Ketika aku berada di rahim ibuku. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus berjuang untuk hidup sebagai sosok seorang manusia. Mari ibu bantu, kita bersama-sama belajar untuk bertumbuh kembang bersama.”
Ketika aku baru saja dilahirkan. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus berjuang untuk hidup mandiri. Engkau tidak boleh lagi bergantung pada ibu, engkau harus belajar bagaimana seorang manusia bertahan hidup. Tapi kamu jangan kuatir, ibu akan tetap membantumu, menyuapimu, melindungimu dari segala marabahaya.”
Ketika aku berusia 1 tahun. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus belajar bagaimana cara manusia bertahan hidup dengan anggota tubuhnya sendiri, tidak lagi bergantung pada orang lain untuk membantunya bertahan hidup. Mari ibu ajari, jangan takut, ibu disini untuk menemanimu.”
Ketika aku berusia 2 tahun. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus belajar bagaimana cara manusia mendayagunakan peralatan disekelilingnya untuk bertahan hidup. Mari ibu ajari, satu persatu kita belajar, sampai kamu terbiasa menggunakannya.”
Ketika aku berusia 3 tahun. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus belajar bagaimana cara manusia berinteraksi dengan lingkungannya, berteman dengan alam. Mari ibu perkenalkan pada mereka, jangan khawatir, selama kamu baik pada mereka, mereka juga akan baik padamu.”
Ketika aku berusia 4 tahun. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu harus belajar bagaimana cara manusia bersosialisasi dengan sesamanya. Mari ibu temani kamu mencari kawan dan sahabat. Baik-baiklah menggalang persahabatan, karena sahabat adalah inspirasi, pendorong semangat, dan warna dari hidup seorang manusia.”
Ketika aku berusia 5 tahun. Ibu berkata, “Nak, mulai saat ini kamu akan belajar banyak hal, mengenai ilmu pengetahuan, mengenal berbagai kejadian di seluruh dunia, belajar tentang berbagai keunikan dan keajaiban yang terjadi di seluruh dunia. Kali ini, ibu akan ada di sampingmu, tapi guru-lah yang akan membantumu mengenal semua itu. Jangan takut, ceritakan pada ibu mengenai hari-harimu, dan kita akan membahasnya bersama-sama.”
Ketika aku berusia 6 tahun. Ibu berkata, “Nak, sudah setahun kamu bersekolah, ilmu pengetahuan memang penting, tapi hidup bukan hanya butuh intelektual yang tinggi, tapi juga moral yang kokoh. Jangan pernah lupa apa kewajiban utama seorang manusia. Perbuatlah kebajikan setiap saat.”
Ketika aku berusia 7 tahun. Ibu berkata, “Nak, sudah berapakah temanmu di sekolah? Apakah mereka menyayangimu, seperti aku menyayangimu? Ingat, semua yang kau perbuat pada mereka, demikian juga mereka membalasnya padamu. Jadi, baik-baiklah berteman, maka engkau akan menemukan harta karun dunia, persahabatan.”
Ketika aku berusia 8 tahun. Ibu berkata, “Nak, ibu memang bukan orang yang pintar, tidak mudah bagi ibu untuk mengikuti perkembanganmu di sekolah. Tapi kamu jangan takut, ibu akan selalu mendampingimu, menjagamu dengan doa dan restu. Rajin-rajinlah di sekolah. Maka kelak kamu akan menjadi orang yang berhasil.”
Ketika aku berusia 9 tahun. Ibu berkata, “Nak, membawa uang saku dan jajan di luar memang asyik. Bekal buatan ibu juga mungkin tidak seenak jajanan di luar sana. Tapi nak, apakah engkau sadar, secuil bekal yang engkau nikmati setiap hari itu, mengandung cinta tak ternilai dan doa restu tak terbatas dari ayah dan ibu. Syukurilah berkat itu nak. Dan jadilah engkau manusia yang berjaya.”
Ketika aku berusia 10 tahun. Ibu berkata, “Nak, pergi bersama teman-teman sepulang sekolah memang menyenangkan. Ibu sangat paham. Tapi, alangkah baiknya seandainya sepulang sekolah, engkau pulang dahulu ke rumah, berganti pakaian, makan, dan berpamitan meminta doa restu orang tua, baru kemudian pergi bermain.”
Ketika aku berusia 11 tahun. Ibu berkata, “Nak, lemarimu sudah penuh dengan pakaian dan pernak pernik. Untuk apa kamu setiap minggu masih memboroskan uang dan membeli banyak barang seperti itu? Alangkah baiknya uang yang berlebih tersebut didermakan untuk mereka yang membutuhkan. Masih banyak di luar sana mereka yang kurang beruntung. Berbagilah dan bersedekahlah, maka hidupmu akan lebih bahagia.”
Ketika aku berusia 12 tahun. Ibu berkata, “Nak, engkau sudah mulai beranjak remaja. Berhati-hatilah dalam bergaul. Pandai-pandailah memilih teman, jangan sampai terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang salah. Ibu tidak bisa lagi terus mengawasi dan mendampingimu seperti ketika kamu masih anak-anak. Ibu hanya dapat melindungimu dengan doa dan restu yang senantiasa ibu panjatkan padaNya, hanya untukmu.”
Ketika aku berusia 13 tahun. Ibu berkata, “Nak, perbaikilah caramu berpakaian, bertingkah laku dan bertutur kata. Engkau sudah bukan anak-anak lagi. Cobalah lebih sopan dan rapi dalam berpakaian, serta lebih memiliki tata krama dalam bertingkah dan bertutur kata.”
Ketika aku berusia 14 tahun. Ibu berkata, “Nak, pandai-pandailah membelanjakan uangmu. Perbanyak menabung untuk masa depanmu. Selain itu, jangan lupa berderma dan bersedekah untuk sesama.”
Ketika aku berusia 15 tahun. Ibu berkata, “Nak, sudahkah engkau hari ini memanjatkan puja dan puji syukurmu atas segala anugerahNya yang tak terhingga? Dia Maha Tahu, Dia Maha Penyayang. Jadilah anak yang saleh, anak yang beriman dan bertakwa. Niscaya, berkahNya akan selalu menyertaimu sepanjang jalan hidupmu.”
Ketika aku berusia 16 tahun. Ibu berkata, “Nak, cepat sekali waktu berlalu, engkau kini sudah remaja. Coba ceritakan pada ibu, apakah ada kawan yang kau sukai? Teman seperti apakah dia? Ibu penasaran, ceritakan hari-harimu dengannya.”
Ketika aku berusia 17 tahun. Ibu berkata, “Bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Gadisku, engkau adalah yang terindah yang pernah kulihat. Engkau adalah anugerahNya yang terindah untukku dan untuk ayahmu. Hati-hatilah nak, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai salah dalam pergaulan.”
Ketika aku berusia 18 tahun. Ibu berkata, “Nak, tahukah engkau harta terpenting seorang wanita? Keperawanan. Jaga baik-baik hartamu. Hanya kepada dia yang berhak menerima, harta itu boleh engkau serahkan. Pergaulan boleh seluas-luasnya, carilah kawan sebanyak-banyaknya, tapi ada aturan dalam pergaulan. Jangan sampai engkau lengah dan terperdaya.”
Ketika aku berusia 19 tahun. Ibu berkata, “Nak, mencari pasangan hidup harus hati-hati. Jangan langsung memutuskan apakah mereka pantas untukmu atau tidak. Saat ini, lebih baik engkau memilih banyak teman terlebih dahulu. Nikmati masa mudamu, jangan menyia-nyiakan waktumu hanya untuk bergonta-ganti pacar.”
Ketika aku berusia 20 tahun. Ibu berkata, “Nak, bagaimana sekolahmu? Kapan lulusnya? Cepatlah cari calon pendamping hidup yang baik untukmu. Nanti kalau sudah di dunia kerja, bakalan sibuk, dan tidak ada waktu buat ber’pacar-pacar’an.”
Ketika aku berusia 21 tahun. Ibu berkata, “Nak, apakah kamu sudah sreg dengan pria ini? Coba sambil menunggu lulus, dijalani dulu, dimantapkan dulu hatinya.Jangan terburu-buru, lebih baik sedikit terlambat daripada nanti malah menyesal belakangan.”
Ketika aku berusia 22 tahun. Ibu berkata, “Nak, apa kamu yakin mau melanjutkan sekolah ke luar negeri? Ibu sama sekali tidak menentang, ibu hanya titip doa restu, semoga kamu senantiasa dalam lindunganNya, semoga kamu selalu sukses, bahagia, dan tercapai cita-citanya. Ati-ati ning negarane wong yo nduk.Ojo lali pesen e wong tuwo.(hati-hati di negara orang, jangan lupa pesan orang tua)”
Ketika aku berusia 23 tahun. Ibu berkata, “Nak, setelah lulus, kamu mau apa? Apa masih ingin sekolah lagi? Atau kamu mau kerja? Trus, kapan berencana menikah? Kalian kan sudah lama menjalin hubungan. Ibu dan ayah juga sudah menunggu-nunggu. Ayo coba dimantapkan hubungan kalian ini sebenarnya mau dibawa kemana.”
Yup, setahun kemudian. Ketika akhirnya aku lulus, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dan secara kebetulan, seolah-olah menjawab semua pertanyaan mengenai masa depan kami, kekasihku juga diterima di perusahaan yang sama. Ayah dan ibu tentunya merasa sangat amat bangga karena aku berhasil lulus, dan sudah bekerja. Dengan kata lain, beban mereka berkurang satu. Perjuangan mereka selama 24 tahun membuahkan hasil. Boleh dibilang aku sukses melalui 23 tahun perjalanan hidupku.
Di usiaku yang ke 24, pintu gerbang menuju hidup yang baru, menjadi manusia yang matang, dewasa, dan mandiri sudah terbuka lebar. Sebuah pesan singkat pada hari ulang tahunku yang ke 24 menjadi pelita baru, dan tentunya memberi semangat baru dalam hidupku. Kata ibu,”Bayi manis yang lahir 24 tahun yang lalu, cantik, lucu, menggemaskan, dan tanpa daya. Makan disuapi, manja, dan rapuh. Kini sudah dewasa dan mandiri. Tegar, tegas, dan bisa menyuapi dirinya sendiri. Walau sayapnya kini telah kuat untuk terbang sendiri, tapi hati ini tetap ingin merengkuhnya ke dalam pelukan seperti dulu. Selamat ulang tahun yo nak. Kowe wis gedhe kudu ati-ati dalam setiap langkah. Hanya doa dan restu yang tak pernah lupa selalu kupanjatkan untukmu. Salam sayang dari ayah dan ibu.”
Air mata ini tidak berhenti mengalir. Aku tahu, seperti kata orang, jauh di mata dekat di hati, meski kini sebentang samudera memisahkan keberadaan kami, namun cinta ayah dan ibu selalu menyertaiku. Doa dan restu mereka selalu memberi semangat baru dalam hidupku. Terima kasih ayah, ibu. Tidak henti-hentinya kupanjatkan puja dan puji bagi kemuliaan namaNya yang telah memberiku hadiah terindah yang abadi, tidak akan lekang oleh waktu, dan tidak akan pudar oleh usia. Hadiah yang aku tahu selamanya akan tetap menjadi milikku dan adik-adikku, yakni cinta dan doa restu dari kedua orang tuaku.
Luph u much mom and dad ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H