Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: #6 Zorro vs Abu Naum

19 September 2014   18:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:13 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ada bermacam-macam jenis piket yang ada di pondok ini; piket asrama, piket harian dan piket malam. Piket asrama adalah piket yang bertugas di asrama. Penunjukan petugas piket di asrama diatur bergiliran sesuai nomor tempat tidur. Piket tersebut bertanggung jawab atas keamanan asrama. Mencatat nama-nama santri yang sakit sekaligus mengambilkan makanan untuk santri yang sakit di dapur. Mencatat nama-nama santri yang pulang sewaktu kegiatan belajar mengajar formal, mencatat nomor-nomor tempat tidur yang ditinggal berantakan oleh pemiliknya, mengamankan pakaian yang dijemur tidak pada tempatnya. Menjadi piket asrama ada kelebihannya, kelebihan menjadi piket asrama adalah dibolehkan untuk tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar formal di kelas, dibolehkan untuk shalat di asrama, dan dibolehkan untuk makan di asrama.

Piket harian adalah piket yang bertugas berjaga di front office. Piket ini diambil dari santri kelas II dan III. Jumlahnya ada 3 orang. Tugasnya adalah menerima tamu, mencatat nama santri yang keluar kampus tanpa izin. Mengumumkan melalui mikrofon nama santri yang kedatangan tamu, mencatat dan menerima surat-surat. Kelebihan menjadi piket harian kurang lebih sama dengan piket asrama, hanya saja ada keuntungan tambahan: Bisa berhubungan dengan tamu, apalagi kalau ada gadis manis yang datang menjenguk kakak atau adiknya di pondok!

Dan yang paling seru adalah piket malam. Piket ini diambil dari kelas IV dan V. tugas nya adalah mengontrol seluruh keamanan pondok di malam hari mulai pukul 22:00 sampai pukul 04 pagi, kemudian membangunkan seluruh santri untuk melasksanakan shalat subuh. Keuntungan menjadi piket malam tentu saja karena begadang, dan boleh tidur setelah melakukan shalat subuh sampai pukul 11:30.

Setelah piket malam berkeliling membangunkan santri untuk shalat subuh dengan cara mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan besi atau alat pemukul lainnya, selanjutnya adalah giliran anggota qismul amni yang berkeliling untuk membangunkan santri yang belum bangun. Yang masih ketahuan berada di atas kasur biasanya langsung ditilang ditempat. Dua nama petugas qismul amni yang paling disegani oleh kami santri kelas I, yaitu ‘sandal terbang’ dan Zorro.

Si ‘sandal terbang’ sudah diceritakan sebelumnya. Dia adalah ‘orang gila’ yang pernah memangsa rambut kawan saya Tunas. Kalau mau difikir-fikir sebenarnya sandal terbang masih jauh lebih gentle dari zorro. Karena sandal terbang masih sempat memberi peringatan terlebih dahulu dengan suara sandalnya yang plak plok itu. Jadi santri masih ada waktu untuk melompat dari tempat tidur sebelum sandal terbang masuk ke dalam asrama. Sedangkan si zorro, santri tidak pernah tahu kapan datangnya kapan perginya. Kedatangannya nyaris tidak bisa terdeteksi. Tiba tiba saja dia berdiri di sisi ranjang, dengan wajah tertutup, dan tanpa ba-bu, terdengar suara ‘Cut-Cut’, Yang terjadi, paha akan bergaris dua merah kehitam-hitaman terkena cambuknya. Santri kelas I pemalas yang sedang bermimpi indah, dijamin akan melompat menyambar peci, sarung dan sajadah di atas lemari dan berlari menuju sumur mengambil air wudhu. Sakit tapi lucu.

Si sandal terbang sudah kita kenali sebagai Anwar dari kelas V. Tapi zorro, sampai saat ini orangnya masih misterius. Makhluk bertopeng itu tidak berani menampakkan mukanya di depan santri. Sebagian santri menyebutnya Zorro si pengecut. Entah mengapa dia tidak berani menampakkan wajahnya. Apakah karena cara membangunkannya yang biadab itu sehingga dia sendiri malu terhadap dirinya? Atau kah dia memakai penutup muka karena memang sudah menjadi ciri khasnya?

“Kita jebak saja orang itu.” Majid meringis sambil mengusap-usap pahanya yang bergaris merah. “Kalau dihitung-hitung sudah lebih 50 kali Aku dicambuknya.”

Majid menengok kiri kanan. Suasana mesjid mulai sepi. Hari itu hari Jumat pagi, jadi tidak ada kegiatan belajar bahasa subuh itu. Santri-santri lebih memilih lari pagi atau olah raga lainnya. Sebagian memilih membaca buku di asrama masing-masing. Dan yang pemalas menuntaskan mimpinya yang tertunda di atas kasur.

“Ada yang punya usul?” Majid memandangi kami satu-satu. Wajahnya memelas meminta belas kasihan.

Iwan. Ari, Tunas, Ridwan, Alan dan aku menggeleng.

“Tidak punya usul atau tidak punya nyali?” Majid kembali memandang kami. Kali ini pandangannya sedikit memprovokasi dengan mata membelalak.

“Itu urusan Kamu Jid.” Iwan nampak tidak peduli dengan ide ‘penjebakan’ Zorro. “Lagipula tidak ada gunanya. Si Zorro mau bertopeng kek, tidak bertopeng kek, tetap saja paha kita merah-merah dibuatnya.”

“Wah-wah, rasa solidaritas kawan kita satu ini patut dipertanyakan. Kalau tabiat Zorro dibiarkan, kapan kita bisa tidur dengan nyaman. Selama ini jarang Kita mengalami yang namanya tidur pulas. Kita selalu saja dibuat was-was olehnya.” Majid mengepalkan tinjunya.

“Setiap subuh kamu tidak langsung bangun pada kesempatan pertama dan kedua. Kamu sendiri yang meminta dibangunkan pada kesempatan terakhir.” Iwan blak-blakan menohok Majid. “Piket malam membangunkan kita pada kesempatan pertama, pembina asrama membangunkan kita pada kesempatan kedua. Sebenarnya kamu sendiri yang menunggu kedatangan Sandal Terbang atau Zorro pada kesempatan Ketiga.”

“Mau kesempatan ketiga, keempat dan seterusnya, yang jelas paha Saya sudah mulai bernanah. Lihat ini.” Majid menyingkap sarung nya.

Iwan, Ari, Tunas, Ridwan, Alan dan aku terkesima. Sebuah pemandangan mengerikan menyeruak dari balik sarung Majid. Paha itu merah, berair, dan nanah keluar di atas lukanya yangmulai mengering. Ya.. Tuhan sungguh kuat dia menahan luka itu. Sungguh kuat dia berlari menyambar sarung, peci dan sajadah dan terbang ke sumur. Sungguh kuat dia ruku sujud dan duduk dengan luka nanah di pahanya.

Majid memang terkenal santri yang paling tidak tahan dengan godaan kantuk. Bahkan pada waktu bubaran sekolah formal pun dia sering pulang belakangan karena ketiduran sambil duduk di atas kursi sekolah. Meski dia tetap mengikuti acara istaid, qiyaman, salaman, assalamu alaikum, sebelum bubar sekolah, namun setelah itu, dia bisa tetap terduduk di atas kursinya yang tidak empuk melanjutkan tidurnya. Sungguh suatu hobbi yang sangat merugikan si empunya mata.Kalau sudah begitu, berbagai macam hukuman menanti dirinya di qismul amni.

Kami ber-enam menyesal. Kami ber-enam subuh itu mewakili penghuni asrama Ibnu Khaldun II lainnya sangat menyesal dan prihatin dengan apa yang dialami Majid. Memang benar Majid terkenal santri yang paling susah dibangunkan. Mungkin gempa bumi 9 skala ritcher sekalipun hanya bisa membuka sebelah mata Majid. Dan itu menjadi lelucon pembuka hari bagi penghuni asrama Ibnu Khaldun II, jika mendengar suara cambuk dan sedetik kemudian sekelebat bayangan melintas dengan sarung di sebelah kanan, dan peci di sebelah kiri. Itu pasti seorang Majid.

Mulai saat ini, kami berjanji tidak akan tertawa terbahak-bahak lagi dengan lelucon pembuka pagi dengan Majid dan Zorro atau sandal terbang sebagai pemeran utamanya. Mulai saat ini tidak akan ada Majid lagi yang terengah-engah berusaha mengatur nafas dan mencoba menenangkan diri di sumur sebelum mengambil air wudhu.

Dan subuh menjelang pagi ini, Kami ber-enam menjadi saksi akibat dari rasa kantuk berat yang tidak bisa ditolerir itu.

“Majid, kamu tidak merasakan sakit sedikitpun dengan luka seperti itu? Mengapa kamu tidak terpincang-pincang, mengapa kamu tidak ngesot untuk bisa mencapai mesjid ini? Mengapa kamu tetap bisa shalat dengan gerakan tumakninah?”

Ridwan mulai prihatin.

“Rasa takut Akhiy. Rasa takut yang bisa membuat kita menjadi kuat.”

Majid menutup kembali pahanya dengan sarung.

Ironis memang, rasa takut yang Majid alami saat itu karena takut kena cambuk Zorro atau tertelan sandal terbang. Bukannya lari terbirit-birit ke Mesjid karena takut kepada Tuhan yang menciptakan. Ini memang baru permulaan.Suatu pelajaran memiliki rasa takut bahwa sebab hukuman itu ada jika kita lalai akan sesuatu.. Sayangnya waktu itu kami masih belajar untuk mengatasi rasa takut. Dan diskusipun berlanjut. Kali ini lebih panas dari sebelumnya.

“So, every body has an idea?” Tanya Majid.

“Ide pertama adalah, Kamu harus memerikasakan luka itu ke Pak Mantri. Kalau infeksi bisa berbahaya.” Ucapku membuka kebisuan.

“Next! I want a hot idea.”

“Kalau tidur, sebaiknya kamu membebat pahamu dengan kain berbahan flannel atau semacamnya yang lebih tebal dari itu. Supaya Kamu tidak merasakan sakit jika terkena cambukan Zorro.” Usul Iwan selanjutnya

“Yang lainnya?”

“Mmhh… Tidak ada usul lain selain kamu harus bangun lebih cepat sebelum Zorro datang.” Ari mengajukan usul yang menurut Majid dan yang lainnya sangat klise dan mengada-ada. Tidak mungkin.

Gelar Abu Naum (tukang tidur) yang disandang Majid sudah cukup merefleksikan bahwa dirinya tidak mungkin sanggup bangun mendahului Zorro. Tapi semua pasti yakin kalau Majid sanggup berlari tiga kali lebih cepat dari Zorro meski luka menempel dipahanya.

“Kawan-kawan, ada ide yang lebih kreatif? Setidak-tidaknya ide yang bisa mencegah kebiadaban Zorro terhadap aku, kepada kalian dan kepada kawan-kawan kita lainnya setiap subuh.”

“Kita harus bisa melepas kupluk yang menutupi wajahnya, supaya kita tahu siapa wajah di dalamnya.” Kali ini Alan mulai berani melontarkan sebuah ide yang dianggap Majid sangat brillian. Adrenalinnya meninggi, dan dengan mata bersinar-sinar ia terus menatapi Alan seolah Alan adalah cintanya pada pandangan pertama menunggu Alan mengeluarkan ide yanglebih cemerlang.

“Kita sembunyi dibalik pintu, begitu Zorro masuk, kita pegang beramai-ramai, dan salah seorang di antara kita membuka kupluknya.” Kata Alan selanjutnya.

Semua yang ada di Mesjid itu yang semula bersemangat, kembali ciut. Ide untuk mengetahui wajah di balik kupluk itu sangat brillian, tapi caranya konvensional sekali. Karena hal itu sama saja dengan bunuh diri.

“Kalau caranya seperti itu, sebaiknya aku tidak ikut-ikutan.” Iwan mulai berdiri, tapi terlanjur ditarik oleh Ari. Dan Iwan pun duduk kembali.

“Kawan-kawan, Aku ada cara.” Ari menjentikkan jarinya.

“Pertama-tama kita harus mengukur tinggi Zorro. Setelah mengetahui tingginya, di malam hari kita bentangkan kawat jemuran di atas jembatan bambu dengan posisi melintang. Kalau tinggi Zorro 159 senti, maka kawat itu kita pasang setinggi 160 senti lalu kita kaitkan kawat-kawat kecil seperti mata pancing yang mengarah ke asrama. Dan… jika Zorro berlari mengejar Majid, kupluknya akan tersangkut di salah satu kawat yang menyerupai mata pancing itu. Dan… kupluknya terlepas!”

“Itu sangat berbahaya Ri. Bagaimana kalau mata pancing itu mengenai matanya?” Iwan nampak tidak setuju dengan ide itu.

“Olehnya itu, Kita harus mengukur tinggi Zorro dengan tepat. Tidak boleh salah.”

“Kawatnya berwarna hitam, di Subuh hari , Saya yakin kawat itu tidak mungkin bisa terlihat oleh Zorro.” Mata Ari berbinar-binar, dia sangat yakin dengan ide yang dilontarkannya bisa menyenangkan Majid.

Tapi Majid menggeleng-geleng. “Itu artinya Saya akan jadi umpan dan berlari di kejar Zorro? Oh tidak. Zorro pasti bisa langsung menebak bahwa sayalah yang memasangkawat itu. Lagi pula di subuh hari, setelah kupluknya terbuka, Kita juga tidak bisa mengenali wajah asli Zorro di kegelapan.

Ridwan yang selama ini diam saja, tiba-tiba berkata, “Hai kawan…. Saya punya cara yang lebih jempolan.!”

“Apa itu?” Majid kembali bersemangat.

“Wira kan punya peliharaan ular besar kesayangan di rumahnya. Bagaimana kalau kita pinjam ular itu semalam saja. Di subuh hari, kita harus bangun lebih cepat dan mengosongkan asrama. Lantas ular itu kita tidurkan di atas ranjang Majid. Begitu Zorro datang mengontrol, dia akan melihat ular itu dan dia pasti akan shock, berteriak dan berlari sekuat tenaga . Akibat paling buruknya, si Zorro pingsan di tempat.

“Thanks Rid. Idemu luar biasa. Tapi ularnya jangan di taruh di tempat tidur saya dong!”

“Lha memangnya mau ditaruh di mana lagi? Bukankah setiap melakukan pengontrolan, Zorro langsung menuju ke tempat tidurmu?

“Ya… sudah deh. Usul ditolak! Terus terang saja kawan, saya lebih takut sama ular daripada Zorro.”

Tak terasa matahari sudah mulai tinggi, sementara diskusi di dalam mesjid itu makin panas dan belum menemukan kata sepakat. Jam kerja bakti sebentar lagi dimulai. Mereka harus buru-buru kembali ke asrama dan menghadiri acara kerja bakti. Jika absen dalam kerja bakti, dan nama mereka tidak terdaftar dalam santri yang ijin pulang, qismul amni akan menanti mereka di Sabtu malam.

Ketika mereka berenam bergerombol keluar Mesjid, tiba-tiba mereka terhenyak, karena salah seorang santri kelas V sedang tidur-tiduran di dekat pintu keluar mesjid. Dia adalah si sandal terbang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun