Mohon tunggu...
Symmon DK
Symmon DK Mohon Tunggu... wiraswasta -

PEJUANG PEMIKIR - PEMIKIR PEJUANG\r\nPemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menebak-nebak Arah Koalisi: Melajunya Jokowi dan Galaunya Lawan Politik

11 Mei 2014   17:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada saat PDIP dengan capresnya Jokowi sudah melaju dengan konsolidasi teritorial dan sektoral dari para relawan dan potensi-potensi pendulang suaranya, beberapa parpol justru masih disibukkan dengan lobi-lobi transaksional koalisi. Walaupun kandidat capres sudah mengerucut pada dua sosok kuat, Jokowi dan Prabowo,namun ke-pede-annya ARB masih melakukan manuver politik ‘martabat’ budaya menjadi pemenang. SBY sebagai lokomotif Demokrat pun, masih bergaya santun dan jumawa melakukan psywar pembentukan poros baru setgab jilid II. Bukan parpol namanya kalau dalam keadaan tersudut tidak melakukan gertakan untuk meningkatkan nilai tawarnya, syukur-syukur mendapatkan blessing sebagai kuda hitam yang diuntungkan dari berbaliknya arah angin dukungan masyarakat.

Harus diakui PDIP memiliki strategi brilian dan mengambil posisi kunci terlebih dahulu. Keluwesan dalam berkomunikasi serta menafikan gengsi sebagai pemenang pileg, Jokowi dengan lincahnya melakukan lobi-lobi dan safari politik. Hal ini menjadikan PDIP lebih memegang kendali arah arah koalisi, bahkan dalam beberapa kasus dapat dikatakan sebagai pemegang kendali. Paling tidak, mampu menjadikan lawan-lawan politik harus selalu menyesuaikan strategi ‘permainan’ untuk dapat tetap eksis. Sementara yang terlalu kaku dengan gaya jumawanya dibuatnya mati kutu.

Sadar bahwa suaranya tidak mencapai presidential threshold 20%, mengharuskan PDIP harus berkoalisi. Walau pun itu dianggap sebuah kegagalan pencapaian target, tapi bagi Saya itu merupakan ‘jalan takdir’ yang justru akan semakin memuluskan pencapresan Jokowi, sekaligus mengamankan jalannya pemerintahan yang nantinya akan dibentuk. Kenapa? Karena kalau ambang batas pencalonan presiden itu tercapai, sikap percaya diri akan mudah berubah menjadi jumawa, ditambah dengan ‘kaku’nya Megawati, bisa menciptakan blunder koalisi, justru akan dikeroyok rame-rame oleh lawan-lawan politiknya, sebagaimana ‘tragedi’ 1999. Demikian pula pada tahun 2009 yang dikeroyok oleh setgabnya SBY, walaupun variabel dan setting politik sangatlah berbeda.

PDIP langsung dengan cepat mencari mitra koalisi strategis untuk mengamankan persyaratan ambang batas.Hal mana pada minggu pertama pasca quick count, tidak dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Pilihan koalisi jatuh pada Nasdem. Tingginya survei elektoral Jokowi menjadi senjata yang ampuh untuk membuat posisi tawar, ditambah kesamaan visi ‘aliran’ nasionalisme dan tentunya lobi-lobi yang sudah dibangun sebelum pileg, menjadikan koalisasi berjalan mulus. Syarat presidential threshold20% terpenuhi. Konsep tidak ada kontrak politik bagi-bagi kursi dan tawaran cawapres kepada Nasdem, tapi murni dukungan ’suka rela’ sengaja digulirkan. Tidak saja karena PDIP jauh hari sudah membuat draft rancangan susunan kabinet (termasuk cawapresnya) yang fleksibel sesuai hasil pileg, tetapi juga untuk nilai tawar calon mitra koalisasi selanjutnya. Langkah ini ternyata juga membuat jengah lawan politik untuk melakukan ‘dagang sapi’ dalam berkoalisi. Konsep ‘koalisi sukarela’ tersebut dicontoh oleh SDA, dan yang terakhir oleh PAN dalam rangka koalisi dengan Gerindra.

Perluasan mitra koalisi ini sebetulnya tidak terbatas pada PKB dan PPP, dalam rangka untuk mewujudkan pemerintahan dan parlemen yang kuat, namun prioritas kedua partai tersebut dibidik lebih dini, karena selain memiliki basis nadliyin yang tersebar di Indonesia, juga sangat strategis untuk menangkis isu-isu miring yang melekat pada PDIP yang terdistorsi dengan isu politik aliran islam (konsep politik aliran yang sudah terlanjur melekat unik di Indonesia, yaitu dikotomi nasionalis dan islam). Peranan kartu JK sangat memegang peranan penting untuk mewujudkan koalisi ini. Khabar terakhir, saat ini PKB sudah memastikan untuk mendukung mencapresan Jokowi dan berkoalisi dengan PDIP. Sedangkan PPP dari penyelenggaraan rapimnas saja sudah mengindikasikan ada kecendrungan yang kuat untuk berkoalisi dengan PDIP, namun tarik menarik koalisi masih dinamis antara kubu yang condong ke PDIP dan yang ke Gerindra masih sama kuatnya.

Wacana ‘kabinet ramping’ yang merupakan evaluasi dari kabinet pemerintahan SBY sebelumnya (Tenda besar Setgab) juga sengaja digulirkan PDIP untuk membuat lawan politiknya gamang untuk membangun koalisi besar. Lawan politik terseret pada permainan PDIP sehingga menjadi terbata-bata untuk melakukan koalisasi besar. Dan, PDIP justru sudah masuk secara intent dengan partai-partai lain. PDIP sepertinya juga sengaja menyisakan PKS. Selain platform dan visi yang berbeda, PSKS sengaja diumpankan untuk Gerindra. Gerindra yang sedang galau mencari mitra koalisi, terpancing untuk melamarnya. Saat mana Golkar masih bertahan dengan pencapresan Ical, dan SBY masih ‘jual mahal’ dengan tetap percaya diri menggelar konvensi capres yang akan diusungnya sendiri. Sebagai partai yang dilamar, PKS tentunya menentukan nilai tawar dan mahar, sepertinya merupakan hal yang dilematis bagi Gerindra. Tohstatemen tentang FPI, pemurnian agama, nasionalisasi ekonomi dan wacana Prabowo-Aher, belum menjadikan PKS menyatakan secara tegas koalisi dengan Gerindra.

Gerindra akhirnya bermanuver dengan Golkar. Seperti nya Prabowo ke-GR-an dengan manuver ARB.Ambisi Prabowo terbentur oleh dinamika internal Golkar. Padahal statemen politik ARB, sudah mencair untuk bersedia untuk tidak mempermasalahkan siapa capres dan siapa cawapres, artinya ARB bersedia untuk menjadi cawapres. Posisi ARB saat inipun seakan menjadi kartu mati. Pergumulan internal Golkar berkenaan dengan evaluasi pencapresannya, menghasilkan konsensus bahwa ARB tetap didukung sebagai capres saja, artinya ARB dikunci dengan ambisinya sendiri. Sedangkan nama-nama cawapres yang akan diusung dalam koalisi diantaranya Akbar, Kalla, Luhut dan lainnya. Rumor yang beredar saat ini ARB mengajukan proporsal koalisi terhadap Mega, langkah ‘Plan B’ daripada Golkarikut terseret menjadi kartu mati karena belum memiliki koalisasi yang yang mengusungnya jadi capres.

Prabowo akhirnya mendapatkan titik terang koalisinya, setelah lobi senyapnya mendapat respon dari PAN, dan digunakan untuk nilai tawar bagi tercapainya konsensus dengan PKS. Kalau melihat survei elektoral yang menempatkan Prabowo masih jauh di bawah Jokowi, kenapa kedua partai tersebut memutuskan berkoalisi dengan Gerindra dengan taruhan ‘siap kalah’? Tentunya hal menimbulkan pertanyaan; bargaining dan mahar seperti apakah yang ditawarkan untuk memenuhi syahwat politik Prabowo. Dan kenapa juga pada saat seperti ini Hasyim musti ‘turun gunung’ menganulir pencawapresan ARB ? Apakah hanya sekedar langkah penyelamatan muka atas gagalnya koalisi dengan Golkar?.

Batas akhir penentuan koalisi masih seminggu lagi, ‘segalanya bisa terjadi’ dan ‘tidak ada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kesamaan kepentingan’ menjadikan dalam ranah politik segala sesuatunya bisa berubah tiba-tiba. Hanura dan Demokrat belum bisa dipastikan, walaupun komunikasi politik semakin menguat dengan PDIP. Hanura kemungkinan besar akan merapat ke PDIP yang memiliki kemungkinan besar memenangkan Pilpres. Setelah 10 tahun Hanura tidak terlibat dalam pemerintahan, Hanura menjadi pragmatis, terlebih lagi hasil pileg suara perolehnya yang hanya di kisaran 5%, menjadikannya menunggu perkembangan peta koalisi dan survei elektabilitas pilpres.

Terus bagaimanakah dengan strategi SBY yang note bene adalah besannya Hatta Rajasa? Akankan SBY masuk ke gerbong Prabowo? Hal mana sudah menjadi rahasia umum SBY paling tidak sudah dua kali ‘menohok’ Prabowo. Pertama dengan wacana pembentukan pengadilan HAM ad hoc di awal-awal tahun 2013, kedua dengan statemen terakhir SBY tentang nasionalisasi ekonomi.

Atau SBY-Hatta akan ‘memecah dukungan’ untuk bermain di dua kubu yang berbeda? SBY ke Jokowi dan Hatta ke Prabowo? Agar siapa pun yang menang dalam pilpres tetap memperolehkonsesi optimal karena sudah berkoalisi sejak pra pilpres, hal mana akan berbeda apabila koalisidi pemerintahan terbentuk setelah pilpres.

Atau SBY akan membentuk poros baru yang ‘dipaksakan’ dengan menarik PAN dan Golkar didalamnya? Toh PAN belum definitif berkoalisi dengan Gerindra. Walaupun tidak memiliki tokoh capres yang populer dengan survei elektabilitas yang memadai dari hasil konvensi, tetapi memang bukan itu tarjetnya. Semata-mata untuk membendung ambisi Prabowo menjadi capres, karena tidak memiliki mitra koalisi yang memenuhi syarat 20%? Terlebih sepertinya SBY enggan berkoalisi dengan Prabowo. Apa saja bisa saja terjadi, opertasi intelijen bisa melahirkan deal-deal politik dan strategi yang kadang di luar dugaan.

Bukanpolitik namanya kalau semuanya seperti yang terdengar dan terlihat dengan kasat mata!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun