Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan kesadaran warga negara yang cerdas, kritis, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mata pelajaran ini kerap dipandang sebagai mata pelajaran yang membosankan, monoton, teoritis, dan jauh dari konteks kehidupan nyata.
Persoalan utama yang kerap muncul adalah model dan metode pembelajaran PKn yang masih sangat konvensional. Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan hafalan, bukan pendekatan yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan analitis. Materi pelajaran seringkali disajikan secara abstrak, tanpa konteks yang jelas dan hubungan dengan permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, siswa kehilangan minat dan motivasi dalam mempelajari PKn. Mereka memandang mata pelajaran ini sebagai beban akademis belaka, bukan sebagai sarana untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Siswa hanya memahami PKn sebatas materi akademis tanpa kemampuan mengaplikasikan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi sosial justru kehilangan esensinya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan transformasi mendasar dalam praktik pembelajaran PKn. Pertama, kurikulum harus dirancang secara lebih dinamis dan kontekstual. Materi pelajaran tidak sekadar membahas teoritis tentang struktur pemerintahan dan undang-undang, melainkan mengaitkannya dengan isu-isu konkret yang sedang terjadi di masyarakat.
Kedua, metode pengajaran perlu diubah dari pendekatan Teacher-Centered menjadi Student-Centered. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif berdiskusi, menganalisis permasalahan sosial, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Praktik seperti studi kasus, debat, simulasi kebijakan hingga proyek penelitian lapangan dapat menjadi alternatif metode yang lebih efektif.
Ketiga, perlu dikembangkan model penilaian yang komprehensif. Tidak hanya sekadar ujian tertulis, tetapi juga menilai kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, bekerja sama, dan menunjukkan sikap kewarganegaraan yang baik. Portofolio, presentasi, dan proyek sosial dapat menjadi instrumen penilaian yang lebih bermakna.
Pemerintah, dalam hal ini memiliki tanggung jawab besar dalam mendorong perubahan ini. Diperlukan kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas guru PKn, penyediaan sarana belajar yang memadai, serta pendekatan kurikulum yang lebih responsif terhadap dinamika sosial.Tidak kalah penting, orang tua dan masyarakat juga perlu terlibat aktif. Mereka dapat menjadi mitra dalam mendidik generasi muda untuk menjadi warga negara yang cerdas, kritis, dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Kesadaran akan pentingnya pembelajaran PKn yang kontekstual bukan sekadar wacana akademis, melainkan kebutuhan mendesak. Hanya dengan Pendidikan Kewarganegaraan yang bermakna, kita dapat membentuk generasi yang tidak sekadar memahami teori, tetapi mampu mewujudkan praktik kewarganegaraan yang sesungguhnya.
Saatnya kita merevolusi paradigma pembelajaran PKn, dari yang semula hanya transfer pengetahuan menjadi pembentukan karakter dan kesadaran kritis warga negara.Â
Demikian artikel ini, semoga memberikan perspektif baru tentang pentingnya kontekstualitas dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H