(Kisah pribadi. Hanya untuk menyatukan memori-memori kembali)
“Penampilan selanjutnya adalah tarian modern yang akan dipersembahkan oleh kelas 3A!!Beri tepuk tangan...!!!”, teriak pembawa acara dengan penuh semangat.
Wajahku sumringah. Tatapanku lurus, tak ingin meninggalkan sedetikpun apa yang akan aku perhatikan di depan. Jantungku sedikit berdebar. Tak sabar ingin menyaksikan penampilan terakhir dari teman2 kelas, karna aku tak pernah menyaksikan mereka berlatih di dalam kelas ketika berada di penghujung waktu akhir belajar di kelas 3 SLTPN 12 Bengkulu.
Wajar saja aku sangat bersemangat ingin menyaksikan penampilan seni itu, saat kelas 6 SD beberapa tahun yang lalu pun untuk angkatanku tak diadakan perpisahan seperti SDN 81 Rangkong yang bersebelahan posisinya, pun satu komplek dengan SDku. Walaupun kami semua tahu bahwa SDN 99ku ini adalah SDN baru rintisan, yang hampir setengah muridnya adalah hasil transfer dari SDN 81 Rangkong. Aku kecil hanya bingung sendiri kenapa tak ada perpisahan sekolah pada SDN 99? Padahal aku dan teman-teman lain ingin sekali dapat bernyanyi lagu “Terima kasih guru”untuk terakhir kalinya. Padahal aku ingin berharu biru bersama teman-teman sebelum kami berpisah pada SLTP yang berbeda-beda, atau bahkan berpisah dengan mereka yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Pun aku tak dapat menyaksikan pentas seni persembahan dari adik-adik kelas yang akan menari, berpusi, dsb untuk kami seperti kebanyakan acara perpisahan yang ada di setiap SD lainnya. Entahlah!aku yang masih ingusan ketika itu hanya menerima kenyataan itu begitu saja.
Akhirnya...Inilah acara perpisahan sekolah pertama yang aku dapati! Perpisahan SLTPN 12 Bengkulu! Betapa senangnya. Tapi tiba-tiba ada suara yang mengejutkan.....
“Ti (panggilanku)....ayo cepat pamit dengan guru-guru dan Kepala Sekolah!”, sahut Apa (ayah) yang berjalan dari kursi belakang, mendekati kursiku.
Aku menelan ludah.
“Kok cepat sekali pamitannya??”, timpalku yang belum ingin beranjak dari acara yang kunantikan ini.
“Kalau tak cepat, nanti kita terlambat. Masih ada hal-hal lain yang perlu kita persiapkan untuk berangkat nanti!”, balas Apa.
Memang. Aku telah memutuskan sebelumnya akan berangkat ke Jogja, kota pendidikan itu, untuk melanjutkan ke Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta, sekolah putri pengkaderan Muhammadiyah. Tapi, hatiku ngeyel saat itu.
Aku kan belum selesai ikut acara perpisahannya?!Aku kan belum tampil nyayi bersama teman-teman satu angkatan, padahal aku sudah latihan sebelumnya??!Aku kan belum lihat penampilan terakhir dari adik kelas??! Aku kan...
Hhhh....!!! Kuhela nafas dan melirik Julian Damayanti, teman akrab yang sedari tadi duduk di sebelahku. Kuberi senyum getirku. Dengan perlahan aku maju ke kursi paling depan, menuju Ibu Kepala Sekolah untuk berpamitan. Kusalami beliau dan beberapa teman yang dapat aku jangkau. Sambil melirik ke arah panggung, mencuri-curi waktu untuk menyaksikan tarian yang sudah dimulai. Tatapanku nanar. Aku berlalu. ..Kutatap sekali lagi beberapa orang teman yang masih larut dalam tarian. Santi, Rinda, Dwi, Sheila, Liza,Mira, Tisep, Awang, Dika, Iwan.....Sudahlah! mungkin aku adalah sekian dari manusia yang tak pernah ditakdirkan menikmati masa perpisahan.
Julian lesu campur haru seraya mengucapkan selamat jalan. Langit Bengkulu ketika itu serasa kelam. Segenap semesta kurasakan bernyanyi memenuhi kedua telingaku, membahana dengan irama seriosa, serenade paduan suara.
Trima...kasihku kuucapkan...
Pada...guruku...yang tulus...
Ilmu yang berguna...slalu kau limpahkan..
Untuk bekalku nanti....
Setiap hariku...dibimbingnya...
Agar tumbuhlah bakatku...
Kan kuingat slalu nasehat guruku...
Trimakasihku....guruku.....
*************************************************************************************
Hari-hari di bus kuhabisi dengan pejaman mata. Baru kali ini aku melakukan perjalanan darat yang membuat seluruh tulang serasa remuk! Tiga hari dua malam di dalam bus! Isi perut benar-benar serasa dikocok.
“Kita sudah sampai di Yogyakarta...”, kata Apa.
Aku, Kakakku, dan seorang sepupuku yang notabene akan melanjutkan studi di Yogyakarta juga bergegas turun dan membawa barang-barang yang dibawa. Setelah turun, Apa mencari taxi yang akan mengangkut kami menuju hotel yang dekat dengan Madrasah Mu’allimaat.
Tibalah kami di sebuah hotel, di jalan Ibu Ruswo, hanya beberapa meter jaraknya dari Alun-alun dan Keraton kota Yogyakarta.
“Iki Jogja tho...”, gayaku berlagak ingin menirukan bahasa Jawa. Dalam benakku, bagaimana aku akan dipermak oleh kota yang disebut-sebut sebagai kota berbudaya, bertutur halus, berhati nyaman itu, seperti jargon-jargon yang aku baca ketika dalam perjalanan di bus saat telah memasuki kawasan DIY. dulu kuberfikir, mungkin ini salah satu cara Tuhan untuk mengubah karakterku. Kala itu, aku memang memiliki karakter agak kasar. Tak bisa bertutur lembut. Jadi, aku membayangkan Jogja tak ubahnya seperti mesin pencetak karakter. Setiap orang yang masuk beberapa lama di dalamnya, akan berubahlah karakternya 180 derajat! Itulah imajinasiku saat itu. Hahaha.
Makan pagi, siang dan malam sebagian besar kami lewati di rumah makan Padang. Lidah kami belum begitu bersahabat dengan makanan jawa. Apa juga begitu, walaupun ia telah sering ke Jogja untuk mengikuti berbagai kegiatan Dinas maupun ormas, tampaknya ia lebih cenderung ke rumah makan yang terkenal hingga seantero dunia itu.
Setelah melewati berbagai tes dan menunggu beberapa hari, akhirnya tibalah pada hari yang dinanti-nantikan : pengumuman kelulusan! Aku sedikit khawatir, takut tak lulus. Apalagi di depan pintu dan komplek madrasah telah ada beberapa petugas yang dikirimkan dari beberapa pondok pesantren lain di sekitar Jogja untuk mempromosikan pondok mereka bagi yang tidak lulus di madrasah ini. Cukup menambah suasana disana jadi mendebarkan. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Al jauziyyah yang sebelumnya pernah kami datangi, untuk melihat-lihat sekaligus berjaga-jaga jika aku kakakku tau keponakanku mendapati keputusan pahit; tidak lulus tes!
Bola mataku bergerak ke atas-ke bawah, menatap tajam setiap nama yang tercantum di papan pengumuman.
“I.....”, lirihku mencari-cari huruf depan namaku.Dan tak begitu lama...
“Ya! Ini namaku!”, sorakku senang.
“Alhamdulillah...diterima...”, sahut Apa sambil tersenyum lega.
Pandanganku melayang ke arah tulisan di salah satu sudut Madrasah : "Mendidik Calon Guru dan Pemimpin Putri Islam". Membayangkan, disinilah aku akan menghabiskan masa remajaku, mengukir masa depan, merajut harapan-harapan orang tua, dan tentu saja menemukan makna hidup, diri, melebur padu bersama ke-Jogjaan...
*************************************************************************************
[caption id="attachment_79926" align="aligncenter" width="300" caption="Madrasah Mu"]
Entah ini sudah yang keberapa kalinya aku mendengar celetukan itu. Bahkan bagi orang-orang yang tidak mengenalku, mereka mengira bahwa aku adalah murid Tsanawiyah. Seperti karyawan madrasah yang pernah mengira bahwa aku bukanlah murid Aliyah ketika sedang mendaftar ulang.
“Pak, pendaftaran ulang murid Aliyah bukan disini. Silakan bapak menuju ruangan di ujung sana.....”.
“Oooh...anak saya ini murid Aliyah, Bu!”,jawab Apa sembari menunjukkan kartu kuning, tanda bagi siswa Aliyah.
“.....maaf, Pak. Saya kira Tsanawiyah. Soalnya kecil sekali badannya...”.
Badanku memang kecil. Tak seperti perawakan sebagian besar murid Aliyah lainnya. Ketika diukur pada pertama kali oleh madrasah, tinggiku hanya 144,2 cm dan bobotku 32 cm, tekanan darah 90/60 dan HB 11. Seperti anak kurang gizi dengan musibah pertumbuhan lambat, jika tak tega menyebut dengan istilah biologi Kretenisme.
Setelah menyelesaikan segala urusan, Apa menemaniku membeli kasur,bantal, gayung, rak buku, dan keperluan lainnya yang disediakan di koperasi sekolah. Hingga setelah ia mengantarkan akudan sepupuku menuju asrama yang telah ditentukan dari madrasah, serta menyelesaikan segala macam administrasi Kakakku yang mendaftar di Madrasah Mu’allimiin, akhirnya beliau pun akan kembali ke Bengkulu, lantaran masih ada pula pekerjaan kantor yang mengantrenya.
“Apa kapulang ko yo...Elok-eloklah disiko. Beko kok alah sampai di rumah, Apa telepon dih?”, tutur Apa dengan bahasa minang, yang akan meninggalkanku, meninggalkan anaknya jauh dari kampung halaman, dan tentu saja jauh darinya.
“Iya..”, jawabku singkat, dengan suara agak berat.
“Ndak apa-apa kan? Pasti bisa! Disini kan banyak teman-teman. Kalau ada apa-apa nanti sampaikan saja kepada bapak asrama. Gitu ya kan Pak?? Titip anak saya ya, Pak!”, tambah Apa meyakinkan diriku sembari memandang ke arah bapak asrama. Bapak asrama pun tersenyum mengiyakan.
Setiba di kamar....
Ha...???!!Aku harus tinggal bersama teman-teman baru? tanpa orang tua!walaupun di setiap asrama terdapat pamong asrama, tapi rasanya akan beda....
*************************************************************************************
Seorang perempuan cantik dan tinggi mendekatiku. Namanya Dewi. Dewi Hurliantina. Mantan atlet basket yang berasal dari Lombok itu tersenyum manis. Kami berkenalan.
“Panggil aja aku Tuti. Emmm....kamu udah lama sampai di asrama ini?”, tanyaku.
“Ndak, baru tadi pagi aku kesini...”, jawabnya dengan logat aneh, seperti aksen masyarakat Bali. Ia menjelaskan perjalanan panjangnya hingga sampai ke madrasah ini.
“Logatmu aneh...kayak orang Bali”, kataku mempertanyakan tentang irama bahasanya yang sedari tadi aku perhatikan.
“Iya, kan Lombok dekat sama Bali. Logatmu juga khas kok”,balasnya.
Memang, ketika itu kami sama-sama tak menyadari bahwa hidup bertahun-tahun di kota masing-masing telah membentuk dialek bahasa. Meski kami tlah merasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi tetap saja hanya lawan bicara sajalah yang bisa menilai kejanggalan-kejanggalan dalam berbahasa. Baik itu berbentuk irama, diksi, maupun dalam merangkai sebuah kalimat. Pembicaraan kami pun mengalir.
“Assalaamu’alaikum”, suara seorang perempuan dari luar pintu. Dengan segera kami menghampiri ke luar. Seorang perempuan bermata sipit dan seorang Ayah yang membawa barang-barang.Ternyata kami mendapat seorang teman baru lagi, dari Bengkulu! Wah, jauh-jauh ke Jogja ada teman dari Bengkulu juga rupanya. Ia berasal dari Curup, salah satu kabupaten di Bengkulu. Begitupun selanjutnya. Berbagai teman satu demi satu telah menempati asrama. Banten, Lampung, Tegal, Ponorogo, Magelang, Wonosobo, Blitar,Sulawesi Tenggara, Purwokerto, Banjarnegara, Kendal, Pontianak, Jawa Barat, Makassar, Ujung Pandang, dll. Ditambah pula beberapa orang mujanibah, istilah bagi kakak kelas yang menjadi pendamping beberapa orang di setiap kamar. Wuiiih...baru kali ini aku berkumpul dengan teman-teman di berbagai daerah, dengan pembawaan dan karakter yang beragam.
Aku berada di kamar atas, bersama teman yang berasal dari Wonosobo, Blitar, dan satu orang mujannibah yang berasal dari Kulon Progo. Wahidah adalah teman yang berlatar belakang dari pondok pesantren di Wonosobo, sedangkan Desian adalah anak gaul SLTP Blitar yang tampaknya merasa tersesat di Pondok Pesantren. Dan aku...homo sumatranesis yang terdampar di antara tiga perempuan Jawa ini. Tak kubayangkan jika mereka berboso jowo ria, sedang aku nantinya hanya menjadi kambing congek!
“wa...ngng..wa...”, aku terbata-bata membaca arab gundul yang tertera di lembar depan buku milik Wahidah.
“wahidah nur sholihati!”, dengan cepat ia menjawab.
“kok wa-nya bisa panjang?kok bisa tulisan arab namamu bisa kayak gini?”, tanyaku ingin tahu.
Diam. Wahidah hanya menjawab dengan tatapan ketus. Banyak tanya nih orang!, mungkin begitu pikirnya. Percuma juga jika ia menjelaskannya kepadaku. Aku tak akan nyambung jika dijelaskan tentang Nahwu, tata bahasa Arab.
Hari pertama diasrama dibanjiri oleh tangisan penduduk baru asrama yang ditinggalkan oleh orang tua masing-masing. Ada yang menangis sangat keras. Ia adalah April, perempuan yang berasal dari Purwokerto. Padahal jarak Jogja-Purwokerto tidak begitu jauh. Mungkin ia tidak terbiasa hidup sendiri tanpa orang tua di sisinya. Dan ia juga adalah orang yang paling sensitif jika di setiap acara apapun dan dalam kegiatan apapun bila diingatkan tentang Ayah ataupun Ibu. Bisa ditebak jika ada acara kontemplasi, kami akan mendengarkan sebuah jeritan yang sangat melengking. Dan suara itu tentu saja berasal dari pita suara April. Berbeda dengan yang lain, aku tak bisa menangis. Di lain hati, aku bahkan merasa sedikit senang. Lantaran aku tak perlu direpotkan membantu Ama di rumah untuk mencuci piring, menyapu, mengurusi adik, dan tidak mendengar cerewetnya Ama setiap hari kalau seisi rumah berantakan.hahaha.
************
Dug...dug...dug....dug....!!!kakiku satu demi satu dengan cepat menghantam keras anak tangga yang menjadi penghubung lantai bawah dan atas asrama humairoh. Ya. Asrama yang aku tempati ini bernama Humairoh, artinya kemerah-merahan, yaitu panggilan mesra bagi Aisyah dari baginda rasulullah.
“Tuti....naik tangganya agak pelan ya....!”, sahut Abah Alfi, panggilan bagi bapak Asrama Humairoh. Ini adalah peringatan darinya yang kesekian kalinya untukku. Dan aku selalu tak sadar jika setiap hendak menaiki tangga, hentakan kakiku selalu mengganggu beliau dan bayi kecilnya yang masih berumur sekian bulan. Tapi, aku selalu melakukannya, melakukannya, dan melakukannnya lagi.
Satu lagi, aku adalah salah satu makhluk asrama yang memiliki suara bass, sangat keras. Apalagi jika sudah bertemu dengan Putri, teman sipit yang sama-sama dari Bengkulu. Asrama serasa penuh dengan suara kami saja.
“Suaranya jangan keras-keras. Ada adek yang sedang tidur”, teriak Ibu Leli, isteri Abah Alfi penuh khawatir bayinya akan terjaga.
Hhhh...salah lagi...salah lagi...
“Kalau makan jangan membelakangi orang...Gak sopan kalau di Jawa itu...”, salah seorang teman memperingatkanku yang makan sambil nonton tv di depan teman lainnya yang berada di belakangku.
Salah lagi...salah lagi...Tampaknya, ini memang masa adaptasi bagiku dengan kultur yang ada disini. Entah sudah berapa kali tindakanku selalu mendapat teguran. Termasuk hal-hal yang bagiku sudah terasa sopan dan tidak diributkan di Bengkulu, namun disini malahan melanggar tata krama. Aku jengkel. Serba salah.
Besok adalah hari pertama masuk sekolah. Malam ini sebagian teman-teman bergiliran menyetrika seragam. Aku ingin antre, tapi sudah banyak antrean yang mendaftar.
“Habismu siapa yang nyetrika??”, tanyaku kepada Rizka Nuril.
“Habisku Hanum”.
Segera kuhampiri Hanum. “Num!habismu siapa?”.
“Habisku Yeni”, jawab Hanum.
Lalu...
“Habisku kayaknya April”,jawab Yeni.
Dan...
“Mmm...yang nyetrika setelahku mba’ Riska..”, jawab April.
Hhhh...!!ini sih temen-temen kamarnya semua yang dah diantre-kan! Gusar. Kayaknya masih panjang nama yang akan antre. Akhirnya, kurencanakan menyetrika esok pagi sebelum sekolah. Aku pikir, esok pagi antrean itu akan putus dan terdapat antrean baru.
*************************************************************************************
Tarra...!!! inilah baju kurung, jilbab dan rok a la Mu’allimaat!! Saat kucoba, badanku tampak tenggelam. Meskipun ukuran yang aku pilih adalah ukuran M, ukuran terkecil. Seragam Aliyah tak ada yang S, mungkin pimpinan madrasah khawatir banyak murid yang akan memilih ukuran S, agar dapat memakai pakaian yang sedikit ngepres. Demi penampilan, bagian pinggang pada rok sekolah harus kulipat hingga dua kali lipatan. Tak lupa pada bagian belahan lipatan depan rok harus aku tambahkan lagi dua lipatan yang saling berhadapan dengan menyematkan beberapa peniti, karena masih begitu kelebaran.Baju kurung pun lebih parah ukurannya!Sangat lebar, dan begitu panjang. Panjangnya hingga lutut, lebarnya tak dapat diungkapkan lagi. Hingga aku tampak seperti memakai karung!
Ditambah lagi jilbab aneh yang baru kali ini aku temui. Menambah daftar panjang penderitaanku. Jilbab minang kabau namanya. Cara mempergunakannya cukup membuatku tak sabar. Awalnya, di bagian kiri agak pendek, dan di bagian sisi kanan agak dipanjangkan. Dibawah dagu diberi peniti untuk menyatukan keduanya. Lalu, bagian yang panjang dari kain itu diputar ke arah kanan, disamakan panjangnya dengan kain yang berada disebelah kiri. Kemudian dibawah dagu kembali diberi jarum pentul atau peniti. Terakhir, kain di bagian tengah kepala dilipat sedikit dan diberi jarum pentul untuk mngencangkannya. Meskipun tadi malam sudah diajarkan dengan demo memasang jilbab oleh kakak-kakak mujannibah, tapi tetap saja sulit bagi murid-murid baru. Kakak-kakak kelaslah yang akhirnya turun tangan memakaikan ke satu persatu murid baru. Benar-benar ribet ketika itu. Mau sekolah aja kok repot........Gumamku dalam hati.
Waktu seakan-akan kencang berlari meninggalkan kami yang tengah asyik berpentul-pentul ria. Sudah pukul tujuh kurang lima!Kami sebagai penghuni asrama khusus bagi murid baru Aliyah selalu kompak. Setia menanti teman-teman yang belum selesai dengan kesibukannya. Dan ketika semua teman telah siap, seketika kami langsung lari berhamburan melewati gang-gang sempit menuju sekolah yang jaraknya tidak begitu jauh, kurang lebih 200 meter. Tak pelak, kami mendapati teguran dari warga yang mendengar suara bising, suara hentakan beberapa puluh pasang kaki santri putri yang berlarian di depan rumah mereka. Bahkan, beberapa teman yang belum siap dengan jilbab mereka, sempat pula berkaca di jendela-jendela rumah para warga. Dan ternyata budaya mengaca pada jendela rumah orang merupakan budaya sebagian besar santri Mu’allimaat, tidak hanya santri di asrama Humairoh!he....
Asrama Humairo adalah satu-satunya asrama yang tidak berdekatan dengan asrama milik madrasah lainnya. Asrama kami terpencil di perkampungan penduduk. Dan asrama ini ternyata adalah rumah milik mantan Ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Alm. Ahmad Azhar Basyir. Ibu Lely Nailul Muna, ibu asrama kami, adalah salah seorang anaknya.
Pelajaran pertama. Muhaddatsah bersama abi A’la Subkhi. Kebetulan aku mendaptkan kelas B, kelas yang memiliki kemampuan bahas Arab pertengahan. Kelas dibagi berdasarkan tes bahas Arab. Aku tak tahu, kenapa aku bisa ditempatkan di kelas ini, bukan kelas C, padahal aku tak pernah belajar bahasa Arab ketika duduk di bangku SLTP. Aku hanya mempersiapkan bahasa Arab ketika akan berangkat ke Yogyakarta. Ketika itu Apa memberikan buku pengenalan bahasa Arab yang ada di rak bukunya. Hal demikian dilakukannya mengingat informasi bahwa salah satu tes memasuki madrasah ini adalah kemampuan bahasa Arab. Aku tak paham, saat pertama kali membuka buku tua itu. Sebagian besar caraku adalah menghapal beberapa kosakata dan percakapan bahasa Arab.
Abi memulai menulis tulisan Arab di papan tulis. Lalu menugaskan kami mencatat. Beberapa saat kemudian...
“Khalas???”, abi melontarkan pertanyaan yang tak kupahami.
“Lamma Biy...!!!”, sahut serentak murid. Duh, jawaban apalagi ini??
“Eh, artinya apa sih??”, tanyaku. Rasanya aku sudah pernah mengapal kaosakata itu, tapi aku sudah lupa. Beginilah nasib orang yang tak pernah belajar langsung bahasa Arab. Aku menyesali diriku yang mengisi jawaban tes bahas Arab dan menjawab sebagian pertanyaan ustadz ketika tes penempatan kelas sebelumnya.
Coba kalau aku kosongkansaja soal bahasa Arab itu, dan tak kujawab pertanyaan ustadz yang mengetes satu persatu murid baru dengan pertanyaan bahas Arab. Pasti enak deh, bisa ikut kurikulum siswa baru, belajar bahasa Arab dari nol! Tidak seperti saat ini, aku harus merangkak-rangkak memahami mata pelajaran bahas a Arab lanjutan yang diajarkan….
BERSAMBUNG……………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H