Di sisi lain, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur:
Hak Cuti:
 Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;( pasal  79 ayat 2 huruf C )
Kompensasi PHK: Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. ( pasal 62 )
Analisis Konflik Norma
Lex Specialis Derogate Legi Generali
Prinsip hukum ini menyatakan bahwa norma yang lebih khusus mengesampingkan norma yang lebih umum. Dalam konteks ini, jika kita mengacu pada azas tersebut, Undang-Undang Pelayaran seharusnya diutamakan karena memberikan ketentuan spesifik bagi awak kapal.
 Namun, ada ketentuan dalam Pasal 337 Undang-Undang Pelayaran yang menyatakan bahwa masalah ketenagakerjaan di bidang pelayaran diatur oleh perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan kebingungan mengenai norma mana yang seharusnya diterapkan.
Implikasi Praktis
Hak Cuti: Perbedaan signifikan dalam hak cuti dapat berakibat pada kesejahteraan awak kapal. Apakah mereka berhak atas 20 hari cuti atau hanya 12 hari menjadi pertanyaan yang harus dijawab dengan jelas.
Kompensasi PHK: Ketidakpastian mengenai kompensasi yang harus diterima awak kapal juga dapat mempengaruhi stabilitas finansial mereka, terutama dalam kondisi sulit seperti kapal tenggelam atau dijual