Mohon tunggu...
Sylvia Rizky
Sylvia Rizky Mohon Tunggu... Penulis - Founder @Balla'ta Kec. Marioriawa

Alumni Unhas Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Saat ini, sebagai Ketua Balla'ta, salah satu organisasi yg mewadahi generasi muda untuk kembali membaca buku dan menghidupkan ruang-ruang diskusi serta minat dan bakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Siti Nurbaya

22 Oktober 2013   22:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian harus mengerti jatuh cinta, kalian harus mengerti kebaikan dan kalian harus mengerti penghargaan. Ataukah kalian menjadi korban? Atau sebaliknya menjadi untung? Atau bisa jadi kalian meragu untuk selamanya? Seperti Aku dan Siti Nurbaya

Aku tidak mengerti jatuh cinta. Aku tidak mengerti kebaikan. Aku tidak mengerti penghargaan. Hanya satu yang kumengerti dengan sedikit ambigu, dan itu adalah aku. Kalian pernah mendengar kisah Siti Nurbaya, atau kisah yang mirip dengan Siti Nurbaya dalam kerangka hidup yang lain? Ataukah kalian pernah merasa mirip dengan Siti Nurbaya? Ataukah persis dengan Siti Nurbaya? Atau mungkin lebih parah dari Siti Nurbaya? Aku harap kalian tidak berada dalam golongan itu. Seperti harapku pada diriku sendiri. Lalu, itulah yang aku mengerti dengan sedikit ambigu, aku.

Kalian tahu apa itu adat istiadat? Kuharap kalian bisa memahami dengan baik. Ataukah lebih spesifik lagi apa itu perjodohan? Kuharap kalian memahami jauh lebih baik. Yah, jauh lebih baik sebelum kalian merasa menjadikorban, atau kalian merasa untung dengan itu.

Aku tergolong perempuan lemah, manja danpatuh, kata mereka. Meskipun pendidikanku tergolong tinggi dan otakku lumayan tidak buruk. Sebab, kata mereka, aku layak dibanggakan. Aku hidup sebagai anak pertama yang selalu dipuji. Bukan karena cantik, melainkan santun yang kumiliki, patuh yang kumiliki dan prestasi yang kumiliki. Bisa dikatakan,aku hidupdi antara ciri perempuanyang hidup biasa saja dan perempuan yang hidup dengan ideologi feminis. Aku dapatkan ideology feminis dari bangku kuliah, dan hasil pengamatan terhadap diriku itu telah berlangsung dua puluh satu tahun.

Namun, aku tidak mengerti jatuh cinta, kebaikan dan penghargaan. Mengapa? Sebab aku masih mengerti dengan sedikit ambigu tentang diriku. Aku permpuan yang tidak menyukai kisah Siti Nurbaya dan sebangsanya, aku tidak menyukai perjodohan, aku tidak menyukai perjodohan, aku tidak menyukai perjodohan, aku tidak menyukai perjodohan!!!!!!!! Yah, aku tidak menyukai perjodohan. Aku tidak menyukainya, sungguh.

Namun, percayakah kalian sebuah amanah yang mengatakan “jangan terlalu benci terhadap sesuatu, sebab hal itu bisa saja kau alami atau rasakan”. Percaya? Yah, mungkin sebagian dari kalian tidak percaya, akan tetapi aku termasuk pada sebagiannya lagi. Seperti itulah yang kualami. Aku dijodohkan, aku dijodohkan, aku dijodohkan !!!!! lalu tindakanku? Aku, aku, aku… di antara ragu itu, kukatakan dengan sedikit mengerti perasaanku sendiri, bahwa jika itu yang membuat mama bahagia, aku patuh. Lihat, lihat, betapa patuhnya aku. Betapa baiknya aku, kata mereka. Lalu, setelah itu dalam keheninganku, aku berteriak di dalam hati, merontah dan bertanya-tanya pada diriku sendiri, ada apa? Mengapa? Tidak adakah perlawananku? Semudah itukah kujual hidupku? Ada apa denganku, Tuhan? Adilkah semua ini untukku?

Dan Tuhan kemudian menjawabnya, ketika ia mempertemukanku dengannya. Kalian tahu rasanya ketika harapanmu dikoyakkan? Ataukah kalian pernah merasakan sebuah janji manis tiba-tiba berujung pahit? Jika iya, kukatakan selamat. Selamat ternyata bukan hanya aku yang mengalaminya. Yah, kulanjutkan ketika Tuhan mempertemukanku dengannya. Aku sempat gembira, namun harapan sejenak pupus. Namun, mengapa Tuhan membuatku takluk begitu saja? Aku sempat mendendangkan kegaranganku pada mereka. Aku sempat berteriak-teriak tidak berterima dengan semua itu. Namun, jika kalian berada di posisiku dan orang yang kalian sayangi mengatakan “Kumohon nak, sekali lagi padamu aku memohon. Turuti keingananku, sebelum mama meninggalkanmu selamanya…”. Nah, jika seperti itu, apa yang kalian lakukan?

Aku benar-benar takluk dan menerima segala kekurangannya. Aku benar-benar takluk dengan menerima keputusan mereka. Aku benar-benar takluk karena ternyata aku suka padanya. Namun, aku tidak tahu apakah ini jatuh cinta? Apakah ini kebaikan? Apakah ini penghargaan? Aku tidak tahu, sungguh.

Aku lalu mempertanyakan, apakah ini yang dikatakan jodoh? Aku merasa ini semua tidak adil. Sembari mengelus dada, aku selalu mempertanyakan keberadaannya sekarang, apakah ia jodohku? Apakah jodohku datang dengan seperti ini? Tidak adakah cara lain yang lebih indah, seperti aku memang pacaran dengannya bertahun-tahun. Ah,,, Tuhan sepertinya menjawab “ iya, kau berjodoh dengannya. Terima saja dengan ikhlas, anak baik”

Hari-hariku pun berlangsung dengan sedikit tidak normal. Aku menjadi orang yang mudah skeptis berkat perjodohan itu. Aku masih saja menyukai tanda tanya besar di dalam kepalaku ini. Sebuah tanya, “Iyakah?”, “Ah, itu hanya mimpi”, “Sungguh”, “Kau terlalu banyak pikiran “, “tapi…”, “semuanya tidak akan terjadi, percayalah”, “Ah,, bohong, ini nyata, sangat nyata”.

Pada akhirnya aku benar-benar tak bisa apa-apa. Matilah cita-citaku menjadi perempuan feminis. Di zaman modern ini, aku masih menjiplak Siti Nurbaya, bedanya, jika Siti Nurbaya hidup dengan kungkungan adat istiadat, aku tidak. Aku lalu percaya, jodoh di tangan Tuhan yang datang dengan cara yang berbeda-beda. Namun, Tuhan akan bertindak bagaimana? Jika ternyata di sebuah masa entah kapan, jodohku yang sesungguhnya berada di suatu tempat. Tuhan harus mempertanggungjawabkannya.

Aku lalu menyimpulkan, inikah jatuh cintaku? Inikah kebaikanku? Dan inikah bentuk penghargaanku? Siti Nurbaya akan menangis, Siti Nurbaya akan menangisiku, seperti aku menangisinya. Aku dan Siti Nurbaya akan terus menangis, jika esok dan seterusnya, masih ada aku dan Siti Nurbaya yang lainnya. Perempuan tidak harus tunduk, perempuan tidak harus patuh, perempuan punya hak yang sama. Begitu pun dengan laki-laki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun