaya setiap permulaan bulan. Tapi itu tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi. Lemarinya tetaplah lemari pakaian yang berisi sesak pakaian kotor nan kumal, sarung sholat, celana jeans yang tidak pernah dicuci selama berbulan-bulan, belel, dekil dan blue jeans andalannya itu kini seperti bunglon berganti nama menjadi black jeans. Di dalam lemari berlantai tiga itu juga terselip manis sebuah buku yang berjudul “Bagaimana menembak dengan jitu” sebuah buku petunjuk bermain billiard hadiah ulang tahun sahabat penanya sewaktu SD yang jauh berada di kota Malang. Buku itulah yang setiap saat dan setiap waktu ketika ia sedang berjalan, mandi, belajar, dan menjelang tidur membuat tangan kirinya tiba-tiba saja secara spontan melakukan gerakan mencengkeram dan tangan kanannya mengepal seolah sedang memegang sebuah kyu mengayun ke depan dan ke belakang. Teman-teman yang menjadi sekelompok piket kebersihan dengannya, tidak pernah menyerahkan tugas menyapu kepadanya. Lantai kamar tidak akan pernah bersih karena ia sibuk memainkan gagang sapu menyodok setiap benda yang ditemuinya dengan gagang sapu itu. Alan biasanya hanya kebagian tugas persiapan seperti misalnya mengangkat air dari sumur atau tugas finishing meniup-niup lantai supaya cepat kering.
Pagi yang tenang, pondok yang sunyi, dan perut yang berdendang karena lapar. Tiga kombinasi yang tidak memberi kontribusi damai sama sekali dalam batinnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk merubah ketiga kombinasi itu, kreatifitas di otaknya sangat dibutuhkan saat ini.
“OM AREMA!!!” cerdas. Sangat cerdas, ia memuji-muji otaknya yang kadang-kadang brilian bila tersudut. Om Arema tidak akan kemana-mana. Ia pasti tahu apa yang terjadi dengan pondok yang sunyi saat ini. Om Arema adalah jago masak yang bakal membuat cacing-cacing dalam perutnya menghentikan demo yang tidak pernah mengirim izin melakukan demo kepadanya terlebih dahulu. Om Arema adalah Om tukang banyol yang akan membuatnya jauh dari rasa kesepian. Dan Om Arema adalah makhluk tua pelipur lara yang selalu membuat siapa saja merasa tenang, aman dan nyaman bersamanya.
Alan melompati tiga titian tangga sekaligus. Berkelebat meninggalkan asrama sunyi yang tiba-tiba membuatnya takut dan merinding. Ia bersiul-siul sambil berdendang dengan riangnya mencoba mengalihkan rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya dari segenap penjuru.
Sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya Alan sudah mengetahui dengan detail apa yang dialaminya saat ini. Ini adalah resiko yang harus ditanggungnya sebagai seorangsyahid kecil menuntut ilmu nun jauh dari tanah kelahirannya. Tanah Manado. Entah mengapa ia memilih atau mungkin juga dipilihkan orang tuanya jalan meninggalkan kampung halaman terpisah dari lingkungan tak terbayangkan indahnya masa kecil menuju suatu tempat berkumpulnya putra-putra tunas bangsa merengkuh masa pedih, getir, lirih namun manis. Ia selalu menyebut dirinya terkurung dalam penjara suci demi satu tujuan menjadi seorang ulama intelek, intelek ulama. Tidak neko-neko.
Pulang ke Manado untuk libur selama seminggu adalah pilihan bodoh, tidak efektif dan efisien, baik dari segi waktu dan uang. Perjalanan menggunakan kapal laut yang jadwalnya tidak setiap hari ada, dan berada di kapal selama dua hari dua malam pulang pergi pastilah membuatnya jenuh dan bosan. Sampai di Manado buang air kecil lantas pulang kembali ke Pondok akan membuat orang tuanya mendelik memegang saku menerawang berapa rupiah yang harus dihabiskan untuk pulang sekedar pipis. Sementara tetap berada di pondok dengan segala kesunyian akan menyiksanya lahir bathin. Dua pilihan ibarat makan buah simalakama. Ia telah berusaha membujuk beberapa sahabat lainnya yang juga berasal dari seberang pulau seperti Ternate, Ambon, Jayapura, Malang, Jakarta untuk tinggal bersamanya di pondok selama musim liburan tiba. Namun mereka yang dibujuk meminta jaminan keamanan, ketersediaan pangan, dan lain-lain sebagainya. Dan bagi Alan, itu sangatlah berat di ongkos. Akhirnya mereka yang dibujuk memilih pulang berlibur ke rumah saudaranya yang ada di kota. Pilihan yang cukup realistis.
Namun ketika ia melewati kelompok sumur wustha yang lengang, bulu kuduknya semakin merinding. “Masa bodoh dengan rasa takut” hiburnya dalam hati. Ia mencoba membunuh perasaan itu sekuat tenaga, namun bayangan-bayangan ketakutan semakin mengintai. Ia melihat sesuatu, hanya sesuatu, sesuatu yang tidak dapat dipercaya oleh mata telanjang. Tulisan balok yang tertulis dengan huruf tebal berwarna merah di dinding kelompok sumur itu, bernada memperingatkan dan sedikit mengancam,
“BERHATI-HATILAH!!!PERAK LAJU TELAH KEMBALI”
“Perak Laju? Apa itu Perak Laju? Kapan tulisan itu dibuat? Siapa yang membuat tulisan besar berwarna merah itu?” Ah, masa bodoh sekali lagi. Alan kembali berusaha menenangkan batinnya yang mulai didera rasa takut akut.
Ia berjalan cepat. Secepat angin yang berhembus di pagi sunyi itu. Tujuannya untuk menemui Om Arema semakin bulat. Om itulah harapan satu-satunya yang bisa mengatasi rasa sepi, rasa lapar dan rasa takut yang dialaminya saat ini. Dalam sekejap Alan sudah berada di halaman depan pondok. Pintu pagar pondok yang tergembok dengan rapat setinggi dua meter dilompatinya begitu saja. Selanjutnya ia berlari sekencang-kencangnya menuju warung Om Arema.
Sebuah rumah yang garasinya kira-kira bisa menampung dua buah mobil disulap menjadi warung makan. Sebuah warung yang didedikasikan bagi para mahasiswa yang banyak indekos di daerah itu. Santri-santri yang mondok di pondok juga sering menjadikan warung itu sebagai tempat nongkrong di sore hari, pada jam-jam olahraga selepas shalat ashar hingga menjelang shalat maghrib. Warung itu semakin ramai dikunjungi para santri setiap malam libur yaitu malam Jumat. Santri-santri biasanya senang menonton televisi di ruang tengah rumah Om Arema, atau bercengkrama di bawah pohon jambu yang rindang di halaman belakang. Jam-jam itu memaksa Om Arema dan istrinya sibuk melayani keinginan para santri untuk dibuatkan teh, susu soda, kopi, mie instan atau nasi goreng. Namun di musim libur seperti ini warung itu sepi pengunjung. Om Arema hanya membuka setengah pintu warungnya. Ia memilih menikmati masa-masa libur seperti ini dengan duduk santai di halaman depan rumahnya sambil menghisap cerutu kesayangannya.
Pohon jambu yang ada di halaman depan rumahnya sudah mulai berbunga. Pucuk-pucuk bunga yang berbentuk menyerupai jarum berwarna kuning kehijau-hijauan berguguran mengotori pekarangan rumah teduh itu. Beberapa pot bunga berwarna hitam setinggi seperempat meter berjejer di beranda layaknya penjemput tamu pengantin mempersilahkan para tamu undangan masuk. Pot-pot itu ditanami berbagai jenis tanaman anggrek, lidah buaya dan kumis kucing. Pot-pot yang juga bisa berubah fungsi menjadi asbak itu sudah mulai dirambati lumut karena hawa pekarangan yang lembab dan jarang diterpa sinar matahari langsung. Namun tanaman yang tumbuh di dalamnya tetap tegar dan segar karena putri bungsu Om, telaten menyiraminya setiap pagi.
Ketika Om Arema hendak berdiri dari duduknya selepas menatapi lidah buaya yang memeletkan lidahnya, dan kumis kucing yang dipilin-pilin oleh angin, tiba-tiba seorang anak berlari terengah-engah menuju ke arahnya.
“Ho Ho Ho… Anak Manado! Angin apa yang menerbangkanmu ke sini?” Sambut Om Arema hangat. Om yang hangat itu kemudian mengambil sebuah kursi lalu meletakkan di samping kursinya. Menepuk-nepuk joknya lalu mempersilahkan Alan duduk.
Muka Alan pucat. Nafasnya berhembus berat, jakunnya turun naik. Ia berjongkok memegangi kedua lututnya. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya. “Om, Aku baru saja mengalahkan Carl Lewis.”
“Ha ha ha, apa yang menyebabkanmu bisa berlari mendahului Carl Lewis? Bu!! Air minum…..!” Teriak Om ke dalam rumah. Sejenak kemudian Tante Arema tergopoh-gopoh keluar dengan air minum dalam gelas di tangannya.
“Minum dulu!”
“Thanks Om.” Alan menyambar gelas itu lalu meneguk isinya. Sebentar kemudian ia menghembuskan nafasnya keras-keras. Lega, plong.
“Tidak kemana-mana liburan ini?” tanya Om mengambil kembali gelas yang telah kosong dari tangan Alan.
“Tidak Om, Aku tidak punya keluarga di kota.”
“Tidak ikut pulang ke daerah bersama kawan-kawan kamu yang lain?”
“Tidak punya ongkos Om.”
“Poor Boy! Lantas Kamu liburan di pondok sendirian?”
“Ya Om. Sendirian.”
“Kamu berani tidur sendirian di dalam pondok sebesar itu?
“Memangnya kenapa Om? Aku sih berani saja.”
“Ah, tidak apa-apa. Sebab Kamu berlari seperti di kejar setan baru saja.”
“Om, sebenarnya Aku berani saja. Semalam aku tidur sendiri. Sampai tadi pagi aku baru merasa sesuatu yang aneh, dan tiba-tiba bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Dan baru saja Aku melihat sesuatu. Sebuah tulisan merah besar-besar di dinding sumur yang bersebelahan dengan dapur.”
“Apa bunyi tulisannya?”
“Berhati-hatilah! Perak Laju telah kembali.”
“APA? “ Mata om Arema membulat seraya berdiri dari kursinya, menatap Alan lekat-lekat. “Ulangi sekali lagi!”
“Perak Laju telah kembali!!!” Sahut Alan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia seperti berbicara dengan orang tuli.
“Perak Laju? Mata Kamu tidak salah lihat? Ma…………” Teriak Om sekali lagi ke dalam rumah. Tante Arema datang berlari-lari kecil memenuhi panggilan itu.
“Ada apa Pa?”
“Mama masih ingat soal Perak Laju?”
“Apa?” Seketika muka Tante itu seputih kapas. Pias. Darahnya tersumbat dan berhenti mengalir ke wajahnya. Bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu. Tapi seketika tubuhnya limbung. Refleks Om dan Alan berdiri memegangi tubuhnya.
“Cepat masuk ke dalam ambil air!” perintah Om kepada Alan.
Secepat kilat Alan berlari ke dalam rumah. Karma hendak terjadi. Beberapa menit yang lalu dirinya yang diberi minum oleh Tante Arema. Namun siapa sangka saat ini justru ia yang harus mengambil air minum untuk Tante itu. Subhanallah.
Tante itu kini sudah tenang. Kata “Perak Laju” baru saja mengguncang jiwanya. Om dan Alan kini tidak berani menyebut lagi kata itu. Mereka sepakat membahasnya berdua saja tanpa melibatkan orang lain.
“Kamu harus berjanji untuk tidak menyebutkan kata itu lagi!”
“Iya Om. Tapi apa itu Perak Laju?”
“Diam!!” Om Arema yang berkarakter hangat, penyayang, kini tiba-tiba berubah menjadi pembentak. Kata Perak Laju yang sudah membuat istrinya tersayang nyaris tercerabut membuatnya tidak mampu mengontrol emosinya.
“Maafkan Pak Tua ini, Nak.” Tiba-tiba om Arema sudah kembali ke alam sadarnya.
Alan yang semakin tidak faham dengan keadaan ini hanya mampu bengong lalu mengangguk cepat-cepat. “Kalau begitu Aku permisi dulu Om.”
“Hai Mau kemana Kamu Nak?”
“Kembali ke pondok.”
“Jangan. Sebaiknya Kamu jangan ke sana dulu.”
“Memangnya kenapa Om?”
“Sudah, jangan ke sana dulu.”
“Lalu Aku harus kemana Om? Aku tidak ada tempat lagi selain pondok itu untuk saat ini.”
“Tunggu sampai masa libur selesai. Untuk sementara Kamu tidur di tempat Om dulu. Sekarang Kamu masuk ke dalam, makan dan nonton televisi, dan yang paling penting, lupakan ‘Pe… eh, lupakan apa yang tertulis di tempat cuci-cuci itu. Faham?”
“Faham Om.”
Tante Arema kritis, Ia dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat inap karena penyakit jantungnya kembali kambuh. Tidak ada yang patut dipersalahkan dalam peristiwa ini. Tidak Alan, tidak pula Om Arema. Om Arema beserta putri bungsunya dengan setia menungguinya di rumah sakit. Alan yang belum mengerti apa sebenarnya yang membuat Tante itu tiba-tiba pingsan mendengar kata “Perak Laju” dan mengapa kini ia tidak diperbolehkan kembali ke pondok hanya bisa duduk menerawang sepanjang malam, sepanjang siang, sepanjang sore menunggu apa yang akan terjadi.
Pucuk-pucuk bunga buah jambu yang berguguran dan bertebaran di halaman depan, satu dua pucuk jatuh mendarat ke rambut seorang anak yang sedang duduk merenung di bawah pohon jambu itu. Semalam ia tidak bisa memejamkan matanya barang semenit, bayang-bayang tulisan berwarna merah yang ditulis tebal-tebal di dinding kelompok sumur itu seperti menggantung di depan matanya. Perak Laju, dua kata yang telah menyusahkan keluarga sakinah dan mawaddah ini. Alan merasa sangat bersalah. Ia mengutuki dirinya sendiri dan mengutuki apa yang telah dilihatnya. Yang jelas sampai saat ini dirinya belum mengerti apa itu perak laju, apakah merupakan sebuah nama yang menunjukkan nama seseorang, sebuah istilah, nama tempat, nama alat transportasi, atau apapun? Ia berdiri mengibaskan rambutnya yang diterpa pucuk bunga buah jambu. Anak remaja tanggung berpredikat santri itu semakin larut dalam kebingungan tak terkira.
Pagi itu Om datang dari rumah sakit setelah menunggui istrinya. Wajahnya semakin mengguratkan rasa lelah. Mungkin semalam ia juga tidak bisa tidur menemani istrinya dan memikirkan soal Perak Laju.
“Sini Alan.” Teriaknya ke Alan, dan Alan datang menghampiri.
“Kalau mau makan ambil sendiri ya?”
“Iya Om”
“Nanti siang kita akan ke pondok. Kamu tunjukkan tulisan itu. Dan Kamu jangan bercerita kepada siapapun, karena kita akan masuk ke dalam pondok dengan cara yang tidak semestinya. Saya akan menunjukkan kepada kamu sebuah shortcut menuju pondok itu dan kamu harus berjanji untuk tidak menggunakan lagi shorcut itu. Kecuali untuk saat ini.”
“Iya Om, Saya berjanji.”
Mereka berjalan menyusuri tembok tebal di belakang pondok yang memagarinyakokoh dan berpagar duri di atasnya. Pecahan beling tertanam di dalam semen yang merengkuh. Om menepuk-nepuk setiap dinding yang dilaluinya dengan sebuah batu kecil yang ada digenggamannya. Ia terhenti pada sebuah ketukan dinding yang kopong. Dengan kedua tangannya ia mencungkil sebuah engsel kecil lalu menariknya pelan. Tiba-tiba dinding itu bergerak ke depan lalu sebuah tenaga hidrolik menariknya ke bawah dan tenggelam ke dalam bumi. Dinding itu terbuka yang hanya mampu dilewati satu orang dengan cara merayap. “Hole in the wall”. Om bergumam pelan.
“Waw…..” Alan berdecak. “Dari mana Om tahu jalan ini?”
“Sudahla. Kamu diam saja. Ayo kamu masuk duluan.”
Ketika masuk, Alan berusaha mengingat-ingat ada dimana. Dan ternyata ia tepat berada di depan WC no 20 yang berada di samping kiri asrama Ibnu Khaldun III. Sebuah gorong-gorong yang tertutup semen tepat berada di bawah kakinya. Kini Ia mengerti kalau tembok yang bergerak secara hidrolik ke bawah tadi bisa berfungsi sebagai pintu air gorong-gorong yang dapat menyumbat aliran air kotor yang keluar menuju drainase.
“Coba Kamu tunjukkan dimana Kamu menemukan tulisan merah itu!”
“Ikut sini Om.” Alan mengarahkan langkah kakinya menuju sumur wustha setelah terlebih dahulu melompati beberapa genangan air kotor akibat rawa-rawa yang menggenang di bawah asrama Ibnu Khaldun. Beberapa bongkahan batu yang nampaknya sengaja dipasang menjadi pijakan kaki-kaki dua lelaki itu. Setelah loncat sana sini, sampailah keduanya di titian jembatan bambu yang menjadi penghubung asrama Ibnu Khaldun dengan jalan utama menuju sumur. Sejenak Alan melirik ke atas ke arah pintu asrama Ibnu Khaldun II dimana semalam Ia tidur seorang diri. Dia yakin kalau sebelum Ia meninggalkan asrama itu kemarin pagi, pintu asrama dalam keadaan terbuka, tapi kenapa kini sudah dalam keadaan tertutup?. Mungkinkah pintu yang terbuat dari kayu itu bisa tertutup sendiri oleh tiupan angin? Alan menatap langit. Cerah di sana. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi hujan. Hanya angin hujan yang mampu menggerakkan kayu pintu jati itu. Jadi kalau bukan karena angin, siapa gerangan yang telah menutup pintu itu?
Alan hanya diam, dia menelan sendiri teka-teki tertutupnya pintu itu. Sementara Om Arema terus berjalan tertatih-tatih meniti jembatan bambu menuju sumur wustha yang mereka tuju. Alan terus mengikutinya dari belakang. Degup jantung Alan semakin cepat, dadanya berdebar-debar, apakah tulisan yang bernada mengancam dan memperingatkan itu jelas-jelas masih tertulis di sana? Dia tidak sanggup melihatnya, tidak kuat mengatur ritme irama jantungnya. Dia biarkan saja Om itu berjalan sesegera mungkin sampai ke area sumur wustha. Sementara dirinya hanya berdiri mematung di tempatnya berdiri.
“Di sana Om! Di dinding sebelah kiri.”
“Tidak ada. Tidak ada tulisan apa-apa.” Seru Om Arema dari kejauhan.
“Tidak ada?” Alan bergumam, kemarin pagi jelas-jelas dia melihatnya. “Siapa yang menulis lalu menghapusnya?” Dia berlari menghampiri Om tua itu.
“Wah, sudah terhapus Om.” Alan menghela nafas, dirinya justru kini takut dituduh mengabarkan kata-kata dusta. “Sumpah Om! Kemarin Aku melihatnya dengan jelas.”
“Kamu tidak perlu bersumpah segala Nak! Om percaya Kamu tidak mengada-ada.” Om mengelus kepala Alan lalu mengajaknya untuk pulang kembali ke rumah.
Akan tetapi, selanjutnya keadaan kembali menjadi semakin menegangkan, Pandangan Alan menangkap suatu bayangan berwarna perak berkelabat sangat cepat dan sulit ditangkap pandangan mata normal. Bayangan itu menyerupai tubuh manusia namun seluruh tubuhnya berwarna perak memancarkan sinar yang menyilaukan. Jantung Alan seolah nyaris berhenti, dan seketika matanya tertuju ke pintu dapur yang berhadapan dengan kelompok sumur itu, tulisan dengan warna dan bunyi yang sama yang dilihatnya kemarin pagi di dinding sumurkini berpindah dan tercetak dengan jelas di pintu dapur itu. “BERHATI-HATILAH!!! PERAK LAJU TELAH KEMBALI”
Alan memegang erat tangan Om. Lalu kepalanya mengisyaratkan agar Om melihat ke pintu dapur. Kali ini Om Arema pun tidak sanggup berkata apa-apa, bahkan cuping telinganya pun bergerak-gerak, wajahnya menyiratkan ketakutan mendalam. Ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tulisan yang mengancam itu.
Om menarik tangan Alan agar segera meninggalkan tempat itu.
“Apa ada orang lain selain kamu di dalam pondok ini?”
“Seluruh santri sedang libur, dan mereka kembali ke daerah masing-masing. Guru-guru, tukang masak, tukang bersih-bersih semuanya pulang ke daerah. Tinggal Aku seorang diri.”
“Sepertinya ada orang selain kamu. Tapi sekarang, ambil barangmu seperlunya dan kamu untuk sementara tidur di rumah Om.”
Sesampainya di rumah, om mulai menceritakan perihal perak laju kepada Alan yang makin penasaran;
Mitos “Perak Laju” adalah sebuah cerita yang amat mengerikan pada masanya. Cerita itu mulai berhembus pada masa-masa penjajahan kaum kolonial pada saat perang kemerdekaan. Di kawasan itu dahulu adalah kawasan pemukiman yang mayoritas penduduknya yang utamanya kaum muda memiliki hubungan amat dekat dengan kaum penjajah. Para pemuda direkrut, dilatih, dipersenjatai lalu diberi busana serba perak. Pemuda-pemuda dengan kepandaian berlari selincah kijang itu disebar. Mereka membantai sesamanya kaum pribumi yang coba melawan kebijakan kaum penjajah. Tidak tanggung-tanggung, mereka tidak hanya sekedar membantai para lelaki, mereka juga tidak segan-segan menghabisi wanita dan seluruh keluarga ‘pembangkang’ hingga yang masih bayi sekalipun.
Kelompok “Perak Laju” memiliki cara kerja ‘hit and run’. Dia memangsa buruannya dengan menggorok leher dalam waktu tidak sampai dalam hitungan detik. Dalam sekejap mereka bisa melayang pergi dengan kecepatan yang tidak bisa ditangkap oleh panca indra. Mereka yang direkrut menjadi anggota ‘Perak Laju’ tidak saling mengenal satu sama lain hal ini sengaja dilakukan oleh kompeni untuk menciptakan kerisauan tersendiri di kawasan itu. Para pemuda satu sama lain saling menuduh, tidak jarang pemuda yang dicurigai meski tidak terbukti dihakimi secara massa lalu dibakar hidup-hidup oleh warga. Kompeni benar-benar mengambil keuntungan berlipat dari semboyan pecah belah kemudian kuasai dengan menerapkan kerisauan kaum pribumi kala itu dengan menciptakan sosok Perak Laju. Warga pribumi pembangkang yang menghendaki kebebasan dan kemerdekaan dilenyapkan oleh sesamanya yang menjadi anggota perak laju, sementara perak laju saling menghabisi satu sama lain. Benar-benar suatu kebodohan alang-kepalang yang pernah dialami para pemuda masa itu.
Sepak terjang perak laju berlangsung selama bertahun-tahun. Korbannya mencapai ribuan orang; lelaki, wanita, dewasa dan anak-anak. Kekacauan serta kerisauan kaum pribumi semakin memudahkan kaum penjajah memancangkan cengkraman kekuasaannya. Perak laju yang bisa berkelebat menghabisi buruannya segesit kijang, secepat angin akhirnya menimbulkan mitos bahwa Perak Laju sebetulnya bukanlah manusia. Perak Laju adalah makhluk gaib yang bersekutu dengan setan melalui kompeni dengan tujuan melenyapkan manusia dari permukaan bumi. Mereka akhirnya dikiaskan datang dari planet lain berkeliaran di muka bumi memangsa manusia dengan cara biadab. Selama bertahun-tahun tidak ada penduduk yang berani keluar malam. Anak-anak kecil sering ditakut-takuti orang tuanya, “Cepat masuk ke dalam rumah, sebentar lagi Perak laju akan tiba.” Kalau sudah demikian, barulah anak-anak itu patuh kepada orang tuanya.
Berbagai cara telah dilakukan kaum pribumi untuk melenyapkan Perak Laju, mereka melakukan upacara-upacara ritual menurut keyakinan masing-masing. Orang-orang yang pandai dalam hal-hal kebatinan, ahli agama saling bekerja sama dengan satu tujuan kedamaian dan keamanan dari rongrongan Perak Laju.
Seiring terusirnya kompeni dari kawasan itu, perlahan-lahan sepak terjang Perak Laju berkurang. Namun beberapa pemuda yang pernah direkrut menjadi anggota Perak Laju masih sering memanfaatkan ketakutan masyarakat beraksi dengan tujuannya sendiri, misalnya mencuri, merampok atau menculik gadis kampung kemudian menghilang.
Setelah Perak Laju benar-benar hilang, trauma penduduk tidak bisa dihilangkan begitu saja. Mendengar nama Perak Laju disebut, tidak jarang tiba-tiba seseorang lantas berlari tunggang langgang, pingsan atau ada juga yang tiba-tiba melompat berusaha mencari tempat persembunyian.
“Begitulah legenda Perak Laju.” Om Arema menyeruput kopi buatannya sendiri dengan sekali seruput lantaran masih panas. Ia kemudian meletakkan cangkir ke atas wadahnya. Sesekali hisapan cerutu dan sebuah hembusan nafas berat yang diiringi asap mengepul dari mulutnya, ia menerawang ke langit-langit.
“Orang tua istri Om, tante kamu itu adalah satu-satunya yang bisa lolos dari serangan Perak Laju di suatu malam yang mencekam. Ia lupa mengunci pintu setelah maghrib, dan tiba-tiba sebuah bayangan perak memasuki rumah lalu menggorok orang seisi rumah. Pada waktu itu, Bapak istri Om, sedang berada di kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, ia menemukan seluruh keluarganya terkapar meregang nyawa dengan leher nyaris putus. Kejadian itu menjadi trauma keluarga yang tidak berkesudahan. Om merasa bersalah menyebutkan kata Perak Laju secara tiba-tiba kemarin pagi. Tapi itu kan semua sudah takdir, sudah ada yang mengatur. Tante rupanya masih menyimpan trauma berkepanjangan itu.”
“Saya juga minta maaf Om.” Ucap Alan penuh kesedihan. Dia juga merasa bersalah dengan dirawatnya Tante Arema di rumah sakit.
“Itu sudah takdir Nak, Kamu tidak bersalah.” Om berdiri dan pamit ke rumah sakit hendak menunggui istrinya kembali.
Sendirian di rumah, Alan kembali hanyut dalam ketakutan tiada kira. Hari libur masih lima hari lagi. Waktu yang cukup lama untuk memendam sebuah rasa takut. Ia khawatir bisa-bisa mati dengan sendirinya akibat memendam rasa takut berlebihan dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun sebuah suara kecil dari damirnya menghentak-hentak. “Ayo!” kata itu terus berulang-ulang laksana memerintah melakukan sesuatu. “Ayo!” Kata itu terucap sekali lagi, dua kali lagi, tiga kali lagi. “Ayo!”
Namun logikanya malah balik bertanya, “Ayo apa?” Damir dan logika nya saling berbantahan, berlawanan.
“Lakukan sesuatu!”
“Lakukan apa?”
“Sesuatu yang membuatmu bebas dari rasa takut!”
“Tapi aku takut”
“Kalau kamu takut melakukan sesuatu yang membebaskanmu dari rasa takut, maka kamu akan selalu merasa takut dan mati! Kamu mau mati?
“Aku takut Mati”
“Kalau kamu takut, Kamu akan mati. Jadi kalau kamu takut mati, lakukan sesuatu!”
Kali ini logikanya mulai sedikit mengerti apa yang dimaksud oleh damirnya. Yaitu, merubah cara pandang, “Kalau kamu berani, kamu akan baik-baik saja. Rasa berani akan memaksa kamu melakukan sesuatu mengatasi rasa takut.”
Tiba-tiba Alan berteriak nyaris memecahkan gendang-gendang telinganya sendiri, “RAMBO!!!!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H