Mohon tunggu...
Syifa Khoirul Hafidz
Syifa Khoirul Hafidz Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Menulis seputar buku, self improvement, dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Flexing Culture: Gaya Hidup Kekinian atau Sekadar Tren Pencitraan di Media Sosial?

9 Januari 2025   20:55 Diperbarui: 9 Januari 2025   20:51 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memotret konten makanan (Sumber: Unsplash/Kredit photo: Eaters Collective)

Siapa sih yang tidak tahu dengan istilah flexing? Mulai dari pamer barang-barang mewah hingga gaya hidup super glamor, semua bisa dilihat dengan mudah di media sosial. Di Instagram, TikTok, bahkan Twitter, flexing seakan menjadi tren yang sulit untuk dihindari. Namun, di balik semua itu, apakah flexing ini benar-benar mencerminkan gaya hidup kekinian atau justru hanya sekadar pencitraan belaka?

Pada dasarnya, flexing bisa dibilang adalah bentuk ekspresi diri. Ada orang yang dengan bangga menunjukkan keberhasilan mereka---misalnya membeli mobil impian atau menikmati liburan mewah---sebagai bentuk perayaan. Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk berbagi kebahagiaan dan pencapaian dengan orang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa melihat orang lain berhasil bisa jadi motivasi untuk bekerja lebih keras, mencapai tujuan, dan hidup lebih baik.

Namun, ada sisi lain dari flexing yang lebih mengarah ke pencitraan. Di media sosial, kita sering melihat orang yang memamerkan barang atau gaya hidup yang mereka seolah-olah miliki, padahal kenyataannya jauh berbeda. Beberapa orang mungkin merasa terdorong untuk menunjukkan sisi terbaik hidup mereka, meskipun itu bukanlah hal yang benar-benar mereka jalani. Entah itu foto di restoran mewah yang sebenarnya cuma sebuah staging, atau liburan ke luar negeri yang ternyata hasil sponsored post.

Yang lebih menarik adalah dampak dari fenomena ini terhadap kita sebagai pengguna media sosial. Ketika kita melihat orang lain flexing, kadang-kadang kita merasa tertinggal atau tidak cukup. Perasaan itu bisa membuat kita merasa minder, apalagi jika apa yang kita lihat di media sosial tidak sesuai dengan kenyataan hidup kita. Inilah yang seringkali disebut sebagai "insecurity". Banyak dari kita yang tanpa sadar terjebak dalam perbandingan sosial dan merasa harus memiliki apa yang orang lain miliki agar bisa dianggap sukses atau bahagia.

Namun, sebenarnya ada hal yang lebih dalam lagi yang perlu kita pikirkan. Media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan yang utuh. Di balik foto mewah dan cerita sukses, seringkali ada usaha dan perjuangan yang tidak terlihat. Bahkan, ada pula yang terjebak dalam perasaan terpaksa untuk tampil sempurna hanya demi mendapatkan perhatian atau popularitas. Ini adalah sisi negatif dari flexing, yang kadang-kadang bisa merusak kesehatan mental baik bagi si pemilik akun maupun bagi pengikutnya.

Jadi, apakah flexing ini adalah bagian dari gaya hidup kekinian yang harus kita terima atau hanya sekadar tren pencitraan semata? Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana kita memandangnya. Kalau kamu termasuk orang yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk berbagi pencapaian, pengalaman, atau momen bahagia, itu sebenarnya sah-sah saja. Asalkan, kamu juga sadar bahwa apa yang kamu tampilkan di dunia maya tidak selalu mencerminkan kenyataan utuh. Jangan biarkan diri terjebak dalam ilusi kesempurnaan yang tidak ada habisnya.

Sebaliknya, jika kamu merasa media sosial membuatmu merasa lebih buruk tentang dirimu sendiri, atau kamu mulai terjebak dalam perasaan harus "pamer" untuk diterima, mungkin sudah waktunya untuk meninjau kembali cara kamu berinteraksi dengan dunia maya. Ingat, hidup di luar sana jauh lebih berwarna dan lebih kaya daripada apa yang kita lihat di layar.

Fenomena flexing memang menarik untuk dibicarakan, apalagi di zaman sekarang di mana banyak orang merasa perlu untuk membuktikan sesuatu kepada dunia. Namun, penting untuk tetap bijak dalam menilai dan menghadapinya. Jangan sampai apa yang kita lihat dan konsumsi di media sosial malah membuat kita melupakan hal-hal penting yang lebih bermakna dalam hidup, seperti kebahagiaan, hubungan yang sehat, dan pencapaian pribadi yang sesungguhnya.

Kita semua punya cara berbeda dalam merayakan hidup dan kesuksesan kita. Yang paling penting adalah tetap autentik, jujur pada diri sendiri, dan tidak terjebak dalam pencitraan yang hanya sementara. Flexing boleh saja, tapi jangan sampai itu mengubah siapa kita sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun