Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran membawa angin segar dalam upaya penyelesaian perselisihan perjanjian kerja laut (PKL) di Indonesia. Pasal 251 ayat (e) undang-undang tersebut secara tegas memberikan mandat baru kepada Mahkamah Pelayaran untuk melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa PKL. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat dan mempermudah penyelesaian perselisihan yang kerap terjadi antara perusahaan pelayaran dan awak kapal.
Analisis
Namun, implementasi dari amanat undang-undang tersebut masih jauh dari harapan. Hingga saat ini, belum ada peraturan teknis yang secara spesifik mengatur mekanisme mediasi di Mahkamah Pelayaran. Ketidakjelasan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan interpretasi yang berbeda di kalangan praktisi hukum dan pemangku kepentingan lainnya.
Di tengah ketidakjelasan tersebut, muncul Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2024 yang seolah-olah mengesampingkan peran Mahkamah Pelayaran dalam penyelesaian sengketa PKL. Surat edaran ini menyatakan bahwa perselisihan yang timbul dari PKL dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Implikasinya, Mahkamah Pelayaran hanya berperan sebagai tempat mediasi awal, tanpa memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat anjuran seperti yang dilakukan oleh mediator hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan.
Kontradiksi dan Implikasi
Terdapat beberapa kontradiksi dan implikasi dari situasi ini:
- Dualisme Hukum: Adanya dua jalur penyelesaian sengketa PKL, yaitu melalui Mahkamah Pelayaran dan PHI, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan mempersulit para pihak yang bersengketa.
- Ketidakjelasan Mekanisme: Tanpa adanya peraturan teknis, mekanisme mediasi di Mahkamah Pelayaran menjadi tidak jelas. Hal ini dapat menghambat proses mediasi dan memperpanjang durasi penyelesaian sengketa.
- Kelemahan Mahkamah Pelayaran: Mahkamah Pelayaran belum memiliki pengalaman dan sumber daya yang memadai untuk menangani perkara perselisihan hubungan industrial. Akibatnya, kualitas mediasi yang dilakukan di Mahkamah Pelayaran diragukan.
- Pengabaian Hak Pekerja: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2024 seolah-olah mengabaikan hak pekerja untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan sederhana melalui jalur non-Litigasi .
Rekomendasi
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
- Penyusunan Peraturan Teknis: Pemerintah perlu segera menyusun peraturan teknis yang mengatur secara detail mekanisme mediasi di Mahkamah Pelayaran, termasuk prosedur, tata cara, dan jangka waktu penyelesaian.
- Penguatan Kapasitas: Mahkamah Pelayaran perlu dilengkapi dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi mediasi.
- Klarifikasi Kewenangan: Perlu dilakukan klarifikasi terhadap kewenangan Mahkamah Pelayaran dan PHI dalam menangani sengketa PKL.
- Sosialisasi: Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara intensif kepada seluruh pemangku kepentingan mengenai perubahan regulasi dan mekanisme penyelesaian sengketa PKL yang baru.
Kesimpulan
Perubahan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 memberikan harapan baru bagi penyelesaian sengketa PKL di Indonesia. Namun, implementasi dari regulasi tersebut masih menghadapi berbagai tantangan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja maritim terlindungi dan penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara cepat,efisien, efektif, dan berkeadilan.