.
Senyummu,
Adalah mata air ribuan puisi,
Sapamu bisikkan angin pagi,
Dan hatimu muara yang belum juga tersinggahi.
.
Suka yang akhirnya berakhir pada cinta,
Kemudian melahirkan anak-anak rindu,
Yang aku tak tahu,
Aku harus menghentikannya dengan cara apa?
.
Yang aku tahu,
Cinta ini setiap harinya terus beranak pinak,
Melahirkan rindu-rindu yang terus mencacau temu akanmu.
.
Bayangkan saja,
Seperti apa gilanya aku,
Jika anak-anak rindu ini kau acuhkan,
Dan tak pernah kau hadiahkan kisah temu.
.
Dimana dia yang memaksa senyum dalam gurat duka?
Mengapa menanti pagi mengobati luka?
Datanglah, disini merayakan senja.
.
Seandainya merasakan kehilangan juga dapat direkayasa,
Pasti akan ada banyak air mata yang tumpah,
Dan senyuman tabah entah bersembunyi dimana,
.
Diatas segala luka yang kita bina,
Secuil haru harusnya Nampak dihatimu,
Betapa besar istana cinta yang pernah kita ciptakan.
.
Setahun berlalu,
Tak lagi kudengar syair merdu pada bibirmu,
Tak lagi kubaca puisi dimatamu,
Pergimu tinggalkan sunyi,
Akulah sepi.
.
Beberapa kata yang hendak kusempurnakan kisahnya,
Kini berhenti disebuah koma,
Saat kenyataan pahit,
Harus tetap kutelan.
.
Kita buntu,
Kita kalut berkalut emosi.
.
Dengan berat hati,
Kita tercerai dengan kesempurnaan sakitnya hati.
.
.
*image weddings.about.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H