Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: #12 Zona Nyaman

14 Oktober 2014   19:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bibir Menara Baja menghitam, otot-ototnya bergetar hebat. Matanya sesekali memejam sesekali melotot, tangannya bergerak-gerak laksana orang yang sedang sakit parkinson. Ia dibaringkan di atas ranjang klinik pak mantra yang kini berusaha menenangkan anak itu.

“Aku menemukannya berputar-putar di tengah lapangan dan terjatuh di atas gundukan pasir proyek pembangunan perpustakaan itu, Ustaz.” Piket malam yang bertugas jaga malam itu memberikan kesaksian. “Dan ia meneriakkan kata pocong berulang-ulang.”

Amran Mahmud meletakkan jarinya menutup mulutnya,

“Kenapa bisa ada santri kelas I yang berkeliaran malam-malam begini pada saat orang-orang sedang mengadakan tahlilan?” Selidik Amran Mahmud.

Teriakan Menara Baja memang tenggelam dengan suara santri-santri dan para ustaz yang sedang mengadakan tahlilan di dalam mesjid sehingga peristiwa Menara Baja yang melihat pocong hanya diketahui oleh piket malam, Amran Mahmud dan pak mantri.

Amran Mahmud memegang kepalanya. Dia pusing menghadapi kejadian-kejadian yang ditemuinya akhir-akhir ini. Belum selesai satu kasus, timbul pula kasus baru lainnya. “Seharusnya aku kuliah lagi dan mencari kerja di tempat lain. Mungkin hidupku jauh lebih tenang, tentram, ijo royo-royo dan tidak kusut seperti ini.”

Amran Mahmud sang pimpinan pondok sebenarnya masih berusia muda. Umurnya baru 24 tahun. Namun dia mempunyai prestasi yang mencengangkan. Dia salah satu alumni terbaik yang dimiliki pondok ini. Di usia 22 tahun dia telah menyelesaikan S1 nya. Kemampuannya di bidang bahasa Inggris dan bahasa Arab membuat orang-orang di luar sanaterkagum-kagum. Dia pandai beretorika, otaknya brilian dan mahir memainkan kata-kata. Sehingga di usia muda dia sudah menjadi langganan mesjid-mesjid di kecamatan untuk berceramah atau membawakan khutbah jumat. Suaranya tatkala mengumandangkan adzan dan ketika menjadi imam shalat membuat pendengarnya merinding. Dia adalah ulama intelek dan intelek ulama muda persembahan pondok ini untuk bangsa ini.

Di bidang lain tak kalah menonjolnya. Sarjana Matematika dan atlit karate pemegang ban hitam pula. Dia adalah hasil didikan dan kurikulum yang sempurna. Tawaran beasiswa ke luar negeri mengalir kepadanya. Namun di saat dia hendak memetik segala kesempatan yang melimpah ruah itu, tiba-tiba panggilan dari pondok untuk mengabdi, datang. Sejenak dia melupakan tawaran-tawaran beasiswa itu. Panggilan untuk pulang mengabdi di pondok tidak membuat nya berfikir dua kali. Ini adalah tawaran dunia akhirat. Harus diambil.

Kalau aku kuliah ke luar negeri, maka hanya akan ada seorang Amran Mahmud. Dia adalah aku sendiri. Namun jika aku kembali mengabdi ke pondok, nantinya akan lahir ratusan Amran Mahmud atau bahkan ribuan Amran Mahmud lainnya. Beberapa orang alumni seangkatan Amran Mahmud saat ini sudah bertebaran menuntut ilmu di luar negeri, sebagian ada di timur tengah, Mesir, Australia, Inggris dan belahan dunia lainnya. Suatu saat nanti mereka akan kembali menjadi anak bangsa pelopor pembangunan mental yang pada gilirannya akan mengangkat harkat bangsa. Sementara malam ini, Amran Mahmud masih berada di pondok mengurusi anak hilang dan anak yang berputar-putar di tengah lapangan karena mengaku melihat pocong. Ironis.

Amran Mahmud memegang kepalanya. Sejenak dia menarik nafas sekuat tenaga lalu menghembuskannya pelan-pelan. Suatu kebiasaan yang dilakukannya di saat fikirannya sedang kalut. Usaha itu sedikit mengontrol emosinya. Mereka adalah tanggung jawab saya. Mereka adalah anak-anak yang dititipkan orang tuanya di pondok ini. Fikiran itu membuat gelora hidupnya kembali bangkit.

Pak Mantri muncul dari dalam ruang pemeriksaan klinik, raut wajahnya telah kembali seperti biasa, sudah tidak setegang beberapa menit yang lalu. Dengan penuh rasa takzim dia menghormat ke Amran Mahmud, “Ustaz Muda, anak itu sudah mendingan. Dia hanya sedikit shock karena mengaku telah melihat arwah Tunas di sumur qibar beberapa saat yang lalu.”

Amran Mahmud sejenak menatap ke arah mesjid. Suara tahlilan masih samar-samar terdengar. Suara tahlilan yang telah memilukan perasaan banyak orang. Terdengar ayat-ayat suci dibacakan dengan suara syahdu, suara syahdu yang dibarengi dengan rasa simpati yang mendalam akan kehilangan sahabat tercinta. Para santri membacakannya dengan hati yang diiringi doa tulus. Setiap lembaran alqur’an basah oleh tetesan air mata santri yang membacanya.

Perasaan sedih terdalam pasti dirasakan seorang ibu yang saat ini sedang berada di ruangan kamar tamu yang berada di aula utama. Amran Mahmud lah yang merasa paling bersalah terhadap ibu itu. Dia merasa lalai dalam melaksanakan tanggung jawab hingga Tunas begitu mudahnya berangkat ke kota berombongan dengan rekan-rekannya tanpa sanak saudara yang dituju.

“Pak mantri, Menara Baja memang santri yang paling dekat dengan Tunas. Mereka ibarat sepasang sandal kiri dan kanan. Wajarlah jika dia selalu berhalusinasi melihat wajah sahabatnya itu.”

Pak mantri manggut-manggut. Dia merasa ustaz muda ini begitu perhatian kepada setiap santri, hingga persahabatan santri satu sama lainnya pun tak luput dari pantauannya.

Jam 21:00, tahlilan telah selesai. Kali ini santri meninggalkan mesjid tidak sama seperti biasanya. Tidak ada suara, hening, diam dan tak ada yang berebutan sandal. Aku keluar meninggalkan mesjid dan menatap langit yang terang benderang. Aku berharap menemukan kesebelas bintang yang melakukan formasi utuh. Dan…. Kali ini pemandangan langit begitu menakjubkan. Kesebelas bintang itu berkumpul membentuk huruf “V” utuh sempurna. Ada dua makna terbaca, Tunas sudah tenang kembali ke PemilikNya atau saat ini dia sudah ditemukan dalam keadaan jauh lebih baik dari Tunas sebelumnya.

Aku berlari mencari Amran Mahmud, dan menemukannya di depan poliklinik sedang bercakap-cakap dengan pak mantri. “Ustaz, Tunas telah ditemukan.”

“Apa? Dimana? Siapa yang menemukannya?” Amran Mahmud begitu antusias. Dia lalu teringat Menara Baja yang terbaring di ranjang poliklinik. Ia lalu bergegas masuk ke ruangan di mana Menara Baja sedang berbaring.

“Baja, coba ceritakan dimana kamu bertemu Tunas.”

Baja yang sudah mulai menemukan kesadaran dirinya kembali menunjuk ke arah sumur qibar. “Di sana Ustaz, di sumur qibar. Dia kencing lalu meminta air kepadaku.”

Amran Mahmud tersenyum, “Itu pasti Tunas yang sesungguhnya”. Saat ini kehebohan pasti terjadi di asrama Ibnu Khaldun II.

“Darimana saja kamu Kawan? Kamu hampir membunuhku dua kali. Kamu menghilang tiba-tiba dan kamu muncul tiba-tiba. Ah, jahatnya Kamu ini.” Baja memeluk ‘sejoli’nya begitu hangat. “Jangan pergi lagi.” Bisiknya.

Tunas tersenyum. Kali ini lesung pipinya begitu manis. Gigi putihnya bersinar, dan rambutnya telah dirapikan.

“Ceritakan darimana saja kamu selama beberapa hari ini?, dan pengalaman apa saja yang telah kamu dapatkan?”

“Kamu tidak akan percaya!”

“Ceritakan saja. Soal percaya atau tidak itu masalah nanti.”

Tunas tersenyum, kali ini giginya tersembunyi dari bibirnya yang tipis. “Jangan paksa aku bercerita. Aku berdosa jika membuatmu mencibir dan menganggapku pendusta.”

“Wah-wah… bahasamu beda sekarang. Tidak seperti biasanya.”

Tunas tersenyum lagi.

“Dan senyummupun jauh lebih menawan dari biasanya. Coba ceritakan apa yang terjadi padamu selama sepuluh hari belakangan ini. Jangan-jangan Tunas yang ada di hadapanku kini bukan Tunas yang sebenarnya.”

“Baja, tidak ada yang berubah terhadap diriku. Justru aku yang melihat dirimu yang banyak berubah, kau kini mulai banyak tanya. Tidak lagi pendiam seperti dulu.”

“Aku banyak bertanya karena kamu telah hilang sepuluh hari dan bahkan sudah dianggap meninggal! Kalau aku diam saja bukankah berarti aku kurang peduli terhadap Kamu! Sekarang ceritakan apa yang terjadi!”

“Baiklah, aku akan bercerita.Terserah Kamu mau percaya atau tidak, yang jelas aku mau bercerita saja. Lagipula tidak ada gunanya apa aku bohong atau menceritakan yang sebenarnya terhadap Kamu. Tapi Kamu harus berjanji untuk menyimpan cerita ini baik-baik. Suatu saat akan kelihatan yang kuceritakan ini benar atau tidak.”

“Oke. Aku berjanji. Ambil pisau dan aku akan mengiris sedikit saja ujung telunjukku. Aku ingin berjanji dengan darah bahwa cerita itu akan aku simpan sendiri.”

Tunas tertawa. “Tidak perlulah Kawan. Aku tidak butuh darahmu itu. Karena Kau ceritakan kepada orang-orang pun mereka tidak bakal mau percaya.”

“Nah sekarang cerita saja kalau begitu. Aku tidak sabar ingin mendengarnya.”

“Tapi ngomomg-ngomong. Aku lapar, kamu ke koperasi dulu beli sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Aku tunggu Kamu di sana di lapangan basket. Di sana sepi kalau siang-siang begini. Semakin banyak makanan yang kamu beli semakin lengkap ceritanya.”

Menara Baja melengos. “Ah, dasar otak bisnis.”

“Mau dengar cerita tidak?”

“Mau sih. Tapi Aku saat ini tidak punya uang. Kirimanku sudah habis kalau sudah tanggal tua begini.”

“Catat saja dulu. Kamu juga kan anggota koperasi.”

Menara Baja melengos sekali lagi. Terbayang kirimannya semakin tidak utuh untuk bulan depan karena terpotong sana sini. Koperasi santri ini selain membantu menyediakan bahan-bahan kebutuhan santri, juga membantu santri untuk belajar berutang!

Demi melampiaskan rasa penasarannya akan cerita Tunas, Menara Baja berlari menuju koperasi santri yang ada di samping aula, tepatnya di belakang lapangan bulu tangkis. Koperasi santri itu entah dikelola oleh siapa. Yang aku tahu, pengurus utamanya bernama Pak Boma. Pak Boma ini memiliki dua orang asisten yang membantu mengurusi segala tetek bengek urusan koperasi. Mulai mengoreder barang, melakukan pembukuan, hingga melayani pembeli. Santri yang terdaftar otomatis menjadi anggota koperasi. Tapi sepanjang masa menjadi anggota, tak pernah sekalipun aku diundang menghadiri Rapat Anggota Tahunan ataupun mendapatkan laba dari Sisa Hasil Usaha. Lagipula tak seorang santripun yang mau tahu masalah itu. Peduli amat.

Yang aku tahu, pendataan ketersediaan stok barang kurang profesional. Karena sepanjang tahun hingga aku tamat, Wawan teman seangkatan saya yang terampil namun sekaligus tukang sulap tidak pernah ketahuan telah membantu koperasi mengurangi ketersediaan stok gula, susu, roti dan saus sambal tomat milik koperasi itu.

Wawan memang seorang pesulap. Dia sanggup memindahkan sesuatu dari tempatnya dengan sangat cepat dan tangkas. Dia juga sanggup menghilangkan sesuatu barang dari tempatnya semula secepat sambaran kilat. Atau bahkan bisa menjadikan uang lima ribu menjadi seribu. Tapi seumur-umur dia tidak bisa menyulap uang seribu menjadi dua ribu, apalagi menjadi lima ribu. Baik banget dia. Karena itulah aku menjulukinya kleptomania.

Wawan dan koperasi dua elemen yang saling melengkapi. Satu nya kurang professional sedang yang satunya lagi seorang oportunis yang mampu membaca kelemahan lawan. Hal itu hanya Aku yang tahu. Tapi Aku tidak bisa melaporkan Wawan karena keterampilannya itu. Karena tidak ada yang bisa dibuktikan. Dia sangat lihai dan cepat.

Menara Baja keluar dari koperasi dengan muka berseri-seri. Di tangannya kali ini tergenggam dua buah ‘minuman lembut’ yang sudah dibungkus plastik dengan pipet yang tersembul di ujungnya. Empat buah wafer berwarna oranye bergambar manusia super yang terbang dengan sebuah tangan yang mengepal bersemayam di kantong bajunya. Gratifikasi yang akan diberikan kepada Tunas untuk sebuah cerita yang maha misteri.

Ia mendapati Tunas sedang duduk di bawah pohon mangga yang rindang di samping lapangan basket. Tunas menyambutnya dengan wajah sumringah.

“Kamu memang sahabat sejati. Kamu tahu cemilan kesukaan saya.”

“Itu dapat dari ngutang. Pasti rasanya beda dengan makanan yang dibeli kontan. Dia belum membentuk daging kita seutuhnya sebelum aku melunasinya awal bulan depan.” Dua buah wafer ditambah satu bungkus minuman kini berpindah tangan.

“Itu urusan daging kamu.” Tunas tersenyum dengan wajah kemenangan sambil menyeruput minumannya.

Jam 2 siang suasana halaman depan pondok memang cukup sepi. Jam-jam itu sebahagian besar dimanfaatkan santri untuk tidur siang, mencuci, atau mengulang mata pelajaran di sekolah. Sehingga kedua sahabat itu bisa saling reunian dengan aman tanpa ada gangguan berarti.

“Sebelum aku cerita, aku mau bertanya sesuatu hal yang amat penting. Cita-citamu sebenarnya ingin menjadi apa?” Tanya Tunas tiba-tiba.

Menara Baja kaget. “Lho apa hubungannya cerita kamu dengan cita-cita saya?”

“Saya akan menceritakan pengalaman saya untuk membantumu meraih cita-cita kamu itu.”

Kali ini Menara Baja bersemangat. “Oke. Aku ingin sekali menjadi anggota qismul amni.”. Ganti Tunas yang kaget.

“Dangkal sekali cita-cita kamu itu Kawan. Tidak bersifat jangka panjang.”

“Iya, makanya aku ingin sekali terus berada di pondok ini hingga menginjak kelas V dan menjadi anggota qismul amni. Biarlah kita menderita dulu dari kelas I sampai kelas IV. Tapi suatu saat nanti kita akan lihat. Setelah kelas V saya akan menjadi anggota qismul amni yang paling ditakuti.”

Menginjak kelas V dan menjadi anggota qismul amni adalah zona ternyaman yang dirasakan di pondok ini. Semua anggota kelas V otomatis menjadi pengurus Ikatan Santri setingkat Osis di SMA umum. Mereka mendapatkan keleluasaan menjadi pelaksana kegiatan santri.

Bisa dibayangkan betapa berkuasanya kelas V itu. Mereka menjadi pembina di setiap asrama kelas I sampai IV. Mendapatkan ruangan khusus di keempat sudut asrama yang bebas ditatanya sendiri. Mendapatkan lemari buku, kursi belajar, bebas membawa radio tape, karpet, beban pengencang otot dan semua barang yang tidak boleh dimiliki oleh santri kelas I sampai IV.

Untuk urusan makanan jangan ditanya lagi. Mulai dari susu hingga makanan ringan tinggal minta ke santri binaannya. Soal odol, sabun, handuk, timba, ember sandal dan semacamnya tinggal sambarapa yang ada di depan mata. Tidak bakal ada yang marah, tidak bakal ada yang komplain. Mereka adalah penguasa. Mereka adalah Raja.

Di malam hari kalau pegal-pegal sehabis belajar atau mengajar tinggal panggil piket asrama. Sekujur badannya minta diinjak-injak atau dipijitin. Pakaian kotor kalau menumpuk tinggal dibagi-bagikan ke santri-santri yang terkena hukuman karena melanggar peraturan asrama. Sehari kemudian pakaian itu sudah kembali ke atas lemari mereka dalam keadaan sudah diseterika rapi, terlipat dan wangi.

Meninggalkan kampus pun bebas dan tidak perlu izin ke siapa-siapa lagi. Jika anda kelas V dan menjabat anggota qismul amni pusing sedikit menghadapi sesuatu atau menemukan pelajaran rumit, tinggal panggil santri kelas IV untuk disiksa melampiaskan kekesalan. Itulah zona ternyaman.

Tidak heran jika Menara Baja bercita-cita ingin menjadi anggota qismul amni. Suatu cita-cita yang lumrah di mata Tunas saat ini.

“Baiklah aku akan bercerita.”

Menara Baja duduk sambil memeluk kedua lututnya. Wajahnya menengadah serius memperhatikan cerita Tunas. Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya entah karena kagum atau tindakan tidak percaya. Atau sesekali dia berteriak “Masa!?” sambil membekap mulutnya. Dan kadangkala dia tiba-tiba berdiri dan selanjutnya duduk kembali memeluk kedua lututnya. Intinya Baja adalah pendengar yang reaktif dan aspiratif. Atau bisa juga karena cerita Tunas yang luar biasa mengena ke lubuk hatinya. Sebuah cerita yang terlalu mahal untuk sebungkus ‘minuman lembut’ dan dua buah wafer bergambar superman.

Di ujung cerita, Baja bertepuk tangan dan melakukan standing ovation untuk sahabatnya itu. Ia menepuk-nepuk bahu Tunas. Membetulkan kerah baju sahabatnya itu. Siapa yang tidak penasaran ingin mendengar cerita itu. Aku berempat bersama Charya, Amirul dan Wisnu menyaksikan reuni kedua ‘sejoli’ itu. Kami adalah empat orang yang paling bersalah meninggalkan Tunas sendirian di malam tragis itu. Kami berempat adalah orang yang paling berbahagia dengan kembalinya Tunas ke pondok dalam keadaan ceria dan selamat senotasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun