Harapan bagi setiap manusia adalah menjadi lebih baik lagi, terus dan terus, Akan tetapi iman dan semangat tidak selalu berjalan mulus, melainkan naik turun bagai ombak yang berdebur keras menghunus, pasang surut kehidupan juga menyesuaikan suasana dan kondisi hati seseorang yang tulus. Hati ibarat timbangan yang mengolah sesuatu baik atau tidak. Mempertimbangkan baik tidaknya suatu tindakan yang dilakukan atau ucapan yang akan diputuskan. Sehingga hati akan mendapatkan rangsangan dari otak untuk menstimulus kepada seluruh anggota badan, agar menampakkannya dalam tindakan.
Sebagaimana menjadi leader juga harus memiliki hati jernih dan murni, meskipun pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu berbeda, yang mengatakan bahwa laki-laki lebih condong dalam olah fikirannya sedangkan perempuan lebih mengunggulkan hati atau perasaannya, iya memang demikian, akan tetapi jika antara hati dan fikiran seimbang maka dalam menyelesaikan masalah akan memutuskan seuatu yang tegas dan tepat. Sehingga menindaklanjuti tugas tidak akan pernah terbebani dan juga semangat dalam menjalankannya.
Hal yang seharusnya dimiliki bagi seorang leader dalam memutuskan sesuatu adalah mempertimbangkan dengan hati dan fikirannya kemudian dimusyawarahkan dengan anggota hingga menghasilkan kemufakatan yang tepat. Misalnya dalam pelaksanaan program terdapat provokasi dari luar kepengurusan, yang sebenarnya itu datang dari orang yang juga berperan penting dalam susunan dewan pengasuh. Sebut saja bu Ambar yang telah menjadi bagian keluarga ndalem,serta salah satu dewan pengajar kami.Â
Beliau merupakan menantu dari putra pertama abah kyai. Sebenarnya hanya memberi masukan kepada kami (pengurus), akan tetapi cara dan olah bahasanya seakan-akan memprovokasi kami, meskipun beliau adalah orang yang baik dan penuh semangat. Sedangkan selama ini yang kita pertahankan dalam membentuk program adalah sesuai dengan petunjuk dan harapan dari pengasuh utama karena semua wewenang ada pada beliau.
Berkata tentang wewenang tetap ada pada siapa yang mendirikan pertama. Jika memang pendiri pertama masih ada dan sehat alangkah baiknya meneruskan apa yang diharapkan dan dicita-citakan oleh beliau, karena kembali lagi jika provokasi dari bu Am akan mengganti program yang sudah dibentuk sedangkan itu memberatkan santri dan pengasuh utama tidak menyetujuinaya ataupun tidak berkenan dengan hal yang di usulkan maka tetap kita menerimanya dan mencari jalan keluar dari usulan tersebut.Â
Karena itu sebagai leader kembali pada ambang keseimbangan diantara mereka. Provokasi muncul karena memang komunikasi antara bu Am dan pengasuh kurang berjalan dengan baik, hal ini sudah tampak dengan sendirinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dalam menyelesaikannya kependirian seorang leader sangat dibutuhkan dengan memusyawarahkannya.
Usai musyawarah, wujudlah tindakan yang harus lebih mengimbangkan untuk tidak condong dan memihak kepada siapapun, bagimana pengasuh utama menyetujui dan memberi keyakinan, juga kepada bu Am tidak merasa diacukan bahwa beliau termasuk bagian keluarga ndalem dan kepada santri tetap tidak memberatkan dengan memberi penjelasan dan pengertian. Dari tiga komponen inilah harus dijaga bagi seorang leader, sehingga  harus siap menerima resiko dan konsekuensi yang diterima.
Hal demikian jika tidak diolah dan ditimbang oleh hati maka sudah dapat diputuskan, ketidakseimbangan, kungkungan kebencian dan hati yang tersakiti akan tetap ada pada komponen tersebut. Oleh karena itu dengan memahami dan mengambil hikmah dari setiap kejadikan perlu dilakukan demi keberlangsungan hidup untuk menjadi lebih dewasa dan mengerti. Sehingga hal yang akan dilakukan tidak sia-sia dan penuh makna.
Bersamaan dengan itu sudi kiranya menjadi orang terpilih berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik, meskipun jauh dari kesempurnaan. Karena sejatinya manusia adalah tempat segala salah dan cela. Semoga apapun yang dilakukan dalam proses pembelajaran diri dalam kehidupan dapat menuai keberkahan dan kemanfaatan, terlebih iringan ridho dari Sang Penentu Qodlo’. Amiin Amiin Ya Robbal’alamiin.
Belajar menjadi lebih baik itu jauh lebih baik daripada lebih baik belajar,
Lebih baik belajar itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.