Oleh Stephanus Mulyadi
*** ini tulisan saya tahun 2007 berjudul "Pendidikan bagi kaum muda miskin desa". Kembali saya tayangkan dalam rangka memperingati hari Kartini (kemaren 21 April 2015)
Diskriminasi pendidikan
„Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang terkenal. Surat-surat tersebut dituliskannya kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda. Setelah beliau meninggal kemudian oleh sahabat-sahabatnya surat-surat tersebut dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku tersebut kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya, yaitu diskriminasi untuk memperoleh pendidikan. Setelah lebih dari 100 tahun, tepatnya 111 tahun, RA Kartini meninggal, Indonesia belum mampu memberikan akses pendidikan yang baik bagi seluruh warganya. Di daerah pedalaman masih ada warga yang mengenyam pendidikan hanya sebatas SD. Biaya pendidikan yang begitu tinggi dan kualitas pendidikan yang begitu rendah menjadikan mereka terdiskriminasi. Keinginan untuk bersekolah hanya sebatas impian, karena sekolah yang tinggi dan bagus diyakini hanya milik orang mampu di kota.
Buah diskriminasi pendidikan bagi kaum miskin desa
Cerita tentang kemajuan jaman, di satu sisi, tidak dapat dibendung dengan apapun. Tehnologi yang memanfaatkan sinyal membuat tiada lagi jarak batas desa – kota. Jalan raya boleh tidak ada. Namun figur TV dan Handphone mampu menghadirkan dongengan tentang kemajuan kota dan dunia. Jangan heran kalau di beberapa kebun karet di pedalaman Kalimantan saat ini sudah berseliweran bunyi Ringtone HP. Jangan terpana pula kalau di gubug reyot di pedalaman Kalimantan ada parabolanya. Dunia iklan menawarkan gaya kehidupan hedonis, yang sampai di pedalaman diterjemahkan sebagai kemajuan yang harus dijadikan contoh dan standard kemajuan, sementara realitas tak ditangkap oleh kaum miskin desa. Maju berarti seperti yang diiklankan itu. Akhirnya fisik boleh di desa, tetapi gaya hidup harus seperti di dunia iklan.
Dorongan dunia impian menjadikan kaum muda miskin desa gelisah. Karena kehidupan di desa tidak seperti yang di dunia iklan. Desa tak mampu memberikan apa yang diinginkan, dan pilihan terbaik adalah hijrah ke kota. Mimpi hidup di dunia fantasi menjadikan ribuan kaum muda desa Kalimantan hijrah ke Malaysia atau ke Arab Saudi, tak peduli begitu banyak TKI yang sudah dipenggal di sana. Meninggalkan sejuta potensi alam desa untuk diolah, bagi kaum laki-laki lebih rela menjadi kuli di kebun Kelapa Sawit dan penebang kayu di hutan, atau bagi kaum wanita rela jadi PRT, asal di Malaysia atau Arab Saudi. Semua itu dianggap lebih baik, karena sudah mewakili dunia impian, sudah di Malaysia, entah apapun kerja di sana, entah apapun resikonya.
Perdagangan wanita
Keinginan kaum tidak bersekolah tinggi desa mengejar dunia mimpi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh banyak calo. Entah calo penyalur tenaga kerja atau yang lebih parah calo penyalur wanita. Entikong, di Kalbar, yang seharusnya menjadi gerbang perekonomian antar negara yang diharapkan mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, berubah menjadi gerbang penjualan wanita. Meskipun sudah diketahui korban berjatuhan, namun perdagangan wanita itu tak bisa dibendung. Karena masalahnya bukan hanya terletak pada kemampuan calo merayu, tapi juga ada pada keinginan kaum muda tak bersekolah desa mengejar dunia impian yang diceritakan televisi.
Untuk apa sekolah (formal)? Toh Sarjana juga banyak menyadap karet?
Apakah pendidikan mampu mengatasi semua itu? Tidak seratus persen. Dengan image mengenai pendidikan sebagai jalan untuk memperoleh kerja kantoran, pendidikan tidak akan mampu mengubah situasi kaum miskin desa tersebut. Pendidikan hanya akan menghasilkan pengangguran terdidik yang ujung-ujungnya juga melahirkan problem sosial baru. Oleh karena itu image mengenai pendidikan sebagai “non schole set vitae discimus” harus direvitalisasi. Seiring dengan revitalisasi paham mengenai esensi pendidikan tersebut, kitab tua dari John Amos Comenius yakni Didaktika Magna, Pampeidie, dan juga pemikiran John Henrich Pestalozi mengenai “semua golongan berhak mendapat pendidikan” dan “Mendidik dengan Hati dan Tangan” harus dibuka kembali. Mengapa semua itu penting? Semua itu penting, karena pendidikan membantu pribadi menjadi tahu, mau dan dapat. Berkat pengetahuan pribadi terdidik tahu tentang dunianya dan lingkungannya. Karena dia memiliki pengetahuan dia menjadi mau berbuat sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Keinginan ini ditopang oleh kemampuan dan ketrampilannya untuk mengerjakan apa yang ingin dia lakukan. Karena tahu, mau dan dapat inilah maka pribadi terdidik menjadi bisa mengelola kehidupannya di mana dia berada. Dia menjadi kreatif, dan kreatifitas itu dia realisasikan dalam kehidupan konkrit kini-sini. Dia tidak hidup di dunia impian, dan merasa tak perlu harus ke Malaysia untuk mewujudkan mimpinya. Di sinilah letak pentingnya peran pendidikan bagi kaum muda miskin desa. Pendidikan yang berorientasi pada hidup seperti ini setidaknya mampu menekan jumlah kaum muda miskin desa berhijrah ke kota.