Secara geologis Pulau Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa, kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah solo. Kabupaten Pamekasan adalah salah satu dari empat kabupaten yang ada di pulau Madura. Budaya asli dari tanah Madura yang sudah terkenal sejak abad XIV Masehi adalah kebudayaan kerapan sapi.
Kerapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi di Pulau Madura yang mengandalkan salah satu asset di pulau garam ini yaitu sapi Madura. Kebudayaan ini sangat terlekat bagi masyarakat Madura yang telah turun temurun dilaksanakan, khususnya masyarakat pedesaan dan juga kerapan sapi ini merupakan ajang pesta rakyat. Kebudayaan ini telah berlangsung ratusan tahun yang diperkirakan dimulai kurang lebih enam sampai tujuh ratus tahun yang lalu hingga saat ini. Kerapan sapi dibuat untuk membantu masyarakat Madura dalam melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain.
Budaya kerapan sapi ini dapat mengintegrasikan nilai-nilai tradisional kedalam nilai-nilai modern. Budaya kerapan sapi yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh kebanggaan dan kehormatan, dapat dibuktikan dengan adanya pemberian semangat dan dukungan melalui alat-alat tradisional seperti adanya “Kaleles” dan membunyikan kaleng-kaleng bekas pada sapi sebagai alat tradisional khas Madura. Kerapan sapi memiliki fungsi budaya yang tidak lain adalah sebagai kebudayaan orisinil masyarakat Madura.
Nama kerapan memiliki asal usul dua versi, versi yang pertama menyebutkan bahwa istilah kerapan berasal dari kata “kerap” yang memiliki arti berangkat kemudian dilepas secara bersama-sama, sedangkan versi yang kedua menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang memiliki arti persahabatan. Sementara secara leksikal, kerapan berarti pacuan, sehingga kerapan sapi berarti pacuan sapi.
Kerapan sapi juga memiliki beberapa versi, yang pertama menjelaskan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke XIV Masehi pada waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang Kyai yang memiliki nama Pratanu. Versi selanjutnya menjelaskan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yang merupakan anak dari Panembahan Wlingi yang telah berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke XIV Masehi.
Jika kita cermati, di dalam kerapan sapi memiliki nilai-nilai yang terkandung dan dapat dijadikan acuan di dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang terkandung adalah kerja sama, kerja keras, ketertiban, persaingan, dan sportivitas. Kerapan sapi juga melibatkan sejumlah unsur kesenian yang terdiri atas seni musik dan seni pertunjukan.
Terdapat beberapa perubahan yang sudah terjadi di dalam kerapan sapi saat ini. Pada saat ini sapi tidak lagi merupakan sapi yang dipakai oleh petani untuk membajak sawah, dimana perawatannya juga membutuhkan biaya yang cukup mahal. Kerapan sapi juga merupakan hobi dan juga kesenangan, selain dijadikan kesenangan orang Madura menjadi pemilik sapi supaya bisa mencoba meningkatkan statusnya di dalam masyarakat. Karena jika memiliki sapi, walaupun tidak mampu pemilik sapi mengumumkan investasinya dan tanggung jawabnya pada tradisi Madura.
Dampak ekonomi bagi para pemilik sapi atau pengerap sapi tidak ada keuntungan yang diperoleh secara finansial, tetapi dengan adanya kerapan sapi bagi masyarakat dan pemerintah daerah mempunyai “Multiplayer Effect” yang sangat besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H