Di era digital saat ini, berita tidak lagi hanya disebarluaskan melalui media cetak seperti koran dan majalah. Kini, informasi dapat dengan cepat menyebar melalui berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, X, dan lainnya. Media sosial itu sendiri menggunakan algoritma, yakni sistem berbasis aturan, sinyal, dan data yang menjadi dasar operasional platform tersebut. Algoritma ini berperan dalam menyaring, memberi peringkat, memilih, dan merekomendasikan konten kepada pengguna. Dengan cara ini, algoritma memengaruhi preferensi kita dan menentukan apa yang kita konsumsi di media sosial.
Algoritma media sosial memiliki pengaruh besar terhadap konten yang kita lihat di platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok. Pertama, algoritma mengumpulkan data dari interaksi pengguna, seperti like dan komentar untuk memprediksi konten yang paling menarik bagi mereka. Konten yang ditampilkan disesuaikan dengan preferensi pengguna, termasuk jenis konten yang sering mereka sukai atau bagikan. Selain itu, frekuensi interaksi dengan akun lain juga mempengaruhi tampilan feed, di mana konten dari akun yang sering berinteraksi akan lebih sering muncul. Waktu posting juga menjadi faktor penting, meskipun tidak selalu ditampilkan secara kronologis. Kualitas konten, seperti resolusi gambar dan kejelasan video ikut menentukan seberapa sering konten tersebut ditampilkan. Tidak hanya itu, kepentingan bisnis juga berperan, di mana konten dari akun yang membayar ads atau promosi cenderung mendapatkan prioritas lebih tinggi.
Algoritma media sosial menciptakan filter bubble yang merujuk pada kondisi di mana konten yang sering dicari, ditonton, atau disukai oleh pengguna akan terus muncul di beranda mereka. Dengan menggunakan algoritma ini, platform media sosial menyajikan informasi yang telah sering dikonsumsi dalam suatu "gelembung," yang mengakibatkan pengguna terisolasi dari berbagai jenis konten dan informasi lainnya. Akibatnya, pengguna hanya terpapar pada konten yang sesuai dengan minat dan preferensi mereka, sehingga mengurangi peluang untuk melihat perspektif atau informasi yang berbeda.
Situasi ini dapat berujung pada fenomena yang dikenal sebagai echo chamber, di mana pengguna hanya menerima informasi yang memperkuat keyakinan dan pandangan mereka. Dalam echo chamber, pengguna tidak hanya terpapar pada konten yang sejalan dengan pendapat mereka, tetapi juga cenderung mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan. Hal ini bisa menyebabkan konsumsi berlebihan, karena algoritma terus menyajikan konten terkait minat sebelumnya tanpa memberikan variasi atau sudut pandang alternatif.
Algoritma memainkan peran penting dalam aktivitas jurnalistik, terutama saat seseorang mencari berita di media sosial. Ketika pengguna melakukan pencarian untuk mendapatkan informasi terkini, algoritma yang digunakan oleh platform media sosial secara otomatis akan merekomendasikan berita yang dianggap relevan berdasarkan preferensi dan interaksi sebelumnya. Proses ini tidak hanya mencakup berita dari sumber yang sering diakses oleh pengguna, tetapi juga memfilter konten lainnya yang mungkin tidak sesuai dengan minat mereka. Akibatnya, pengguna cenderung terpapar pada informasi dari satu atau beberapa sumber tertentu saja, yang dapat mengarah pada ketidakberagaman perspektif. Fenomena ini dapat mengakibatkan pengguna hanya mempercayai satu sumber berita, karena mereka tidak mendapatkan akses yang cukup terhadap berbagai sudut pandang atau informasi alternatif. Dalam jangka panjang, situasi ini bisa mengurangi kemampuan pengguna untuk menganalisis dan mengevaluasi berita secara kritis, serta memperkuat pandangan yang sudah ada. Pengguna media sosial menjadi kurang mampu untuk mempertanyakan atau menganalisis informasi yang mereka terima. Mereka bisa saja menerima berita tanpa melakukan verifikasi atau pencarian fakta yang berpotensi menyebabkan penyebaran informasi yang salah atau bias. Ketidakmampuan ini juga dapat memperkuat keyakinan yang sudah ada, sehingga pengguna semakin yakin akan kebenaran pandangan mereka sendiri tanpa mempertimbangkan argumen atau bukti dari sumber lain.
Lebih jauh lagi, ketika masyarakat secara keseluruhan terjebak dalam pola pikir semacam ini, hal tersebut dapat berdampak pada diskusi publik dan menurunkan kualitas debat di ruang publik. Ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan ide-ide yang berbeda dapat menciptakan polarisasi dalam masyarakat, di mana individu atau kelompok saling menolak dan enggan mendengarkan satu sama lain.
Untuk mengatasi masalah filter bubble dan echo chamber yang berdampak pada jurnalisme, beberapa solusi dapat diimplementasikan baik oleh individu maupun oleh pihak terkait seperti pemerintah dan perusahaan media sosial. Pertama, individu perlu meningkatkan literasi media agar dapat memahami cara kerja media sosial dan algoritma yang mendasarinya. Dengan literasi media yang baik, pengguna dapat lebih kritis dalam mengevaluasi informasi yang mereka terima dan tidak mudah terjebak dalam konten yang hanya memperkuat pandangan mereka. Selain itu, penting bagi pengguna untuk mendiversifikasi sumber informasi dengan mengikuti berbagai akun dan sumber berita yang menyajikan perspektif berbeda. Hal ini akan memperluas wawasan mereka dan mengurangi risiko terjebak dalam filter bubble. Pengguna juga harus selalu berpikir kritis, mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima, melakukan verifikasi fakta, dan mencari sumber yang kredibel. Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial juga dapat membantu pengguna tidak terlalu terpapar pada konten yang disajikan algoritma dan memberi ruang untuk mencari informasi di luar platform sosial.
Di sisi lain, pemerintah dan perusahaan pers memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk mendidik masyarakat tentang literasi media dan bahaya dari filter bubble serta echo chamber melalui program-program edukasi. Perusahaan pers juga harus berusaha mengembangkan algoritma yang lebih transparan, memprioritaskan kevaliditas informasi daripada hanya memenuhi preferensi pengguna, serta memberikan kontrol lebih besar kepada pengguna atas jenis konten yang ingin mereka lihat. Regulasi terhadap penyebaran informasi di media sosial, terutama terkait berita palsu dan konten menyesatkan juga bisa dipertimbangkan untuk menjaga kualitas informasi di masyarakat. Selain itu, menciptakan ruang bagi diskusi terbuka dan dialog antar individu dengan pandangan berbeda dapat membantu mengurangi polarisasi. Platform media sosial dapat menyediakan fitur atau forum untuk mendorong interaksi antara pengguna dengan latar belakang pemikiran yang berbeda. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, diharapkan masyarakat dapat mengurangi dampak negatif dari filter bubble dan echo chamber serta meningkatkan kualitas diskusi publik dalam konteks jurnalisme dan informasi secara umum.
Penulis :Â Syifa Putri Aulia, Mahasiwa Jurnalistik semester 5, UIN Syarif Hidayatullah JakartaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H