Di era digital yang semakin maju, kemudahan bertransaksi online telah membawa angin segar bagi konsumen Indonesia. Dengan kemajuan teknologi dan pembangunan ekonomi, masyarakat Indonesia semakin terjerumus ke dalam perangkap utang melalui layanan "bayar nanti" atau "beli sekarang, bayar nanti" (BNPL), yang lebih dikenal sebagai paylater. Paylater, atau sistem "beli sekarang, bayar nanti", telah tumbuh pesat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai platform e-commerce dan fintech berlomba-lomba menawarkan layanan ini, menjanjikan kemudahan belanja tanpa perlu memiliki uang tunai atau kartu kredit. Sistem ini awalnya disambut baik oleh warga, seperti generasi milenial dan gen Z yang mendambakan gaya hidup modern.
Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa total utang masyarakat melalui layanan paylater telah mencapai Rp 26,3 triliun hingga Agustus 2024. Penggunaan paylater di Indonesia telah meningkat lebih dari 300% sejak tahun 2019. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan  bulan sebelumnya, menunjukkan bahwa sistem pembayaran tunda ini telah menjadi primadona di kalangan masyarakat, namun tanpa disadari telah menjerat banyak warga dalam pusaran utang yang mencapai angka triliunan rupiah.
Penggunaan paylater di Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut OJK, piutang pembiayaan paylater oleh perusahaan pembiayaan atau multifinance telah tumbuh sebesar 89,20% secara tahunan year-on-year (YoY) menjadi Rp 7,99 triliun per Agustus 2024. Angka ini juga meningkat dari bulan sebelumnya, yang mencatatkan kenaikan 73,55% year-on-year (YoY) per Juli 2024. Laporan terbaru dari Bank Indonesia mengungkapkan fakta yang mengejutkan: total utang paylater di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 30 triliun per akhir tahun 2023. Angka ini terus meningkat setiap bulannya, menandakan semakin banyaknya masyarakat yang terjebak dalam lingkaran utang ini.
Produk BNPL yang dijual melalui perbankan juga mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Pada Agustus 2024, saldo kredit/debit BNPL meningkat 40,68% year-on-year (YoY) menjadi Rp18,38 triliun, dan jumlah rekening bertambah menjadi 18,95 juta. Namun risiko kredit  BNPL perbankan masih 2,21%, lebih rendah dibandingkan bulan lalu (2,24%). Peningkatan tingkat kredit bermasalah atau non-performing loan (NPF) dari  bisnis Paylater atau BNPL juga terlihat. NPF turun dari  2,82% menjadi 2,52%. Kinerja fungsi intermediasi perbankan terus mengalami tren peningkatan,  kredit pada Juli 2024 meningkat sebesar Rp 36,210 miliar (juta yen) atau  0,48% (juta yen) dari bulan sebelumnya. Pertumbuhan penjualan kredit melanjutkan rekor pertumbuhan double digit  sebesar 12,40% year-on-year (YoY), didorong oleh kredit korporasi yang meningkat sebesar 18,06%.
Kenaikan penggunaan paylater ini terjadi di tengah deflasi empat bulan beruntun yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024. Deflasi ini terjadi karena anjloknya inflasi bahan pangan, bukan karena pelemahan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap deflasi ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang sedang tertekan.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan membengkaknya utang paylater adalah kemudahan aksesnya. Berbeda dengan kartu kredit yang memerlukan verifikasi ketat, paylater dapat diakses oleh siapa saja dengan mudah, bahkan mereka yang belum memiliki penghasilan tetap. Fenomena paylater tidak hanya berdampak pada keuangan pribadi, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang lebih luas. Banyak keluarga yang kini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka karena harus membayar cicilan paylater sehingga berpotensi mengganggu kredit lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Beberapa kasus menunjukkan adanya konflik keluarga dan perceraian akibat masalah utang ini. Dari segi ekonomi makro, meningkatnya utang konsumtif ini berpotensi mengganggu stabilitas keuangan nasional. Jika tren masa ini terus berlanjut,  krisis kredit  dapat terjadi dan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dan mengelola utang dengan bijak.
Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah dan regulator keuangan mulai mengambil langkah-langkah preventif. OJK telah mengeluarkan regulasi baru yang mengatur lebih ketat tentang pemberian layanan paylater, termasuk pembatasan limit kredit dan penerapan sistem credit scoring yang lebih komprehensif. OJK juga sedang melakukan kajian untuk mengatur lebih lanjut tentang multifinance yang diperbolehkan untuk menyalurkan pinjaman BNPL. Peraturan terkait BNPL masih dalam pertimbangan, antara lain  persyaratan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan BNPL, kepemilikan sistem informasi, perlindungan data pribadi, kinerja audit, sistem keamanan, akses dan penggunaan data pribadi, serta kerja sama dengan dunia usaha, pihak lain, dan manajemen risiko.
Bank Indonesia turut berperan dengan mengeluarkan kebijakan untuk membatasi bunga dan denda keterlambatan pada layanan paylater. Langkah ini diharapkan dapat melindungi konsumen dari praktik predatori yang sering kali menjerat mereka dalam utang berkepanjangan.
Meski regulasi penting, edukasi finansial tetap menjadi kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini. Banyak konsumen yang terjebak utang paylater karena kurangnya pemahaman tentang manajemen keuangan dan risiko kredit. Berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta, kini mulai gencar melakukan kampanye edukasi finansial. Mereka mengajarkan pentingnya membuat anggaran, menabung, dan berbelanja secara bijak. Beberapa platform fintech bahkan mulai menyediakan fitur perencanaan keuangan dan reminder pembayaran untuk membantu pengguna mengelola utang mereka dengan lebih baik.
Paylater, sebagai produk dari kemajuan teknologi finansial, memiliki potensi besar untuk memudahkan kehidupan masyarakat. Namun, tanpa kewaspadaan dan pengelolaan yang tepat, ia bisa menjadi bumerang yang merugikan. Diperlukan kesadaran kolektif dari semua pihak konsumen, penyedia layanan, dan regulator untuk memastikan bahwa inovasi finansial ini membawa manfaat, bukan malapetaka. Dengan edukasi yang tepat dan regulasi yang bijak, kita dapat memanfaatkan kemudahan paylater tanpa terjebak dalam pusaran utang yang tak berujung.
Pada akhirnya, tanggung jawab terbesar tetap ada di tangan konsumen. Bijak dalam berbelanja, disiplin dalam membayar, dan selalu mengutamakan kebutuhan di atas keinginan adalah kunci untuk menavigasi era digital ini dengan selamat dan sejahtera.