Semangat juang pencari ilmu bukan hanya terlihat dari bagaimana dia menimba dan mendapatkannya, melainkan bagaimana proses yang dilaluinya, yang itu akan menentukan hasil akhir dalam kehidupannya, ketika sudah tak lagi mencari ilmu di institusi atau lembaga pendidikan lainnya. Disaat itulah ilmu menjadi penerang dalam gelapnya dunia yang selalu dibutuhkan dalam setiap langkah kehidupan. Sehingga terlihatnya ilmu itu bermanfaat atau tidak tergantung bagaimana ia mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak cara bagaiamana seseorang mendapatkan ilmunya, disini ada tiga tipe menurut pengamatan saya dalam sehari-hari, golongan pertama adalah orang yang hanya mendapatkan ilmu dari buku dan informasi dari berbagai media, baik visual, audio maupun audio-visual. Golongan ini seringnya diisi oleh orang yang selalu berperingkat di kelas, kebanyakan pendiam dan tidak banyak ulah ataupun tindakan. Sehingga dia hanya mendapatkan satu ilmu saja, dari apa yang dilihat dan didengar. Kemudian golongan kedua yaitu sebaliknya dari golongan pertama yaitu orang yang medapatkan ilmunya hanya melalui pengalaman sehari-hari, suka berulah, bertindak dan mencoba-coba hal baru, serta orang seperti ini juga hanya mendapatkan satu ilmu saja, dari apa yang dilakukannya tanpa ada dasar pengetahuan. Sedangkan golongan ketiga yatiu gabungan dari keduanya, ini merupakan tipe orang yang mendapatkan ilmunya dari buku atau teori yang ia kombinasikan. Apakah materi yang dipelajarinya sesuai dengan yang dilakukan sehari-hari atau sebaliknya tidak sesuai. Golongan ketiga ini hanya dimiliki orang-orang tertentu yang bisa menyelaraskan antara apa yang dia pelajari dengan apa yang dia lakukan, sehingga dia mengetahui dan mengerti apa yang dilakukannya. Misalnya seorang leader yang harus bisa menyelaraskan atara keduanya. Orang seperti ini juga akan mendapatkan dua ilmu, dari apa yang dilihat, didengar dan juga tindakan secara langsung.
Melihat pengalaman yang sudah terjadi, menjadi pimpinan atau leader bukan berarti keutuhan cinta jabatan, atau hanya ingin terkenal dan dikenal banyak orang, bukan. Menjadi leader pun tidak serta merta harus memaksakan orang lain untuk tetap memilihnya, memihaknya dan mempertahankannya, itu juga bukan. Tapi leader merupakan kombinasi dari apa yang di dalam dirinya dan apa yang oleh orang lain lihat pada dirinya. Bahkan jika tidak diminta untuk memilih dirinya, mereka juga akan memilih dengan sendririnya. Karena apa yang ada didalamnya memiliki daya tarik tersendiri.
Menjadi leader termasuk dalam golongan tiga yang cara mendapatkan ilmu dengan belajar dan tindakan. Tindakan disini mengarah pada sebuah proses pengabdian yang dia lakukan dimanapun berada. Dengan itu, disamping dia mendapatkan ilmu atau informasi dari lainnya juga mengetahui langsung bagaimana tindakan yang sesuai untuk diambil dalam menyikapi hal tersebut. Terlebih menjadi leader tidak hanya memperhatikan dirinya saja akan tetapi juga diri orang lain. Lebih peka, lebih tanggap dan lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah merupakan nilai yang harus dimiliki seorang leader. Bijaksana, sabar, tanggap dan nilai lainnya tidak bisa hanya dipelajari dan didapatkan dari bangku sekolah, buku dan media saja, karena hal tersebut hanya bisa didapatkan ketika ia melakukan hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Terbukti dalam kehidupan saya pribadi, ketika menjadi leader di pondok pesantren, dan sekarang kedua kalinya saya menjabat, dulu ketika masih berada dibangku madrasah aliyah, saya menjadi ketua pengurus selama satu tahun, dari sanalah awal mula bagaimana belajar mengoptimalkan diri, meminimalisir kemarahan, belajar lebih sabar, bijaksana dan kewibawaan. Hal-hal seperti itu hanya bisa didapatkan ketika kita belajar mengabdikan diri atau sebut saja dengan menjadi bagian dari leader manusia. Dan sekarang saya menjabat yang kedua kalinya dengan dibarengi tugas akhir kuliah yang semakin hari semakin menggila sedangkan permasalahan dan kegiatan di pondok pesantren juga tidak kalah membludak.
Kenapa harus pondok pesantren, karena saya pribadi lebih banyak hidup disekitarnya dari pada di sekitar rumahan atau kost. Struktur kepemimpinan di pondok pesantren disamping yang paling terpercaya juga masih menganut semi otoriter. Pengasuh pondok pesantren (kyai) memiliki kekuasaan dan kewenangan lebih, sedangkan leader atau ketua podok pesantren juga diberi sedikit kewenangan untuk mengurus dan melaksanakan tugasnya dengan sabar, ikhlas dan optimal. Ketika menjadi leader, bagaikan di tengah-tengah antara langit dan bumi. Tidak condong ke atas ataupun ke bawah. Ibarat langit adalah pengasuh dan keluarga ndalem sedangkan bumi ibarat rakyat (santri), orang yang dipimpin. Dari situlah ada pembelajaran bagaimana seorang leader menerima titah dari langit tanpa memberatkan masyarakat pondok pesantren, begitu juga usulan atau pendapat dari bawah tentang kesejahteraan dan ketenangan juga disampaikan ke langit tanpa mengurangi rasa hormat. Disamping menjadi leader, juga menjadi media komunikasi antara langit dan bumi, sehingga informasi yang dibawa pun harus akurat. Terlebih menjaga keseimbangan diantara keduanya.
Oleh karena itu untuk mendapatkan keduanya, ilmu dan pengalaman, maka sebaikanya tidak hanya belajar memahami buku dan pelajaran saja, akan tetapi juga belajar memahami kehidupan dalam sehari-hari. Sehingga diri ada bukan didunia fiksi, melainkan kenyataan.
“Menjadi leader kembali bukanlah pilihan, tapi itulah kehedan Tuhan.”
Malang, 05 Februari 2017
Syuff Ainayya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H