Pulau penyengat pada mulanya merupakan sebuah pulau terpencil dengan sedikit penghuni. Pulau kecil ini diberikan pada 1805 oleh Sultan Mahmud Syah sebagai penguasa Riau-Johor kepada Engku Putri sebagai hadiah perkawinannya, yang secara tidak langsung hal demikian menandai simbolis perpindahan kekuasaan riau dari dualisme kekuasaannya kepada keluarga Yang Dipertuan Muda Bugis. Lokasi geografis pulau penyengat, berada di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Raja yang mula-mula berperan untuk mengakomodasi pulau penyengat adalah Raja Ja’far dan Raja Ahmad. Raja Ja’far adalah seorang raja yang memiliki orientasi intelektual dan keagamaan yang cukup tinggi. Selain daripada itu, dibawah kekuasaannya pula, pulau penyengat menjadi suatu pulau yang memiliki pusat perekonomian yang sangat maju.Â
Pada 1831, raja jafar meninggal dalam keadaan telah berhasil membangun pulau penyengat menjadi suatu satu pusat pemerintahan dan budaya melayu. Pembangunan terus dilanjutkan saat anaknya, menggantikan posisi kepemimpinan di pulau penyengat, ia adalah Raja Abdul Rahman. Abdul Rahman tidak begitu bersahabat dengan belanda yang kafir, maka ia membangun masjid dengan posisi yang sangat mencolok menghadap pos kekuasaan belanda.
Selanjutnya pembangunan kerajaan dilanjutkan di masa raja ali. Ia adalah pemimpin yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pulau penyengat hingga menjadi suatu peradaban islam dan pusat kebudayaan melayu yang sangat maju.Â
Dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan dan Pendidikan ayahnya, Raja Ahmad telah memberikan semacam superioritas corak pemikirannya yang progressif. Ia berhasil menulis suatu historiografi melayu yang sangat apik, yang dituangkannya dalam naskah Tuhfat al Nafis.
Selain daripada itu, ia juga banyak menulis mengenai sastra, bahkan politik kegamaan yang berjudul tsamarat al muhimmah, Raja Ali memiliki pemikiran yang berbeda denga konsep raja sebagai wakil tuhan di muka bumi yang ditemukan dalam hikayat raja pasai atau sejarah melayu.
Pembangunan peradaban di pulau penyengat terus dilanjutkan, oleh pemimpin selanjutnya, yakni Raja Muhammad Yusuf. Ia berhasil membangun perpustakaan yang dinamai Kutub Khannah Marhum Ahmadi, kemudian mendirikan lembaga penerbitan yang Bernama Mathba’ah Arriauwiyyah, yang telah banyak melahirkan karya-karya besar. Ia juga membeli banyak buku dari mancanegara seperti mesir, mekkah dan india. Bahkan ia mendirikan fasilitas lembaga pengkajian islam yang diberinama Rusydiyyah Club.
Dalam hal ini, pulau penyengat yang semula hanya merupakan sebuah pulau dengan sedikit penghuni dan tidak terdapat sebuah peradaban yang begitu berkesan, telah berubah menjadi suatu pulau dengan pusat peradaban islam yang luhur dengan segala kepeduliannya terhadap budaya intelektual, sekaligus menjelma sebagai pusat kebudayaan melayu yang terus berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H