Mohon tunggu...
Silivester Kiik
Silivester Kiik Mohon Tunggu... Guru - Founder Sahabat Pena Likurai

Hidup hanya sepenggal cerita tentang perjuangan, sekelumit jejak-jejak kaki di bumi, aku, kamu, dan mimpi kita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembalikan Budaya Tenun yang Termakan oleh Virus Globalisasi Digital

7 Januari 2017   03:17 Diperbarui: 7 Januari 2017   03:43 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Budaya tenun ikat saat ini boleh dikatakan hilang termakan oleh virus globalisasi digital. Virus yang memanjakan kita untuk kehilangan akan berbagai nilai-nilai budaya yang tertuang dalam ragam motif tenun ikat tersebut. Kita lebih cenderung sebagai konsumtif akan nilai-nilai modern dibandingkan sebagai produktif akan nilai-nilai tradisional. Hal ini jika dianalisis secara kasat mata, maka hilangnya nilai-nilai yang tertuang dalam motif kain tenun ikat mulai menurun dan bahkan hilang bagi generasi penerus kebudayaan.

Generasi penerus bangsa lebih menghabiskan waktunya dengan kemanjaannya pada berbagai alat-alat elektronik (televise, gadget, handphone, game, dan lain sebagainya) dibandingkan dengan menghabiskan untuk belajar menenun. Hal ini akan berdampak pada keingintahuan seseorang terhadap bagaimana proses dan hasil dalam tradisi budaya tenun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi sangat berperan penting dan tidak bisa untuk dihindari bagi setiap individu dalam kehidupannya, karena kemajuan teknologi berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dewasa ini, teknologi telah menjadi sebuah kekuatan otonom yang telah membelenggu perilaku dan gaya hidup kita sendiri. Dengan daya pengaruhnya yang sangat besar dan ditopang oleh sistem sosial yang kuat, dan dalam kecepatan yang semakin tinggi, teknologi telah menjadi pengarah hidup setiap individu. Masyarakat yang rendah kemampuan teknologinya cenderung tergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi.      

Perkembangan dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang demikian pesatnya telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Seluruh pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik cukup besar, kini relatif digantikan dengan perangkat mesin otomatis yang mengalihfungsikan setiap pekerjaan dengan cepat dan hasilnya cukup menakjubkan. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku dan gaya hidup manusia yang serba modern sehingga peradaban budaya manusia dalam hal ini budaya tenun yang telah dipelihara dan dilestarikan oleh para leluhur akan luntur secara perlahan.

 Jika direnungkan, pada kehidupan era globalisasi ini hampir seluruh generus penerus melupakan akan budaya tenun yang telah diajarkan secara turun-temurun demi menjaga nilai dan makna yang terkandung dalam setiap ragam motif yang digambarkan atau tertera pada kain tenun ikat yang ada. Tenun ikat dipandang memiliki nilai-nilai simbolis yang terkandung di dalamnya, termasuk arti dari ragam rias yang ada memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat istiadat.

Ragam hias pada kain tenun ikat yang ada di hampir semua daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya merupakan sifatnya sebagai hiasan atau dekorasi belaka, namun ragam hias yang terdapat pada setiap kain tenun yang dihasilkan melalui motif dan warnanya merupakan manifestasi dari kehidupan masyarakat yang ada. Hal ini merupakan sebuah simbol atau lambang, sehingga memiliki arti tertentu seperti warna hitam berarti kedukaan, merah berarti kejantanan, putih berarti kesucian, kuning berarti kebahagiaan, biru berarti kedamaian, dan hijau berarti kesuburan. Sedangkan pola dasar dari bentuk corak ragam motifnya dihasilkan berupa ragam hias zoomorpic (bentuk fauna, misalnya Garuda Pancasila), ragam hias antropomorph (bentuk manusia), ragam hias flora (stilisasi tumbuhan), ragam hias geometri (kerucut, segitiga, dan lain sebagainya), dan ragam hias replica yang berupa ragam hias kain Patola (India Utara).

Tenun ikat dalam proses pembuatannya tanpa diperlukan teknologi modern untuk menggambarkan setiap ragam motifnya, tetapi diperlukan proses kesabaran yang cukup panjang dalam menghasilkannya. Hal ini dimulai dari penanaman bibit kapas, pemanenan, penjemuran, pemilahan kapas, proses penghalusan, pemintalan kapas menjadi benang, proses penggulungan, pewarnaan benang, hingga sampai pada proses penenunannya. Semua alat yang dibutuhkan sangat sederhana dan mudah didapatkan. Alat tersebut di desain dari kayu, bambu, dan lain sebagainya. Sehingga kain tenun yang dihasilkan benar-benar alami.

Kain tenun ikat yang dihasilkan berfungsi dan bernilai ekonomis, sosial, maupun budaya. Hal ini dapat dilihat bahwa kain tenun ikat dipakai sebagai salah satu objek belis dalam upacara perkawinan, kain penutup jenasah, dan juga dapat memberikan identitas sosial (etika dan estetika) dari si pemakai. Fungsi utama kain tenun ikat adalah sebagai berikut: 1) sebagai busana sehari-hari untuk melindungi tubuh, 2) sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian adat/upacara adat, 3) sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (belis/mas kawin), 4) sebagai pakaian adat perkawinan, 5) sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian, 6) sebagai alat untuk denda adat dalam mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat suatu pelanggaran adat, 7) sebagai alat tukar dalam bidang ekonomi, 8) sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat, 9) sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu akan dilindungi dari gangguan alam, bencana, roh jahat, dan lain sebagainya, 10) sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang, 11) sebagai sumber pendapatan masyarakat di pedesaan, dan 12) sebagai pakaian resmi untuk Pegawai Negeri Sipil pada hari tertentu.      

Dahulu, setiap wanita yang pandai menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Hal tersebut menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang atau sebuah keluarga. Hasil tenunannya sangat dibanggakan karena memiliki suatu sugesti yang memberikan kekuatan terhadap suatu tindakan. Hal ini nampak ketika ibu atau saudarinya memberikan kain tenun hasil buatannya kepada anaknya yang pergi merantau atau yang akan menikah. Material yang diberikan dianggap sebagai suatu media yang memberi kekuatan kepada si anak atau saudaranya di rantauan atau di kehidupan rumah tangganya yang baru. Kekuatan yang diberikan melalui rangkaian ragam motifnya berupa kasih sayang yang tak terlupakan. Berdasarkan hal tersebut bahwa perlu adanya kesadaran bagi kita semua untuk terus melestarikan kasih sayang yang telah tertuang secara turun temurun melalui ragam motif kain tenun yang dihasilkan. Jika bukan sekarang, kapan lagi. Apakah kita akan selalu dikuasai oleh virus globalisasi terus menerus dengan mengorbankan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada? Apakah kita hanya berdiam diri tanpa melakukan perubahan untuk mengembalikannya? Perubahan tersebut hanya di mulai dari tindakan kita. Tindakannya berupa Think globally, Act locally.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun