Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: #7 Tamu Misterius

23 September 2014   14:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dear Officer Faruq

Port of Hebron U.S.

“Surat buat bapak.”

Itu yang selalu digumamkannya setiap kali melipat lembar demi lembar torehan garis tangannya di atas kertas panjang. Selalu dan selalu. Yazman tidak pernah lupa berkirim surat setiap tanggal 1 setiap bulannya. Berharap Bapaknya yang bekerja di kapal cargo suatu ketika singgah di pelabuhan Hebron dan menemukan suratnya. Yang dia tahu bahwa Bapaknya bekerja di kapal cargo itu dan setiap akhir bulan biasanya kapal cargo dimana Bapaknya bekerja merapat di pelabuhan Hebron. Yang juga dia tahu hanyalah berkirim dan berkirim surat. Dia tidak peduli apakah surat itu sampai di tangan Bapaknya atau dicampakkan pegawai kantor pos dan mungkin malah dibuang oleh petugas pelabuhan ke laut.

Yazman merindukan Bapaknya sama dengan kami lainnya merindukan bapak kami. Kedatangan Tamu pembesuk entah itu Bapak, Ibu, Nenek, Om, Tante, Saudara merupakan berita gembira bagi para santri. Tapi Yazman tidak pernah bermimpi dibesuk Bapaknya. Sebab dia tahu Bapaknya tidak pernah memikirkan hal-hal sepele macam itu. Bapaknya hanya memikirkan hal-hal penting semacam jadwal keberangkatan kapal, pelabuhan mana yang dituju berikutnya, bagaimana kondisi mesin kapal, dan segala tetek bengek yang tidak menyangkut soal dirinya di pondok saat ini.

Ibu kandung Yazman seorang pegawai pajak di Jakarta. Dia sudah menikah lagi dengan lelaki pilihannya yang juga seorang duda. Sedangkan Yazman dikirim ke pondok dengan harapan Yazman menemukan dunia yang baru dan tidak melulu mempertanyakan soal Bapaknya yang sudah menjadi seorang pelaut yang tidak pernah sekalipun mengambil cuti untuk bertemu dengan istri maupun anaknya di Jakarta.

Akhirnya Ibunya memilih kawin lagi, sedangkan Yazman yang tidak pernah bosan mempertanyakan keberadaan Bapaknya dikirim jauh-jauh ke pondok supaya bisa melupkan Bapaknya.

Pagi itu, Sabtu sekitar sepuluh menit menjelang upacara bendera, Yazman dipanggil menghadap ke kantor pimpinan pondok. Dua orang piket harian dengan selempang warna hijau kuning mengiringi langkahnya. Pasti ada berita penting pagi ini. Begitu pikirnya. Jam yang terlalu dini untuk sebuah urusan pelajaran. Yazman tidak berusaha mempercepat langkahnya. Ia terus berusaha menebak berita atau kejadian apa yang bakal ditemuinya?

“Masuk!” Suara sambutan yang tanpa basa basi mengurungkan tangannya yang hendak mengetuk pintu yang terbuat dari kaca berwarna gelap. Amran Mahmud pimpinan pondok membuka pintu ruangan itu mempersilahkannya masuk.

Di dalam ruangan itu Amran Mahmud tidak sendirian. Bersama Amran Mahmud seorang pria paruh baya memakai topi berkacamata hitam sedang duduk di kursi tepat di depan meja kerja Amran Mahmud. Begitu pintu di buka, Tiba-tiba laki-laki itu berdiri. Pandangannya mengarah ke Yazman.

“Yazman Faruq?”

“Saya Yazman Faruq!”

“Oh, Alhamdulillah. Kenalkan, nama saya Johan Ali. Saya mendapat amanah dari seseorang untuk menyampiakan ini kepada Nanda.” Johan Ali mengeluarkan sebuah amplop tebal dan menyerahkannya kepadaYazman.

“Saya tidak bisa berlama-lama karena saya harus secepatnya menuju bandara.” Johan Ali mengusap kepala Yazman dan segera berpamitan kepada Amran Mahmud.

Lelaki misterius itu kemudian melesat dengan taxi yang dari tadi menunggunya di halaman depan pondok. Dia berlalu begitu saja seperti kurir yang sudah memastikan bahwa paket nya sudah jatuh pada orang yang tepat.

Yazman masih berdiri terpaku. Peristiwa pagi yang berjalan tidak lebih dari dua menit membuatnya takjub untuk beberapa saat. Johan Ali, seseorang, amplop. Kombinasi pagi yang meninggalkan beribu tanda tanya.

Yazman mengucapkan terima kasih kepada Amran Mahmud. Tapi kali ini ucapan terima kasih Yazman tidak dijawab begitu saja dengan ucapan ‘kembali’ dari mulut Amran Mahmud.

“Setelah hari ini, Kamu tidak diperkenankan kembali menerima tamu selain jam besuk.” Begitu teguran yang Yazman peroleh pagi itu.

Tapi Yazman tidak pernah peduli. Karena dia tahu mungkinlah ini kunjungan tamu baginya yangpertama dan sekaligus terakhir. Dia tidak pernah bermimpi dikunjungi seseorang sama seperti santri-santri lainnya yang rutin dibesuk keluarganya.

Kedatangan tamu pembesuk identik dengan buah tangan berupa makanan seperti kue-kue basah maupun kering, biskuit, buah-buahan, dan bisa juga berupa teman nasi semisal abon, ikan asin, telur asin, mie instan dan lain-lain sebagainya. Dan serunya adalah di situ. Di pondok ada semacam aturan tidak tertulis bahwa makanan yang kamu punya adalah makanan yang aku punya. Makanan yang aku punya adalah makanan yang kamu punya. Praktis tidak ada makanan yang bisa tersimpan di dalam lemari. Begitu tamu pulang, kawan-kawan asrama sudah menunggu di belakang pintu asrama. Yang terjadi selanjutnya adalah semacam huru-hara memperebutkan makanan tersebut. Istilahnya adalah ‘rampasan’.

Jika makanan itu berupa biskuit, maka hanya dalam hitungan detik biskuit tersebut akan bereinkarnasi kembali menjadi tepung. Tidak heran jika kadang buah tangan tersebut tidak bisa dinikmati dengan cara dimakan. Mereka justru menikmati proses perebutannya.

Pertama kali kedatangan tamu, saya belum mengerti ada tradisi semacam itu. Ibuku yang datang membesuk dari kampung datang membawa kue yang dimasukkan dalam kaleng biskuit berbentuk kubus, kue hasil buah tangan Ibu, dan setandan pisang burung. Begitu Ibu pulang, saya berjalan menuju asrama dengan kaleng di tangan kanan dan pisang di tangan kiri. Begitu melewati asrama pertama, segerombolan anak kelas IV yang sedang duduk-duduk di depan asrama tiba-tiba berlari menyerbu ke arahku. Dalam sekejap pisang yang aku bawa tandas menyisakan tandannya.

Sesampai di asrama aku menangis sejadi-jadinya. Di tangan kiriku masih tergantung tandan pisang yang aku bawa. Sementara kaleng yang berada di tangan kananku sudah beradadi tengah-tengah asrama. Seperti sedang kesurupan kawan-kawan yang lain berlompatan dari ranjangnya memperebutkan kue yang dibawa ibuku. Suasana menjadi kacau balau. Karena orang yang berhasil mendapatkan tiga atau empat biji kue belum tentu bisa selamat sejahtera. Dia akan terus diuber sampai kue yang ada di tangannya berhasil direbut kembali atau kue tersebut telah berubah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk.

Hampir selalu buah tangan yang dibawa oleh para tamu akan menyusahkan piket asrama. Karena setelah peristiwa ‘rampasan’ selesai, keadaan kamar asrama berubah menjadi kotor. Bekas-bekas kue ‘rampasan’ berserakan dimana-mana. Jika tidak lekas dibersihkan semut-semut pasti akan berdatangan. Jika di dalam kamar asrama ditemukan seekor semut saja, maka piket asrama biasanya dipanggil oleh Pembina asrama untuk dimintai pertangung jawabannya.

Pagi itu upacara bendera yang rutin dilakukan setiap Sabtu pagi belum dimulai, Yazman berjalan memasuki kelas. Amplop di saku celananya menggembung. Yazman berusaha menebak-nebak isi amplop itu. Mungkinkah isinya surat balasan dari Bapak? Waw… Tiba-tiba Yazman jadi bergairah. Dia segera berlari menuju kursi kelas di sudut paling belakang. Jari-jari tangannya gemetar ketika menyentuh amplop itu. Diperhatikannya amplop itu. Polos. Tidak ada tulisan sama sekali. Lalu perlahan-lahan Yazman menyobek ujung amplop tersebut. Ketika dia menarik isinya, matanya terbelalak. Seketika jantungnya berdegup kencang. Berlembar-lembar US dollar!!!

Di dalam amplop tersebut tidak ada isi apa-apa lagi selain dollar tersebut. Yazman telah berusaha mencari-cari suatu tulisan atau catatan berupa pesan singkat atau semacamnya. Tapi nihil. Lantas dari siapa dollar ini? Yazman tersadar, ia mengingat Johan Ali. Hanya Johan Ali yang bisa menjelaskan asal muasal dollar ini. Ia berlari keluar kelas, namun ia sadar usahanya akan sia-sia belaka. Johan Ali sudah melesat dengan taxinya. Atau mungkin saja saat ini Johan Ali sudah berada di atas pesawat yang akan menerbangkannya entah ke benua mana di belahan bumi ini.

Yazman akhirnya berkesimpulan bahwa dollar-dollar itu pemberian Bapaknya. Tapi mengapa Bapak tidak menuliskan pesan barang segaris?Sungguh tega Bapak itu. Bapak tidak mengerti bahwa dirinya lebih membutuhkan selembar surat berisi ucapan-ucapan tentang kabar Bapaknya, pesan atau sapaan dari pada dollar-dollar yang hanya diam membisu ini. Yazman lebih mengharapkan ada komunikasi antara dia dengan Bapaknya. Titik.

Di malam hari Yazman tidak sanggup memejamkan mata. Anak itu terus menggenggam amplop kosong dari bapaknya. Dollar nya sudah dititipkan ke Ustaz Asnawi bendahara pondok. Ustaz Asnawi adalah guru Tafsir yang merangkap sebagai kasir. Kepada beliaulah santri-santri setiap bulannya menyetor pembayaran uang SPP berjumlah 37.500,00 rupiah. Uang tersebut sudah termasuk biaya kurikulum, pondokan dan biaya makan sehari-hari.

Akhirnya dengan bercucuran air mata Yazman mengambil selembar kertas kosong. Mulailah ia menulis surat untuk kesekian kalinya kepada Bapaknya.

“Surat buat Bapak” Gumamnya. Besok pagi sopir Kijang Suki yang sehari-hari bertugas mengantarkan kepala dapur untuk berbelanja ke pasar Terong, pasti dengan senang hati menerima titipan surat itu untuk diposkan ke kota. Karena uang tip yang biasa diberikan Yazman cukup baginya untuk mengajak Salmawati pacarnya yang sehari-hari bertugas di dapur menikmati malam Minggu di bioskop kecamatan.

Itu adalah sekelumit cerita tentang Yazman kawanku yang beralamat di Ibnu Khaldun II ranjang no. 21. Tepat di sebelah ranjangku yang bernomor 22 berada di tingkat atas. Kami jarang berkomunikasi. Karena waktu Yazman banyak tersita di malam hari hanya untuk menulis dan menulis surat kepada bapaknya yang entah berada dimana. Suratnya ditulis mulaitanggal 2 sampai akhir bulan. Dan tepat di tanggal 1 surat yang sudah menyerupai lembaran surat kabar itu sudah tersampul rapi dengan amplop besar berukuran A4 berwarna coklat kemudian dititipkan ke sopir yang setiap pagi berangkat ke pasar.

Yazman begitu rindu kepada Bapaknya. Di belakang pintu lemari pakaiannya sebuah foto Bapaknya yang sedang menggendong dirinya ketika berumur 4 tahun sedang tersenyum ceria. Pria itu berkumis dengan rambut lurus berponi. Foto itu satu-satunya foto Bapaknya yang dia miliki. Karena foto-foto lainnya telah dimusnahkan oleh Ibunya.

Ibu Yazman salah duga, perempuan itu berfikir, jikalau Yazman bersekolah di pondok dan jauh dari dirinya, Yazman bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Bapaknya. Tapi kenyataan berkata lain. Yazman semakin getol mempertanyakan Bapaknya. Dia semakin terobsesi dengan Bapaknya. Segala sesuatu selalu dikait-kaitkan dengan Bapaknya.

Kiriman dollar pagi tadi semakin jelas bahwa bapaknya nun jauh disana ada berada. Mungkin bapaknya terlalu sibuk sehingga untuk menulis segaris kata saja sebagai pesan buat dirinya tidaklah sempat beliau lakukan.

Malam itu jam 12 malam. Yazman belum juga tidur. Dia terus saja menggenggam amplop kosong pemberian Johan Ali. Dia berkeyakinan bahwa amplop itu sebelum dipegang Johan Ali telah dipegang oleh bapaknya. Dia merasa dekat sekali dengan bapaknya. Amplop itu adalah refleksi dari genggaman bapaknya. Kemudian dia tertidur bermimpi tangannya sedang bergenggaman dengan bapaknya. Bermimpi kepalanya sedang dielus oleh tangan bapaknya.

Aku penasaran tiada terkira, apa sebenarnya isi surat panjang yang setiap malam ditulis Yazman. Sebab daftar harga sayur mayur di pasar induk seantero nusantara yang biasa dibacakan penyiar RRI dari radio milik kak Usman belum tentu sepanjang itu. Kabar apa yang Yazman beritakan untuk Bapak tak jelas itu? Ah! Ini gila, aku pernah menemukan surat cinta yang tercecer di jalan, dan isinya tidak sepanjang yang Yazman tulis buat bapaknya. Bahkan ternyata surat cinta itu singkat sekali. Isinya tak lebih tentang kata-kata dusta yang tak penting.

Demi menuntaskan rasa penasaran yang kian hari nyaris menularkan gila Yazman kepadaku, aku berinisiatif untuk cari tahu apa isi surat panjang itu. Tanggal 27 Menjelang akhir bulan Yazman nyaris menuntaskan suratnya. Hari ke 27 adalah saat yang tepat untuk mencuri surat itu dari bawah bantal Yazman. Jika surat itu aku curi, kira-kira apa yang terjadi terhadap Yazman? Mungkinkah ia bakal menjelma menjadi orang gila muda? Apakah jika akhirnya dia tahu aku yang mencurinya dia akan membunuhku? Biasanya jika seseorang tidak pernah mengganggu urusanmu kemudian urusannya diganggu akibatnya bisa fatal. Ia bakal kehilangan kontrol dan melakukan suatu pembalasan lengkap dengan bunganya. Aku tak peduli, yang jelas sebagai teman aku ingin membantunya lepas dari kebiasaan tidak normal. Hem, Ini hanyalah sebuah alasan untuk menuntaskan rasa penasaran.

Maka tepat pada tanggal 27 ketika istirahat pelajaran, aku kembali ke asrama. Terlebih dahulu aku menulis namaku di atas buku piket asrama dan di kolom alasan, aku menulis bahwa aku ketinggalan PR mengarang untuk pelajaran bahasa Indonesia. Dengan sekali pijakan dan hentakan, aku kini berada di atas ranjang Yazman. Aku sambar berlembar-lembar kertas surat dari balik bantalnya. Aku segera melompat turun dan memasukkan kertas-kertas itu kedalam diktat dan berlari meninggalkan asrama.

Tiba-tiba sebuah teriakan menghentikan laju lariku. Aku berhenti, tersadar bahwa aku baru saja melakukan suatu tindakan kriminal, seseorang memergoki perbuatan tercelaku, Ah, dasar sial! Aku mengutuk diriku sendiri, rasa penasaran telah membutakan hatiku. Sungguh bodoh. Aku membayangkan dampak perbuatanku. Pencurian adalah pelanggaran yang tidak bisa ditolerir, kepergok maka akan dihakimi secara massa, terbukti, maka akan dipecat. Dan sungguh, aku tak ingat bahwa ada Tuhan yang maha tahu dan menyaksikan perbuatanku.

“Sayid, kembali ke sini!” Piket asrama memanggilku. Degup jantungku tiba-tiba terasa bertalu-talu, ah malam takbiran masih lama, namun bedug di dadaku menghentak-hentak ada yang menabuh. Apa boleh buat, aku harus menanggung resiko perbuatan memalukan ini. Jika piket asrama melaporkan hali ini kepada kakak pembina, Yazman akan murka kepadaku, ia akan mencap aku sebagaikawan yang pengecut tak bermoral. Membaca rahasia pribadi orang lain adalah tindakan jahat yang bisa memutuskan silaturrahmi.

Piket asrama menghampiriku, “Sayid, Sayid, meski kamu terburu-buru namun kewajiban kamu untuk menulis jam keluar di buku piket jangan dilupakan.” Piket asrama itu mengarahkan telunjuknya supaya aku kembali ke meja piket dan menulis jam kembali ke kelas.

Ah, benar saja! Ternyata malam takbiran memang masih lama. Tiba-tiba bedug itu kini berhenti ditalu. “Oh Iya, Nur. Maaf lupa! He he he.” Dengan senang hati aku kembali ke meja piket dan menulis jam keluar asrama. Namun ketika aku hendak bergegas, piket itu kembali memanggil. Ya Tuhan, apakah malam takbiran itu benar-benar telah tiba? Dan kali ini tabuhan bedug jauh lebih dahsyat dari sebelumnya, karena piket itu menunjuk ke diktat yang aku pegang dengan pandangan penuh selidik.

“Ada apa di dalam diktat itu?” selidiknya tanpa perikemanusiaan. Piket ini dua kali nyaris mencopot jantung di dalam dadaku. Nur Asapah! Makhluk putih kurus berambut runcing memicing-micingkan matanya, menaik turunkan alisnya. Aku terpojok.

Nur Asapah, warga Ibnu Khaldun III. Ia termasuk santri yang kurang disukai santri-santri yang lain. Terutama jika ia mendapat giliran menjadi piket asrama. Nur salah seorang piket yang tak memiliki hati dan perasaan. Jika ia sedang bertugas piket dan menemukan jemuran yang tidak pada tempatnya, maka ia mencatat nama pemilik jemuran dan membuang jemuran itu ke rawa-rawa. Santri yang dibencinya (piket yang juga pernah mencatat namanya sebagai pelanggar disiplin) tapi tidak melakukan pelanggaran selama Nur Asapah menjadi piket, maka ia akan mengacak-acak seprei yang bersangkutan dan mencatat nama pemilik seprei. Santri yang ketinggalan kunci lemari, maka ia patahkan kuci itu dan dilemparkan ke luar jendela. Praktis jika ia yang menjadi piket harian, maka malam harinya deretan nama-nama santri pelanggar disiplin sudah ia serahkan ke pembina asrama. Dan kali ini, ia memergoki seorang pencuri. Aku.

“Saya tahu apa isi di dalam diktat itu. Dan saya tidak canggung-canggung melaporkanmu kepada kakak Pembina. Kecuali…..”

“Kecuali apa Nur, Ayo kecuali apa?” Tiba-tiba aku menjadi senang, karena ternyata Nur Asapah adalah salah seorang generasi bangsa yang masih memegang teguh prinsip-prinsip warisan leluhurnya. Flexibel dan ‘itu bisa diatur’. Hik! Mengharukan. Penerus generasi yang baik.

“Kecuali jika kamu dengan senang hati mau membagikan jatah makanan dagingmu kepadaku setiap hari Rabu selama dua bulan berturut-turut.”

“Apa? Jatah daging?” Sepertinya Nur Asapah tahu kalau aku sangat senang makan daging. Walaupun kerasnya naudzubillah mirip karet. Dia tahu betul kalau hari Rabu adalah hari favoritku. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena menu makan daging ada pada hari Rabu.

“Oke Nur, Aku setuju dengan deal soal bagi-bagi jatah makan itu. Tapi, tapi kalau bisa, jangan menu hari Rabu dong. Bagaimana kalau hari Kamis saja. Telur rebus! Deal?”

Nur Asapah melotot. “Sudah kepergok masih saja menawar!. Dasar tidak tahu diri.” Ia lalu mengambil polpen dari sakunya dan bersiap-siap menuliskan namaku di atas buku pelanggaran.

Tidak ada pilihan lain. Kehilangan menu kesayangan jauh lebih baik bila aku harus dipecat atau dimusuhi Yazman tetangga ranjangku.

“Oke deh Nur! Kamu pemenangnya.”

Nur Asapah tersenyum penuh kemenangan. Dasar manusia licik! Kepalanya mengangguk-angguk berputar-putar merayakannya. Ia berbahagia di atas penderitaanku. Ia kemudian mengepalkan tangannya sambil mencium jari jempolnya memperagakan gaya atlit binaraga memperlihatkan otot-otot kurus di antara ketiak dan sendi sikunya. Menyebalkan!

Ternyata benar, tidak ada kejahatan tanpa resiko. Aku sudah membayangkan betapa tersiksanya diriku di Selasa malam. Dunia kini serasa terbalik. Hari favorit di hari Rabu kini berubah menjadi hari bagaikan berada di dalam Neraka. Sudah bisa kubayangkan, pada hari Rabu, setiap habis shalat dhuhur, Nur Asapah akan memepet langkahku mengiringiku menuju ruangan makan. Dia pasti akan selalu dan selalu duduk di sampingku menyaksikannya dengan suka rela mengungsikan jatah makan dagingku ke atas piring tembaganya. Dan aku hanya makan nasi dengan sambal? Sekali lagi Sungguh menyebalkan!

Dan ia menyendok daging itu ke dalam mulutnya sambil berkata, “Kata orangtua Saya, kalau mau gemuk, banyak-banyaklah Kau makan daging!”

“Iya Nur, Saya tahu.”

Seperti itulah kira-kira hari Rabuku mendatang. Sulit membayangkannya. Kehilangan jatah daging, sekaligus harus makan nasi hanya dengan sambal. Tidak bisa menyalahkan Nur Asapah, itu adalah akibat dari perbuatanku sendiri, mencuri surat orang ‘sakit jiwa’ seperti Yazman.

Hari itu, aku tidak mau rugi. Kehilangan jatah makan daging harus dibayar dengan obat rasa penasaran. Yaitu membaca surat yang ditulis Yazman buat bapaknya. Supaya Yazman tidak membunuhku, maka aku berbaik hati dengan memfoto kopi surat itu di koperasi santri dan mengembalikan aslinya ke tempat semula. Yaitu di bawah bantal Yazman.

Tapi tahukah engkau ya akhiy, akibat dari membaca surat itu. Siapapun membacanya pasti akan bergidik. Aku tak menyangka, jika Yazman benar-benar orang gila. Maka aku ingatkan, beruntunglah kalian yang masih memiliki bapak yang selalu setia berada di samping kalian. Bersyukurlah penuh-penuh bahwa kalian yang masih memiliki bapak sebagai figur panutan, figur tauladan, lelaki pahlawan keluarga selalu ada di saat kalian membutuhkannya. Yazman tetangga ranjang saya adalah salah satu orang yang paling tidak beruntung seberuntung kalian.

Membaca surat (yang aku katakan episode bulan Februari), membuat aku penasaran ingin tahu seperti apa isi surat episode bulan Januari dan bulan-bulan sebelumnya. Kehilangan figur Bapak ternyata melahirkan seorang sastrawan pujangga masa kini. Surat itu betul-betul ditulis dengan hati. Lembar demi lembar aku baca menyentuh sanubariku paling dalam. Bapak macam mana yang tidak tersentuh hatinya membaca kerinduan seorang anaknya yang beranjak remaja. Aku yakin surat-surat yang telah ditulis Yazman tidak sampai ke tangan Bapaknya. Sebab, jika surat itu sampai di dibaca bapaknya yang konon bernama Faruq, saya yakin Faruq akan meloncat dari kapal cargo memutar haluan dan berenang mengarungi lautan demi kembali kepada anaknya.

Surat yang ditulis Yazman lecek orisinal, kumal digenangi air mata, sehingga sebahagian kata-katanya nyaris tidak bisa terbaca. Apalagi setelah difotokopi. Ada tetes darah yang terciprat sebagai luapan emosi tak tertahankan. Darah itu kini berwarna hitam setelah difotokopi. Ah, Yazman saudaraku! Sedemikian hebatnya rasa rindu yang kau punya pada Bapakmu. Ketenanganmu bergaul ternyata berselimut cinta gila kepada figur Bapak.

Yazman. Dia adalah tetangga ranjangku. Aku jarang berkomunikasi dengannya. Sebab aku selalu melihatnya asyik dengan dunianya sendiri, Ia tidak peduli dengan lingkungannya. Ia tidak suka mengganggu orang lain, tidak pernah meminta bantuan orang lain, kecuali meminta bantuan kepada sopir kijang suki untuk mempostkan suratnya ke kota, segala sesuatu selalu dilakukannya sendiri, jika kawan-kawan yang lain tidak segan-segan saling meminjam sesuatu semisal timba, handuk, sarung, kopiah, meminta gula, teh, maka Yazman tidak demikian. Ia selalu mandiri, dia lebih memilih berlari ke koperasi membeli gula daripada meminta kepada kami. Dan jika berkomunikasi dengannya, jawabannya hanya dua, “I don’t know” dan “yes”.

Dan kini aku merasa bersalah karena telah mengkhianati kemandiriannya. Aku telah mencuri tahu isi surat yang ditulisnya kepada Bapaknya. Kawan macam apa aku ini.

Aku berjanji untuk membantunya, membantunya lepas dari bayang-bayang bapaknya. Kuncinya tentu saja Ibunya yang kini berada di Jakarta. Ibunya harus jujur kepada Yazman tentang keadaan bapak Yazman sesungguhnya. Kalau beliau masih ada, maka ibunya harus jujur memberitahukan dimana bapak Yazman kini berada. Jika memang beliau telah tiada, maka ibunya pula harus jujur kepada Yazman dan menunjukkan dimana pusara bapaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun