Now or never,mungkin itulah yang menyebabkan kenapa seorang Prabowo begitu ambisius dan melakukan berbagai cara untuk dapat memenangkan Pilpres tahun ini. Umuryang sudah 62 dan kesehatan yang mungkin sudah tidak optimalsaat 5 atau 10 tahun lagi menjadikannya perang ‘habis-habisan' dengan dana yang 'tak terbatas'. Walau pun isu pernah stroke kecil dan vitalitas tubuh yang tidak lagi prima dibantah oleh Gerindra, namun rumor itu sudah meluas di masyarakat. Padahal batasan ‘umur politik’ sangatlah berbeda dengan umur demografis, Nelson Mandela menjadi presiden Afrika Selatan saat berumur 76 tahun dan Ronalds Reagen menjadi presiden Amerika pada usia 72 tahun. Jusuf Kalla saat ini juga masih fit di umurnya 72 tahun. Kenapa juga harus galau, tomorrow never die.
Berasumsi bahwa peluang terakhirnya pada pilpres sekarang, Prabowo bisa saja ‘memohon’ untuk didukung dan diberi kesempatan kali ini saja. Tapi, masyarakat ‘trauma’ dengan kebohongan SBY; jangankan rakyat, Tuhan pun kau tipu. SBY pernahbersumpah ‘demi Tuhan’ untuk diberi kesempatan menjadi presiden sekali saja pada tahun 2004. Artinya, itu menjadi sebuah pertaruhan spekulatif yang berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara 5 tahun ke depan. Yang justru sangat strategis untuk menyongsong Indonesia menjadi lebih baik dalam konstelasi global. Saat inilah momentum yang tepat untuk regenerasi kepemimpinan nasional secara konstitusional, dari generasi ‘tua yang itu-itu saja’ ke generasi muda yang tidak terkontaminasi oleh masa lalu yang kelam.
Masalah ideologi pemimpin nasional harus jelas untuk memastikan orientasi pengelolaan negara ini jelas arahnya. Baru-baru ini disinggung oleh Jokowi: "Jiwa diisi, mental diisi, budi pekerti diisi, sehingga setiap manusia Indonesia punya ideologi jelas, pemimpin juga punya ideologi yang jelas" (Pidato di Rakernas Partai Nasdem II di Hotel Mercure, Ancol, Selasa, 27/5/2014). Artinya Jokowi bukanlah tokoh populis minus ideologi, terbukti jiwa marhaenisnya yang merakyat dan nguwongke wong cilik (menghargai orang kecil) dan menghargai pluralisme. Namun demikian, sebagai seorang yang baru saja muncul di pentas politik nasional, bak satrio piningit, tentunya tidak bisa kita menilai ideologi Jokowi secara komprehensif. Soekarnoisme tidak bisa hanya dilihat selintas saja, apalagi hanya dengan fashionable sok soekarnois, tapi justru berperilaku borjuis dan kapitalistik.
Kalau mau jujur, ideologi Prabowo yang sudah ‘malang melintang’ di pentas politik nasional, tidaklah jelas.Sebagai anak biologis Soemitro, Prabowo bukan mustahil ‘terbekas’ ideologi bapaknya. Soemitro sebagai tokoh PRRI/ PSI berhaluan kiri dan menganut ideologi sosialisme, tetapi saat menjadi ‘mafia barkeley’ kental dengan nuansa kapitalistik-liberalis, sebuah pragmatisme politik. Kecil dan besar di negara pengusung kapitalisme-liberalisme,membentuk ideologi western semakin kental dalam ‘cara berpikir’nya.
Prabowo meniti karir sebagai prajurit di jaman Orba yang penuh dengan ‘kepalsuan politik’ dan KKN. Bisa dikatakan Amerika ditipu oleh Soeharto dengan menyatakan Indonesia sebagai negara demokratis. Fusi parta-partai politik adalah trik licik Soeharto ‘sekali tepuk tujuh nyawa’, sekaligus bisa menghancurkan nama PNI yang digabungkan dengan partai-partai katolik dan protestan, jadi PDI. Dipertentangkan dengan PPP sebagai fusi partai-partai berbasis Islam. Sementara Golkar tidak dikategorikan sebagai parpol. KKN waktu juga itu luar biasa, di-back up oleh kekuasaan dan regulasi, makanya ‘anak didik’ Orba sangat piawai untuk meng-patgulipat-kan hal tersebut. Prabowo sendiri dalam waktu 1,5 tahun bisa naik pangkat 3 kali karena menantunya penguasa Orba.
Ideologi Soeharto bahkan cara-cara berpolitiknya tentunya sedikit banyak juga mewarnai Prabowo. Salah satu contohnya dapat kita lihat pada partai politik besutnya, Gerindra, Prabowo yang mensetting dirinya bukan sebagai ketum, tetapi memegang kendali penuh, sebagaimana tipikal hubungan Soeharto-Golkar yang berbau fasis. Hal ini berbeda dengan partai-partai lainnya saat ini. Bahkan nama Suhardi sebagai ketum hampir tidak dikenal oleh konstituennya sendiri, terbukti saat pileg dengan sistem langsung, kalah dengan yuniornya.Apakah itu indikasibahwa peranan Prof. Suhardi sebagai ketum parpol hanyalah simbolik dan didegradasi sekedar sebagai ‘manager operasional’ layaknya sebuah perusahaan?
Mungkin bagi Prabowo ideologi politik ‘sudah mati’, yang ada adalah pragmatisme bagaimana merebut kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H