“Teori sebelas bintang tiba-tiba hadir begitu saja di benakku. Aku mendongak ke atas, dan aku kembali menemukan sebelas bintang yang berpendar-pendar indah. Aku tidak bisa membaca arah astronomi seperti pelaut yang bisa mengetahui arah utara timur barat dan selatan hanya dengan melihat bintang-bintang di angkasa. Namun teori sebelas bintang meneguhkanku kepada satu pencapaian, bahwa teori sebelas bintang adalah happy ending.”
Tunas lebih tenang, ternyata dia mampu mengontrol ketakutannya. 3 orang penakut ditambah 1 orang paling penakut ternyata menghasilkan seorang pemberani. Seorang yang pemberani itu ternyata adalah anak yang paling kecil, paling hitam, paling tidak bisa diandalkan dan memiliki rambut yang paling tidak beraturan.
Anak itu kini merasakan kejatuhan bintang benderang dari langit. Bintang yang kemudian digenggamnya, lalu perlahan-lahan dicangkokkannya ke dalam jantungnya. Bintang itu kini pecah berubah bentuk menjadi kristal-kristal dan menyebar ke dalam sel-sel jantungnya. Sebaran bintang itulah yang kini menjadikan debaran jantungnya lebih beraturan. Menjadikan langkahnya lebih tenang dan diperhitungkan.
Cahaya terang di jantungnya menuntunnya menjelajahi gelap malam. Cahaya yang kemudian berubah wujud menjadi jelmaan separuh manusia separuh makhluk yang belum pernah dilihatnya. Asing namun menentramkan. Kemudian ia mendengar sebuah bisikan ‘La takhaf walaa tahzan innallaha ma’as shabiriin’. Sosok itu kemudian mengajaknya mengarungi malam. “Ikuti saja” begitu kata hatinya.
Namun ketika Ia menyaksikan sosok itu berbuat dan bertingkah seenaknya, ia tidak berani menegur ataupun menanyakan hal-hal yang mengganjal di dalam hatinya. Ia hanya bisa menyaksikan dan mengikuti saja. Ia teringat kisah nabi Musa dan nabi Khidir yang diceritakan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Di situ dikisahkan bahwa nabi Khidir memperkenankan nabi Musa untuk menyertainya dalam perjalanan asalkan nabi Musa tidak mengusili apa yang diperbuatnya. Namun akibat nabi Musa yang usil, ia pun tidak diperkenankan mengikuti nabi Khidir lagi setelah nabi Musa mengomentari tiga perbuatan nabi Khidir yang dianggapnya bertingkah seenak-enaknya dan sekehendak-hendak hatinya.
Kisah itu bukan tanpa makna. Kisah di dalam al-Qur’an adalah kisah paling orisinil, sebuah buku dengan rekor ribuan kali cetak ulang sekalipun takkan bisa menandingi kehebatan sebuah kisah dalam al-Qur’an. Dan alangkah lebih hebatnya lagi jika kisah itu mampu diartikan makna paling tersirat yang ada di dalamnya. Tapi seperti yang selalu juga dituliskan dalam al-Qur’an bahwa kamu hanya mengetahuinya sedikit saja.
Kembali ke sahabatku Tunas dengan sosok yang baru bersemayam di dalam dirinya,engontrol ketakutannya. 3 orang penakut ditambah 1 orang paling penakut ternyata menghas
“Aku tidak sembarang memilih orang, namun aku melihatmu sebagai orang yang paling sabar yang pernah menyertaiku.”
Tunas terdiam, terpaku. Ternyata sosok itu bisa bersuara. Manusiakah gerangan? Aku pilihannya? Apa pula maksudnya itu?
*-*-*-*
Masa libur telah usai, hari jumat jam 17:00 adalah batas waktu mengisi daftar hadir bagi santri yang pulang. Toleransinya adalah sebelum adzan maghrib dikumandangkan, seluruh santri yang pulang sudah harus kembali ke pondok.
Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada sepasang suami istri penjual songkolo bagadang yang dengan senang hati mengantarkanku kembali ke pondok. Sebuah tas kresek warna hitam berisi beberapa bungkus songkolo bagadang menjadi buah tanganku sore itu. Sebuah hadiah yang sangat manis untukku. Lumayan untuk bahan rampasan bagi teman-teman asrama yang tidak pulang.
Aku melapor ke piket harian dan melirik daftar santri yang sudah datang. Di situ nama Ridwan sudah dicontreng. Dia kembali ke pondok pada hari kamis jam 22:00. Hatiku jadi panas dan menggeram. Lalu aku melihat nama Amirul juga sudah dicontreng, di sebelah contrengannya tertulis hari jumat jam 10:00. Hatiku makin panas dan makin menggeram. Namun ketika melihat nama Charya, Wisnu dan Tunas masih belum dicontreng, Tiba-tiba aku menjadi sedih, aku sangat kasihan kepada mereka. “Dimana kalian sahabat-sahabatku?”
Gamang dan gulana. Begitulah rasa hatiku sore itu. Tiga sahabatku yang lari berpencaran di malam jumat yang menegangkan belum juga kembali ke pondok. Kehilangan tas bukan lagi masalah besar begitu menemukan kenyataan bahwa kehilangan tiga sahabat amat membuatku resah dan tersiksa. Terbersit keinginan untuk melaporkan masalah ini ke pimpinan pondok, tapi hati kecilku melarang. Karena pada akhirnya kebohongan kami yang mengatakan hendak pulang ke rumah keluarga masing-masing akan terungkap. Dan itu pasti ada hukuman yang lebih besar menanti kami di qismul amni.
“Oh Tuhan, apa yang harus aku perbuat?”
Pukul 17: 00. Waktu untuk melapor sudah habis. Semua santri yang pulang dan datang setelah pukul 17:00 bakal mendapatkan hukuman dari qismul amni jika tidak memiliki alasan yang kuat atas keterlambatan mereka.Absen melapor ulang sudah berpindah tangan dari piket harian ke piket ketua. Piket ketua kemudian mencatat daftar nama-nama santri yang belum pulang lalu menyerahkannya ke ketua qismul amni.
Santri yang datang sebelum adzan maghrib diwajibkan melapor ke ketua qismul amni jika mereka tidak ingin namanya dibacakan oleh bagian penerangan setelah shalat isya. Tentu saja mereka harus memiliki alasan yang kuat perihal keterlambatan mereka. Tapi biasanya ketua qismul amni bisa mafhum jika sekaleng susu dan sekresek roti tawar kamu letakkan di atas meja sebelum mengemukakan sebuah alasan asal-asalan.
Riuh suara santri-santri yang sedang mandi sore di tujuh kelompok sumur yang ada tiba-tiba lenyap begitu suara shalawat berkumandang dari mikrofon mesjid. Suara shalawat menandakan bahwa sekitar tujuh menit lagi adzan maghrib akan tiba, itu artinya mereka harus sudah berada di dalam mesjid mengisi shaf-shaf yang sudah tersedia. Ustaz menganalogikan pahala dalam mengisi shaf, jika kamu berada di shaf paling depan, ibarat makan daging ayam, maka orang-orang yang berada di shaf paling depan mendapatkan bagian dada mentoknya. Orang-orang yang berada di shaf berikutnya, mendapatkan pahala seperti daging pahanya, shaf berikutnya mendapatkan rusuknya, shaf berikutnya lagi mendapatkan sayapnya, shaf selanjutnya mendapatkan lehernya, selanjutnya orang-orang yang berdiri di shaf belakangnya akan mendapatkan cekernya, selanjutnya mendapatkan kulitnya saja. Dan seterusnya hingga shaf paling belakang hanya mendapatkan aromanya saja.
Analogi semacam itu banyak aku dengar di masa kecil. Saya yakin itu adalah semacam motivasi yang diberikan oleh para ustaz supaya kami berlomba-lomba mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Tapi jika mau difikir secara logika, barangkali ada benarnya juga. Karena ketika analogi itu saya perhatikan yang terjadi di dalam kelas sewaktu kami menerima pelajaran formal, saya mendapatkan bahwa kawan-kawan saya yang selalu duduk di kursi paling depan mampu menangkap pelajaran lebih cepat dibandingkawan-kawan saya lainnya yang senang duduk di bangku tengah maupun belakang. Kecuali untuk pelajaran ustaz Genjot,kawan-kawan saya yang senang duduk di bangku belakang akan bergeser ke bangku paling depan. Karena mereka sudah tau kebiasaan ustaz Genjot. Beliau senang menunjuk santri yang duduk paling belakang untuk maju ke depan kelas menghafalkan doa-doa shalat. Jika ada doa-doa shalat salah terbaca, semua pasti sudah tahu apa hukumannya. The one and only :Genjot.
Kali ini biarkan aku mendapatkan aroma ayamnya saja. Aku sengaja mengambil shaf paling belakang dengan pengharapan bisa memantau apakah tiga sahabatku muncul ikut shalat berjamaah sendiri-sendiri atau bersamaan dalam keadaan utuh. Setelah shalat maghrib berjamaah selesai, di antara suara tadarusan kawan-kawan santri yang lain, aku duduk menghampa di atas alqur’an yang terbuka. Sesekali aku melirik ke kiri, ke kanan, ke belakang…. Namun, ya Tuhan…. Tidak satupun batang hidung dari ketiganya yang kelihatan. Aku terus membuka lembaran-lembaran al qur’an tanpa membacanya, melirik lagi membuka lagi, menoleh lagi, membuka lagi. Dan tiba-tiba sebuah gulungan sajadah mendarat di punggungku.Bum!!! suaranya dahsyat dan menggelegar. Aku jadi salah tingkah karena semua santri yang berada di shaf depan menoleh ke arahku. Seorang anggota qismul amni yang bertugas mengontrol di pintu belakang mesjid rupanya mulai hilang kesabaran melihat tingkahku yang tidak konsentrasi bertadarus.
Waktu isya tiba, mereka belum juga muncul. Makan malam selesai, dan mereka belum juga muncul. Something really really happened. Setelah pelajaran bahasa Arab selesai di asrama, aku mendatangi Amirul dan Ridwan. Keduanya harus bertanggung jawab. Karena pertikaian keduanyalah hingga ketiga kawan yang lain belum juga kembali sampai sekarang.
“APA?” mata Ridwan yang bulat terbelalak nyaris keluar dari kelopaknya. “Rul, kamu tidak bilang ke mereka kalau aku mau langsung pulang ke pondok? Jadi mereka tidak perlu mencariku malam itu.”
“Mana aku tahu kawan, kamu tidak mengatakan apa-apa malam itu. Kamu langsung ke kamar, ambil tas dan keluar rumah.”
“Seperti saya bilang, aku pulang saja. Pulang itu kan artinya pulang ke sini, ke pondok ini.” Mata Ridwan semakin terbelalak.
Amirul juga mulai naik pitam. “Hei, kamu lupa, kamu tidak mengatakan apa-apa kawan. Aku juga menyusulmu dengan menggunakan mobil bapak saya. Tapi kamu menghilang entah kemana. Dan kamu juga harus tahu, malam itu aku dihukum tidak boleh keluar kamar, karena memakai mobil bapak saya.”
“Dasar sok alim, yah beginilah jadinya.” Amirul mulai sewot.
“Hei, apa Kamu bilang….”
“Stop! Stop!” Aku menarik tangan Ridwan yang mulai melakukan penyerangan. Tom and Jerry mulai beraksi kembali.
Permintaan tanggung jawabku terhadap keduanya sia-sia saja. Alih-alih memecahkan masalah, justru masalah yang baru kembali menyeruak, karena keduanya kembali bersitegang. Aku memilih pergi dan memikirkan cara bagaimana mendapatkan ketiga kawanku kembali.
Tidak ada pilihan lain, aku harus mengatakan hal ini kepada Jenal Amin. Meski aku tahu dia akan marah, namun sebagai kakak pembina ia pasti masih memiliki rasa tanggung jawab, setidak-tidaknya dia pasti punya cara bagaimana menemukan ketiga kawanku yang lain. Jam 11 malam di saat kawan-kawan seasrama berangkat tidur, aku mendatangi ruangan Jenal Amin. Sejenak dia terperanjat, namun nalurinya langsung menangkap kalau aku ada masalah.
“Duduk sini.” Dia menepuk-nepuk sisi pembaringannya.
Dia kemudian berdiri memeriksa keadaan. Setelah dia merasa suasana cukup aman, dia lalu mengambil kursi belajarnya dan duduk tepat di hadapanku.
“What happened?”
“Ini perihal penghuni ranjang no 2, 10 dan 20.” Aku menunjuk ke papan tulisnya yang bertuliskan tiga angka yang disilang.”
“Mmmmh… “ Jenal Amin menggumam. “Ketiganya belum kembali. Kalau tiga hari tidak ada kabar dari mereka, itu artinya pengunduran diri secara sepihak.”
“Tiga hari terlalu lama kak. Malam ini kak Jenal bisa mendengar kabar tentang mereka.”
Jenal memicingkan mata, “maksud kamu?”
“Aku membawa kabar tentang mereka kak.”
Jenal Amin berdiri, sarungnya digulung, dan kursinya didorong kembali ke tempatnya semula.
“Kalau hanya membawa kabar sakit, itu tidak berlaku tanpa ada surat keterangan dokter. Lagipula, mana ada sakit beramai-ramai. Pimpinan pondok tidak akan percaya. Kembali tidur sana!”
“Aku tidak tahu mereka saat ini sedang sakit atau tidak kak.”
“Well, tadi kamu bilang datang membawa kabar, sekarang kamu tidak tahu saat ini mereka sakit atau tidak. Lalu kabar apa yang ingin kamu sampaikan?” Jenal menarik kembali kursinya.
“Ketiganya hilang”. Ucapku pelan.
“APA?” Jenal Amin tidak jadi duduk, kursinya dikembalikan lagi ke tempat semula.
“Kak, sebetulnya yang hilang empat orang. Saya salah satunya. Tas saya direbut orang, tapi saya ditolong seorang pedagang. Saya dirawat, diberi makan, diberi tumpangan, dan diantar kembali ke pondok.”
“Bukannya kalian izin pulang ke rumah keluarga masing-masing?”
“Maaf kak. Sebetulnya kami berenam pulang ke rumah Amirul. Mohon maaf kak, karena kami sudah berbohong.”
Muka Jenal Amin mulai kehilangan darah segar. Ia pucat seperti kapas. Tiga anak binaannya hilang secara bersamaan pertanda ia tidak becus sebagai seorang pembina.
“Kamu jangan kemana-mana. Tetap di sini sampai saya kembali.”
Jenal Amin meraih celana panjang yang tergantung di belakang lemari belajarnya. Lemari yang sekaligus bisa dijadikan meja belajar. Karena setelah laci atasnya dibuka, pintu laci itukemudian berubah fungsi menjadi sebuah meja. Ia mengenakan jaketnya dan berlari meninggalkan asrama.
Dia berlari ke rumah pak Kasmuddin. Dia lalu menyeret tata usaha itu ke ruangan kantor. Satu persatu data-data santri kelas I dicek. Akhirnya ia menemukan tiga nomor telepon rumah. Telepon orang tua ketiga santri yang hilang.
Jenal Amin menelepon orang tua mereka satu demi satu. Ia menanyakan apakah santri tersebut ada di rumah atau tidak. Tapi jawaban ketiga nya sama. ‘Tidak ada’. Akhirnya Jenal Amin melemparkan badannya ke kursi. “Mittu anaa!” (mati aku!)
Pak Kasmuddin dibiarkan nya pulang kembali melanjutkan tidurnya. Sementara Jenal Amin berlari ke sana kemari seperti pengembala mencari ternaknya yang hilang. “Mittu anaa!” kata-kata itu diucapkannya berulang-ulang.
Letih berputar-putar Jenal Amin kembali ke asrama. Sekali lagi ia memeriksa ranjang no 2, 10 dan 20. Memang benar. Ketiganya tidak ada. “Mittu anaa!” teriaknya sekali lagi.
Jenal Amin datang menghampiriku yang masih terduduk di sisi pembaringannya. Matanya yang tajam bulat dan kini mulai memerah menatapku seolah hendak menerkam. Ia merasa dibohongi karena kami ijin pulang ke rumah keluarga masing-masing, tapi kenyataannya kami memang tidak memiliki siapa-siapa di kota.
“Coba ceritakan, dimana kalian berpisah.”
“Mohon maaf Kak, saya tidak tahu nama tempatnya karena malam itu gelap sekali. Kami kira-kira berjalan selama dua jam dari rumah Amirul. Kami mencari-cari Ridwan yang minggat dari rumah Amirul ke setiap mesjid yang ada di pinggir jalan. Tapi di suatu mesjid kami akhirnya berpencar karena kami melihat sesuatu.”
“Apa yang kalian lihat?”
“Saya tidak sanggup menceritakannya Kak.”
“Kenapa?”
“Saya tidak sanggup menceritakannya Kak.”
“Kenapa?”
“Saya tidak sanggup menceritakannya Kak.”
“Apa harus Saya paksa?”
“Percuma kak. Apa yang kami lihat tidak bisa saya ceritakan. Tapi saya bisa menceritakan akibat dari apa yang kami lihat.”
Jenal Amin tertegun. Di benaknya mungkin berkeliaran beribu pertanyaan. Apakah anak binaannyaini mulai menjadi pembantah, atau apakah dia sedang menyimpan suatu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun, atau apakah dia ini memang tidak bisa mendeskripsikan secara jelas apa yang telah dilihatnya.
“Oke, ceritakan akibatnya!”
“Empat orang hilang, dan hanya satu yang bisa kembali.” Kataku mantap.
Keesokan harinya berita tiga orang santri yang hilang mulai menyebar di seantero pondok. Setelah shalat dhuhur, diadakan doa bersama yang dipimpin oleh ustaz Genjot mendoakan supaya tiga orang santri yang hilang tersebut dalam keadaan baik-baik dan kembali ke pondok dalam keadaan selamat.
Ridwan adalah santri yang merasa paling bersalah. Dia tidak menyangka tiga sahabatnya hilang lantaran mencari dirinya.Sebuah pelajaran pertama mengenai solidaritas didapatkannya. Pergi berenam seharusnya pulang berenam pula. Tindakannya pulang lebih awal tanpa sepengetahuan sahabat-sahabatnya yang lain adalah sebuah kekeliruan besar. Pertikaiannya dengan Amirul yang dianggapnya memiliki egoisme berlebihan sebagai tuan rumah menuai masalah terhadap tiga sahabatnya yang lain. Ridwan merasa mafhum atas kemarahan saya terhadap mereka.
Ternyata Amirul yang cuek jauh lebih perasa. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba buliran air mata membasahi sajadahnya. Doa Ustaz Genjot menyentuh rasanya yang paling dalam.
“Anak-anakku sekalian.” Ucap ustaz Genjot setelah doa selesai dipimpinnya. “Saat ini, pimpinan pondok ustaz Amran Mahmud dan kakakmu Jenal Amin sedang berangkat ke kota bersama Ahmad Sayid untuk menyusuri tempat menghilangnya ketiga rekan-rekan kalian. Ini adalah suatu pelajaran bagi kalian semua, supaya tidak berbohong kepada kakak-kakak dan ustaz-ustaz kalian, dan jika meninggalkan pondok, tetaplah menjaga nama baik almamater, nama baik pondok dan berlakulah selayaknya santri. Jangan berkeliaran di kota di malam hari tanpa tujuan yang jelas.” demikian ustaz Genjot menutup pesannya.
Aku berusaha mengingat-ingat arah jalan yang kami lalui malam itu. Selayaknya orang melakukan napak tilas, aku bertiga bersama Jenal Amin dan ustaz Amran Mahmud pimpinan pondok menyusuri jalan mulai dari rumah Amirul. Di setiap pertigaan atau jalan bercabang, aku berhenti sejenak berusaha mengingat-ingat jalan yang sesungguhnya telah kami lalui. Tujuan pencarian kami adalah mesjid dimana aku telah melihat sesuatu yang tidak bisa saya ceritakan kepada mereka.
“Ustaz, suasana siang hari dan malam hari amat jauh berbeda. Saya tidak bisa mengingat jalan yang tepat. Karena kemarin malam suasananya tidak seperti ini.”
Sekali lagi Amran Mahmud tersungut-sungut. Saya selalu melontarkan kata-kata itu di setiap bertemu jalan bercabang. Dengan arif dan bijak dia meminta aku berkonsentrasi dan tatap tenang.
Aku merasa ini adalah pencarian yang sia-sia. Sudah hampir tiga jam kami berjalan namun aku belum bisa menemukan suatu tempat yang berupa tanda penemuan mesjid itu. Bentuk dan nama mesjid itupun aku tidak tahu. Yang aku ingat, pekarangannya sangat luas dan jendelanya ada tiga buah di bagian depan berandanya. Dari ketiga jendela itulah masing-masing kami telah melihat pemandangan yang aneh dan menakjubkan.
Selama pencarian, Jenal Amin adalah orang yang paling tegang. Semalam dia tidak bisa tidur memikirkan keadaan tiga anak binaannya. Dini hari menjelang fajar dia memberanikan diri mengetuk kamar pimpinan pondok Amran Mahmud untuk melakukan pengakuan kesalahan. Untunglah Amran Mahmud bisa bersifat bijak. Nyawa tiga santrinya bukan taruhan sebuah jabatan, nyawa tiga santri jauh lebih berharga dari segalanya. “Kita lakukan pencarian sebelum lapor polisi.”
Pencarian siang hari tidak membuahkan hasil. Amran Mahmud memutuskan untuk melakukan pencarian di malam hari. Rutenya dimulai dari awal lagi yaitu dari rumah Amirul. Jenal Amin makin bersemangat namun aku tidak. Aku merasa capai. Aku dipaksa mengingat jalan yang aku sendiri tidak sanggup merabanya. Namun kedua orang ini begitu menjadikan aku sebagai kompas arah pencarian.
“Diamana tas kamu direbut orang? Coba ingat lagi.” Jenal Amin selalu berusaha memberi gambaran bagaimana aku bisa mengingat suatu petunjuk.
“Pedagang kaki lima penolongmu itu berjualan di sebelah mana?” sekali lagi dia melontarkan sesuatu yang membuat aku semakin pusing.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ya .. malam itu sebelum kami hilang, kami berkumpul di balkon lantai tiga rumah Amirul. Dan malam itu… masya Allah…. ‘bintang! Teori sebelas bintang.’ Sebelas bintang yang kami lihat malam itu. Sebelas bintang pembawa keberuntungan. Mungkinkah ke sebelas bintang itu yang pernah hadir dan bersujud dalam mimpi nabi Yusuf? Ke sebelas bintang sebagai penta’biran bahwa nabi Yusuf putra Yakubkelak menjadi seorang raja Mesir?
“Wahai bapakku, aku bermimpi melihat sebelas bintang bulan dan matahari semuanya bersujud kepadaku.”
Orangtua siapapun akan bergetar begitu mendengar seorang anaknya mengutarakan hal seperti itu.
Nabi Yakub, bukanlah seorang bapak yang pilih kasih, sehingga dia lebih menyayangi Yusuf dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain. Akan tetapi sebagai seorang nabi dia melihat dengan jelas bahwa terdapat tanda-tanda dalam diri anaknya Yusuf akan dianugerahi gelar ‘kenabian dan rasul’ dari Allah SWT.
“Wahai anakku janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu yang lain. Karena sesungguhnya mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata.”
Kata-kata nabi Yakub itu mencerminkan bahwa siapapun yang mendengar mimpi tentang sebelas bintang, bulan dan matahari yang sujud, maka orang yang memimpikan hal itu adalah orang pilihan dan sangat beruntung. Tidak diperlukan seorang ahli mimpi untuk menerjemahkan arti mimpi seperti itu. Jadilah mimpi itu sebagai rahasia mereka berdua. Yang kelak Yakub diberi penderitaan oleh Allah SWT, dipisahkan dengan anak tercintanya Yusuf, dibutakan matanya, dan anaknya yang satu lagi Bunyamin ditahan oleh pihak kerajaan karena ‘mencuri sebuah piala’. Namun berkat kesabarannya dan berkat rahasia mimpi anaknya nabi Yusuf membuatnya tegar dan dianugerahi oleh Allah SWT sebuah kisah happy ending.
Siapapun orangnya kan menangis terharu ketika membaca kitab suci al-Qur’an dan sampai di ayat pertemuan nabi Yakub dan anaknya nabi Yusuf yang telah menjadi seorang raja Mesir. Siapapun tidak bisa menyangka seorang anak yang tidak dikenal yang ditemukan di dalam sumur oleh seorang musafir kemudian dijual lalu dipenjara akhirnya menjadi seorang raja.
Kata-kata pertama yang diucapkan nabi Yusuf adalah, “Wahai Ayahandaku, inilah ta’bir mimpi itu.” Luar biasa. Maha suci Allah yang telah menciptakan kisah seperti itu. Luar biasa kata-kata nya yang terangkai dengan sastra yang mengagumkan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Kisah yang paling mengharukan yang pernah ada.
Teori sebelas bintang tiba-tiba hadir begitu saja di benakku. Aku mendongak ke atas, dan aku kembali menemukan sebelas bintang yang berpendar-pendar indah. Aku tidak bisa membaca arah astronomi seperti pelaut yang bisa mengetahui arah utara timur barat dan selatan hanya dengan melihat bintang-bintang di angkasa. Namun teori sebelas bintang meneguhkanku kepada satu pencapaian, bahwa teori sebelas bintang adalah happy ending.
“Ustaz, mari kita pulang. Teman-temanku telah ditemukan.”
Ustaz Amran Mahmud dan Jenal Amin saling berpandangan. Namun demi melihat keyakinan yang terpancar dari raut wajah saya, keduanya pun lalu sepakat untuk menuruti kemauan saya kembali ke pondok.
Belum sempat memasuki gerbang pondok, piket malam sudah berteriak-teriak. “Charya dan Wisnu sudah kembali! Charya dan Wisnu sudah kembali!”
Ya, benar saja. Wisnu diantarsalah seorang yang mengaku pengurus mesjid.
“Ini sebenarnya sebuah ironi. Kemarin di hari jumat pagi kami menemukan anak itu bersama seorang kakek pengurus mesjid yang malang. Entah apa yang terjadi terhadap keduanya. Anak itu kedinginan, pingsan tidak sadarkan diri di dalam mimbar mesjid dengan dahi lebam. Dan sang kakek…. Meninggal di dalam sujudnya.”
Kemudian pengurus itu berpamitan. Amran Mahmud dan Jenal Amin mengucapkan beribu-ribu terima kasih.
Wisnu masih terbaring di ruang pak mantri. Kedua orang tuanya baru saja datang dari kampung. Keduanya malah menyalahakan Wisnu yang berbohong terhadap kakak pembinanya dan pengurus pondok. Walau demikian mereka bersyukur bahwa Wisnu selamat.
Kondisi Wisnu mulai membaik. Aku masuk ke ruangan pak mantri dan mengelus jidatnya yang masih kebiru-biruan. “Kamu tidak melihat pohon kelapa itu ya? Ha.. ha.. ha…” Aku terbahak. Wisnu hanya nyengir.
“Kapan-kapan kita kembali ke sana lagi yuk. Aku mau minum air kelapa langsung dari pohonnya.”
“Ho-oh. Biar aku yang manjat.” Ucapku diiringi suara tawa.
“Biar aku saja.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari ruangan sebelah. Aku melihat ke ruangan itu. Charya??
“Ha ha ha.. Sejak kapan kamu jadi mummi?”
Sekujur tubuh Charya berbalut perban. Pegawai rumah sakit mengantarnya hampir bersamaan dengan kedatangan Wisnu.
“Mereka menyangka aku ditabrak kendaraan. Padahal aku terjatuh berguling-guling di aspal.”
“Nggak apa-apa. Obatnya kan tidak dilihat dari penyebab lukanya. Kalau dilihat dari penyebabnya, mereka bisa-bisa kena malpraktek. Ha ha ha..” Charya terbahak-bahak lagi seolah belum pernah mengalami kejadian mengerikan dalam hidupnya.
Aku juga tertawa. Wisnu yang berada di ruangan sebelah pun ikut tertawa. Kami semua tertawa terbahak-bahak dan secara bersamaan berhenti. Tiba-tiba kami teringat saudara kami yang satu lagi: Kami lalu beramai-ramai menyebut sebuah nama: “Tunas????”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H