Mohon tunggu...
Susy Amanah Intan Permatasari
Susy Amanah Intan Permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga

Prodi ilmu komunikasi 23107030010

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dhungka: Musik Khas Bawean sebagai Bentuk Rasa Syukur akan Hasil Panen

25 Mei 2024   20:23 Diperbarui: 25 Mei 2024   20:26 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diatas merupakan salah satu kesenian yang dimilki oleh Pulau yang dijuluki dengan Pulau Putri, Bawean. Kesenian tersebut Bernama "Dhungka" , dimana masyarakat biasanya memainkan kesenian tersebut sebagai bentuk rasa syukur akan hasil panen yang diperoleh. Sebagian besar profesi yang dimiliki masyarakat Bawean adalah petani, zaman dahulu para petani menggarap lahan pertaniannya menggunakan cara tradisional karena memang keterbatasan alat dalam mengolah padi menjadi beras pada masa itu. Para petani menumbuk padi yang sudah kering di tempat penumbukan padi, mereka menyebutnya dengan nama "ronjhengan", yang mana menggunakan alat yakni lesung dan "ghentong". Dhungka merupakan salah satu kesenian yang diangkat dari kebiasaan perempuan desa saat menumbuk padi ketika panen raya.

Dalam kesenian ini, setidaknya ada delapan orang perempuan yang memegang penumbuk padi. Kemudian, alat itu dipukulkan pada lesung secara bergantian dan menghasilkan nada yang harmonis. Di samping permainan musik, para pemain juga melakukan tari-tarian seirama suara musik dan nyanyian berbahasa Bawean. Dhungka sendiri diketahui berasal dari bunyi dung-dung kah-kah ketika penumbuk memukulkan gentong pada lesung. Awalnya, Dhungka berasal dari kegiatan ibu-ibu ketika menumbuk padi. Ketika dirasa suaranya enak didengar, kemudian ditambah dengan syair-syair dan jadilah Dhungka sebagai wujud kesenian. Konon, Dhungka kemudian diartikan sebagai kesenian sebagai perwujudan rasa syukur akan hasil panen yang didapat oleh para petani. Saat ini Dhungka biasanya ditampilkan dalam acara pengantin, hari besar, dan juga penyambutan tamu.(boyanesia.republika.co.id)

Dulu seni musik Dhungka dimainkan selain saat panen raya juga dimainkan sebagai tanda memulai gotong royong di kampung maupun akan diadakannya pesta pernikahan salah satu warga masyarakat. Atau saat mengawali kegiatan kampung yang bersifat umum dengan nuansa kegembiraan dan kebersamaan. Alunan musik yang khas terdengar ramai dan rampak yang berasal dari suara lesung yang di pukul dan di tutul dengan penumbuk padi, orang bawean menyebutnya gentong, terbuat dari kayu atau bambu. dengan ritme irama berpadu dengan ayunan tangan tangan perempuan desa yang memainkan dengan lincah dan suka ria. Terlihat kompak dan meriah . Suara itulah yang menjadi daya tarik tersendiri.(pikiran rakyat media network)

Uniknya, masing masing kelompok peserta Festival Musik tradisional yang berjumlah sebanyak 10 orang berusaha tampil maksimal menyuguhkan atraksi terbaiknya. Dengan mengenakan busana khas 'Tempoe Doeloe', mereka secara bergantian, memukul lesung dengan alu, sehingga menimbulkan irama yang menghibur penonton dan dewan juri. Selain mengiringi lagu lagu Melayu, para peserta musik tradisional ini, juga mengiringi sholawat dan berpantun ria. Kades Sukaoneng, Abdul Hayyi mengatakan instrumen musik menggunakan alat penumbuk padi, Lesung dan Alu, kini semakin langka akibat tergerus jaman. Padahal, musik Dhungka memiliki nilai-nilai ungkapan syukur, penghormatan terhadap alam dan jiwa kegotong -- royongan."Dahulu setiap ada pesta pernikahan, selalu ada musik dhungka. Sekarang, semakin langka akibat tergerus musik modern yang senakin canggih," ujarnya, Minggu (13/8/2023). Festival Musik Dhungka,lanjutnya, sebagai sarana untuk menggali, mengelola dan mengembangkan seni budaya warisan nenek moyang agar tetap terjaga kelestarianya. "Festival ini, dapat mengedukasi regenerasi muda agar senantiasa menjaga nilai nilai luhur dan melestarikan budaya di Pulau Bawean," tandasnya. Abdul Hayyi menambahkan bertekad menjadikan Festival Dhungka menjadi agenda rutin tahunan untuk merayakan HUT RI. Selain melestarikan seni tradisi warisan nenek moyang, menghibur masyarakat juga menjunjung kekayaan lokal wisdom (kearifan lokal). "Dengan begitu, instrumen musik perkusi menggunakan alat penumbuk padi bisa menjadi warisan budaya tak benda Indonesia," harapnya. Camat Tambak, Pulau Bawean M Nur Symasi mengapresiasi gelaran lomba ini. Sebab, tidak semua desa di Pulau Bawean menggelar lomba budaya ini. "Nanti pemenangnya akan kami tampilkan di acara festival Kemerdekaan RI Ke-78 di Kecamatan," ujar M Nur Symasi, usai membuka festival Musik Dhungka. Tampil sebagai juara dalam gelaran festival musk tradisional, yakni Dusun Nangger meraih gelar juara 1. sedangkan juara ke 2 dimenangkan Dusun Paginda. Kemudian Dusun Kotta, tampil sebagai juara ke 3. Mereka mendapatkan hadiah berupa uang tunai dan tropi dari Pemdes Sukaoneng.(iNews Gresik)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun