Mohon tunggu...
Sylvia Purnomo
Sylvia Purnomo Mohon Tunggu... -

seorang gadis yang mengemban mimpi dan cita-cita orang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Arti Cinta Tak Lagi Penting...

14 Mei 2010   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:13 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekedar sharing apa yang menjadi uneg2 di kepala saya...mohon maaf sebelumnya apabila pendapat saya salah dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. mohon kritik dan masukannya^^

----ooo----

Ketika perekonomian semakin maju, ketika kehidupan masyarakat semakin modern, kudapati kenyataan bahwa cinta bukan lagi sesuatu yang penting, yang terutama dan yang terindah. Cinta sudah berubah maknanya, bukan lagi bercerita mengenai kasih dan kebersamaan, namun cenderung mengarah pada nafsu dan materi. Cinta diwarnai dengan individualisme dan keegoisan, cinta telah melalaikan indahnya pengorbanan dan gotong royong, bahkan cinta telah melupakan hangatnya rasa cinta itu sendiri.

Jaman ketika kereta api masih berbunyi "tuut tuut...jess jess...tuut tuut", yang kata nenekku jaman sepur lempung. Orang tua meskipun sibuk, namun ibu ada di rumah. Pagi hari menyiapkan sarapan, keluarga makan bersama2, ketika semua pulang ke rumah, hangatnya tatapan ibu dan aroma khas masakan ibu sudah tercium di pintu rumah. malam hari, biarpun diwarnai pertengkaran, namun kehangatan keluarga masih penuh terasa. Keluarga, kerabat, berkumpul dan berbincang2, maklum karena belum ada yang namanya televisi. Kakek nenek duduk bersimpuh di lantai yang seadanya, memang buruk dan dingin, namun hati tetap terasa hangat karena kehadiran mereka2 yang selalu mencintainya, mensupportnya di hari2 tuanya. Meskipun sederhana, namun kehangatan ini telah membentuk watak seorang anak dengan begitu kokoh. Ingatan indahnya kebersamaan menciptakan individu yang penuh kehangatan dan kepedulian dengan sesama. Dan yang tak kalah pentingnya, rasa bakti dan cinta pada orang tua menjadi dasar suksesnya pengembangan diri seseorang, keinginan untuk maju dan berkembang demi kepentingan bersama. Syukur dan pujian terus berkumandang bagi kebesaran namaNya, kehidupan sekalipun susah dan melelahkan, namun terasa benar maknanya.

Namun kini, saat kereta api sudah berubah menjadi jet, ketika suaranya bukan lagi "tuut tuut", para orang tua sibuk bekerja dari subuh sampai larut malam. Kesempatan untuk bermesraan dengan keluarga dan anak2 hanyalah sebatas pada kata "Ayo bangun, sudah saatnya sekolah!!! Jangan terlambat, Jangan malas!!!" Bangun pagi, anak2 hanya melihat papa dan mama yang sudah rapi dalam busana kantor, siap angkat koper dan masuk mobil. Setelah seharian berada di sekolah, pulang hanya berjumpa dengan rumah yang kosong, malam tidur ditemani senandung radio. Sabtu dan minggu ada acara ini dan itu, sehingga kesempatan untuk berjumpa pun kembali berkurang. Aroma masakan ibu sudah tidak pernah tercium lagi, yang ada hanyalah aroma bekal bikinan 'suster' dan 'si mbok', atau mungkin aroma khas masakan dari depot A.

Keadaan ini menjadikan anak lebih dekat dengan orang lain yang bukan orang tuanya sendiri. Menjadikan anak seorang pribadi yang 'salah kaprah, ga jelas juntrung e'. Seiring perkembangan jiwanya, mereka mencari2 sosok yang dapat diidolakan, dan tokoh publik lah yang kemudian menjadi sandaran mereka. Orang tua yang seharusnya menjadi panutan, lama2 berubah menjadi seoonggok kain kumal di ujung rumah. Duduk manis di kursi roda, tak ada anak cucu yang menemani. Dengan alasan sibuk dan sibuk, anak dan cucu2nya meninggalkan orang tua duduk manis hanya ditemani seorang pembantu dan selang infus... mengenaskan!!

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat pun, generasi muda yang notabene dewasa secara instan saat ini pun tidak ubahnya seperti strawberry (import istilah dari taiwan ^^) manis dan cantik di luar, tapi rapuh dan tidak bisa bertahan lama, selain itu juga tidak bisa bertahan dalam tekanan kehidupan. Individualisme tumbuh dengan pesat tak ubahnya seperti jamur menggerogoti rotiku tadi pagi (udah mulai lapar ^^). Kepedulian terhadap lingkungan, terhadap sesama, bahkan terhadap negara tercinta pun pudar seiring perkembangan jaman. "Ah, kalau cuma aku yang bertindak, itu ga ada gunanya. Jadi percuma saja aku susah2, mending ikut arus." Ungkapan2 senada sudah sering terdengar di masyarakat. Keluhan, rengekan, dan segala ungkapan bernada seperti itu terus menerus terdengar di sekitar kita. Kemanakah perginya pujian2 akan keindahan alam di pagi hari, kemanakah perginya syukur yang seharusnya menyertai hidup kita sehari2.

Saat ini, kita terus menerus komplain dan komplain mengenai kebobrokan yang terjadi di masyarakat, mengenai lingkungan yang tidak nyaman, dll, namun kita tidak menyadari bahwa ini semua adalah buah dari perbuatan kita selama ini, dan kenyataan ini harus dihadapi, bukan dengan mengeluh dan merintih, tapi dengan tindakan nyata. Mau dibawa kemanakah hidup kita ini apabila kita tidak mulai mengubahnya dari sekarang!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun