Dari masa ke masa, di berbagai aspek kehidupan, kaum perempuan sering kali ditempatkan di posisi yang tidak menguntungkan. Padahal pengaruh peranan perempuan di berbagai bidang bukanlah hal yang bisa diremehkan lagi, tidak terkecuali di bidang politik.
Politik dapat didefinisikan sebagai kekuatan, kekuasaan pemerintah, dan pengaturan konflik yang diakui secara nasional serta kekuatan masyarakat. Setiap rakyat punya hak yang sama dalam turut serta mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah dalam mengurus bangsa ini. Namun, sering kali perempuan hanya dijadikan sebagai the second human being (orang kedua), yang mana hal tersebut terjadi karena dominasi laki-laki dalam tatanan kehidupan, sehingga perempuan menjadi terabaikan dan berada di bawah prioritas laki-laki.
Salah satu kendala struktural yang mengakibatkan setiap orang dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama adalah ketidaksetaraan peran yang ada antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang selama ini kurang memperhatikan kebutuhan perempuan pada akhirnya menyebabkan perempuan menjadi korban dari kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan sangatlah diperlukan.
Perjuangan demi perjuangan untuk penguatan politik perempuan agar setara dengan laki-laki pun telah dilakukan, seperti pada Pasal 46 dari Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Bab Spesifik tentang Hak Wanita yang berbunyi;
“Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita yang sesuai persyaratan yang ditentukan”
Selanjutnya, pernyataan PBB mengenai Hak Asasi Manusia, Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita, dan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Meskipun banyak sekali dukungan hukum terhadap hak keterwakilan perempuan dalam politik, lantas mengapa perjuangan perempuan untuk menjemput haknya sering kali di hantui banyak tantangan?
Tantangan itu sudah pasti menjadi penghalang yang signifikan dalam keterlibatan perempuan di dunia politik. Tantangan tersebut di antaranya adalah Budaya Patriarki dan Stereotip Gender di masyarakat kita yang masih sangat kental keberadaannya.
Budaya Patriarki
Sebagai warga negara, perempuan memerlukan perjuangan ekstra untuk bisa masuk ke dunia politik. Pasalnya, sejak lama, perempuan telah tertinggal dari laki-laki karena budaya patriarki yang berkelanjutan. Pengertian patriarki sendiri berasal dari kata "patriarkat", yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, utama, dan segalanya.
Ketidakadilan dan kesenjangan gender yang disebabkan oleh kebudayaan masyarakat yang didominasi oleh sistem patriarki berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia.
Laki-laki mengontrol masyarakat, sementara perempuan hanya memiliki sedikit kontrol atau bahkan tidak memiliki hak atas bidang masyarakat umum seperti ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Perempuan ditempatkan di posisi yang lebih rendah atau subordinat karena hal ini. Budaya patriarki mengurangi dan membatasi peran perempuan, yang membuat mereka terbelenggu dan terdiskriminasi.
Di tengah berbagai gerakan feminisme dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan hak perempuan, mengapa budaya patriarki masih berlanjut. Sebenarnya apa yang harus kita benahi?
Stereotip Gender
Pandangan masyarakat terhadap perempuan yang selalu dianggap tak layak dalam berbagai bidang adalah hal yang memprihatinkan. Meskipun perempuan dapat berpartisipasi dalam bidang politik, ada berbagai alasan mengapa hal itu jarang terjadi.
Faktor utamanya adalah stereotip bahwa dunia politik adalah dunia publik yang keras, kontroversial, dan membutuhkan akal, dan bahwa laki-laki lebih sanggup atas itu semua daripada perempuan. Perempuan sering sekali dianggap tak layak memimpin karena lebih mengedepankan emosi ketimbang rasionalitas. Pandangan tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan gender yang sangat besar.
Terlepas dari Budaya Patriarki dan Stereotip Gender yang masih sangat melekat di masyarakat kita ini, di dalam politik maupun tatanan kehidupan yang lain seharusnya tidak ada namanya perbedaan gender yang menjadi penghalang perempuan untuk berkiprah lebih jauh di dalamnya.
Perempuan harus berdikari dalam memperjuangkan haknya, hal tersebut memang benar, tapi perlu diingat sekali lagi bahwa sangatlah penting adanya dukungan orang terdekat dan kesadaran masyarakat terhadap pemberdayaan perempuan juga menjadi faktor pendukung dalam memperkuat hak politik perempuan, artinya perempuan haruslah memperjuangkan dan diperjuangkan hak politiknya.
Meskipun jalan menuju kesetaraan gender dalam politik penuh dengan tantangan, kemajuan akhir-akhir ini mulai terlihat. Semakin banyak perempuan yang mendapatkan dukungan untuk berpartisipasi dalam politik, semakin besar kemungkinan untuk menghapus kebiasaan patriarki yang menghalangi kemajuan masyarakat.
Melalui kesadaran, pendidikan, dan tindakan nyata untuk menciptakan lingkungan politik yang inklusif, mendorong perempuan untuk berperan aktif, dan mengeksploitasi potensi penuh masyarakat Indonesia, kita dapat merangkul masa depan politik yang lebih dinamis, beragam, dan mencerminkan keberagaman Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Kita harus bersatu untuk mengakhiri era ketidaksetaraan dan membangun Indonesia yang lebih adil. Di mana setiap suara tanpa memandang gender memiliki kekuatan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H