Memasuki era 2000-an, teknologi komunikasi berkembang sangat pesat. Sebelum adanya gadget pintar seperti sekarang ini, orang-orang dahulu menggunakan telepon kabel untuk berkomunikasi.
Di desa-desa, biasanya terdapat 'wartel' yaitu singkatan dari 'warung telepon'. Di desa saya pun ada benda seperti itu, letaknya di kantor kepala desa. Walapun saat itu sudah memasuki tahun 2006, wartel di desa saya masih tetap populer di kalangan warga desa.
Hanya beberapa orang saja yang sudah mempunyai telepon genggam. Itu pun masih berupa telepon dengan banyak tombol dan mempunyai antena di kepalanya. Ketika saya berumur empat tahun,
Ayah sering mengajak saya ke wartel. Setibanya disana, wartel tersebut sudah dipenuhi oleh antrian warga. Sambil mengantri, mereka biasanya berbincang- bincang, hingga bergosip mengenai tetangga-tetangganya sendiri.Tahun 2007 hingga sekarang mulai bermunculan telepon-telepon yang lebih canggih dari sebelumnya.
Telepon- telepon tersebut selain digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan, diisi pula oleh games dan aplikasi chatting seperti Blackberry Massanger dan Whatsapp yang dapat menambah keseruan bermain telepon genggam.
Ketika saya duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar, Ayah pernah membelikan saya benda seperti itu sebagai hadiah ulang tahun. Di dalamnya, terdapat banyak games dan aplikasi chatting yang sangat tidak menyenangkan jika tidak dimainkan sekali saja.
Memasuki tahun 2010 hingga sekarang telepon seluler dengan layar sentuh mulai populer. Dengan berkembangnya Android dan Ios, telepon-telepon tersebut semakin canggih karena di dalamnya dapat digunakan untuk mengambil foto, merekam video, mencari informasi dan data lewat Google, hingga menelepon jarak jauh dengan tatap muka yang disebut Video Call.
Tetapi, hal itu mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan sosial dimasyarakat. Semua orang berlomba-lomba untuk mempunyai telepon seluler secanggih mungkin dari yang kameranya satu hingga empat sekaligus.
Hal ini menimbulkan kehausan akan teknologi canggih. Setiap orang tidak akan pernah puas dengan apa yang di milikinya. Selain itu, keharmonisan dan keakraban sesama teman maupun keluarga menjadi kurang.
Contohnya saja, dalam kehidupan pribadi saya. Ketika pertengahan bulan Ramadhan, teman-teman SMP saya mengadakan acara Buka Bersama sembari reuni para alumni SMP.
Saat berkumpul, bukannya berbincang-bincang tentang kerinduan semasa SMP dulu atau tentang sekolah lanjutan yang baru, semua teman-teman saya malah terdiam menyendiri memandangi layar kaca telepon genggam milik masing-masing. Seolah semuanya larut dalam kehidupan mayanya.