Sudah hampir menginjak dua tahun terhitung sejak bulan Maret 2020 pandemi Covid-19 di Indonesia masih menjadi prioritas penanganan untuk menekan angka positif. Apabila mengutip data dari Covid19.go.id pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini telah menjangkit sekitar 4.261.879 orang dengan jumlah kematian sebesar 144.063 dan 4.113.320 diantaranya telah dinyatakan sembuh.
Meskipun perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah yang sembuh dari Covid-19 sendiri memiliki selisih yang sangat jauh, namun hal ini jangan sampai membuat lengah dan menganggap bahwa pandemi Covid-19 telah usai. Pada faktanya berbagai varian dari Covid-19 terus bermutasi.Varian terbaru yang ditemukan adalah jenis SARS-CoV- 2 B.1.1.529 yang pertama kali dilaporkan kepada WHO pada 24 November 2021 di Afrika Selatan, varian baru ini memiliki karakteristik dengan tingkat penularannya yang lebih cepat dan telah menyebar ke berbagai negara lain di dunia, salah satunya di Indonesia.
Kasus Omicron di Indonesia sendiri pertama kali terkonfirmasi pada 15 Desember 2021 setelah menginfeksi seorang petugas kebersihan di RSDC Wisma Atlet, Jakarta. Penularan varian Omicron kemudian menyebar dengan sangat cepat dan hingga tulisan ini ditulis (28/12/2021) ada 46 kasus yang terkonfirmasi positif varian Omicron. Mengingat kondisi yang mengkhawatirkan tersebut, pemerintah, melalui Satgas Penangangan Covid-19, melakukan berbagai upaya mitigasi serta merancang mekanisme terbaru untuk menekan penyebaran varian Omicron yang kemudian dituangkan di dalam Surat Edaran Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Namun yang menarik dari surat edaran tersebut adalah mengenai pembedaan antara aturan karantina masyarakat dengan pejabat pemerintahan. Dalam ketentuan tersebut warga Warga Negara Indonesia (WNI) yang bukan termasuk ke dalam kategori ASN, Pekerja Migran Indonesia (PMI), maupun pelajar dan mahasiswa yang telah menempuh studi di luar negeri, dan Warga Negara Asing (WNA) yang telah tiba dari luar negeri harus melakukan karantina di hotel menggunakan biayanya sendiri selama 10 hari dan tidak boleh melakukan karantina di Wisma Atlet maupun di rumah sendiri. Hal tersebut berkebalikan dengan WNI pejabat eselon tingkat I yang memiliki dispensasi pengurangan durasi dalam menjalankan karantina melalui berbagai pertimbangan dan ketentuan tugas serta diperbolehkan melakukan karantina di rumahnya masing-masing setelah kepulangannya dari luar negeri.
Tentunya perbedaan dalam menjalankan mekanisme karantina tersebut menjadi persoalan yang sekarang hangat dibicarakan oleh masyarakat dan menganggap bahwa hal tersebut tidak adil. Berbagai kritikan pun dilayangkan oleh masyarakat, bahkan beberapa tokoh pun ikut terlibat mempertanyakan kebijakan ini, salah satunya oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui cuitan di akun Twitternya, ia mempertanyakan aturan karatina tersebut yang berbeda, ia bahkan secara lebih jauh mempertanyakan pula alasan mengapa pejabat yang boleh berhemat sedangkan masyarakat tidak boleh berhemat.
Kritikan lainnya dilontarkan oleh Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman yang menyebutkan bahwa pada dasarnya kebijakan karantina mandiri tersebut harus berlaku setara kepada masyarakat yang telah memenuhi kriteria dan dapat bertanggungjawab melakukan karantina mandiri di rumahnya masing-masing atau melakukan kerja sama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk menekan biaya karantina dengan tujuan tidak membenani masyarakat.
Menanggapi kritikan tersebut, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan supaya mereka tetap mampu menjalankan tugas kenegaraan sehingga dapat memberikan pelayanan untuk publik secara maksimal. Ia menjelaskan secara lebih lanjut bahwa kebijakan tersebut juga sudah memperhatikan berbagai ketentuan yang telah diatur dan pemberlakuan dispensasi tersebut hanya berlaku bagi pejabat yang bersangkutan dan tidak berlaku bagi keluarganya.
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Koordinator PPKM Jawa-Bali sekaligus Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebutkan bahwa aturan tersebut telah diberlakukan secara universal diberbagai negara, ia menegaskan aturan tersebut sudah dikaji dan merupakan masukan dari berbagai pakar dengan berlandaskan data. Ia menekankan bahwa tidak seharusnya antara pejabat dengan masyarakat dibenturkan karena persoalan ini dan meminta media massa untuk tidak memuat berita yang bersifat kontradiktif dalam upaya pemerintah menangani Covid-19.
Apabila ditinjau kembali mengenai persoalan ini, maka sudah seharusnya pemerintah melakukan peninjauan ulang mengenai kebijakan karantina ini agar tidak terdapat perasaan diskriminatif di tengah masyarakat. Memang pada dasarnya tujuan yang hendak diterapkan oleh pemerintah juga bertujuan untuk dapat menjalankan fungsi pemerintahan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, akan tetapi dalam pengimplementasian kebijakannya cenderung tidak arif jika terdapat kontradiksi kebijakan karantina pejabat dengan masyarakat umum.
Disatu sisi juga pemerintah perlu melakukan kebijakan yang lebih tegas mengenai aturan penerbangan dan bepergian ke luar negeri sehingga kasus-kasus Covid-19 dapat diminimalisir, hal ini yang juga perlu disadari oleh masyarakat bahwa pandemi belumlah usai, selain itu juga masyarakat wajib untuk mentaati prosedur kekarantinaan serta aturan untuk menerapkan protokol kesehatan 5M.
Maka dari itu, kebijakan mengenai karantina seharusnya tidak perlu dibedakan sebab persoalan utamanya terletak kepada mekanisme karantina itu sendiri, lebih bijak lagi apabila pemerintah sebaiknya mempertimbangkan dan memberikan mekanisme yang lebih jelas mengenai aturan karantina tersebut, sebagai gantinya hal tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan ketat terhadap masyarakat maupun para pejabat yang telah bertugas dan datang dari luar negeri. Bagaimanapun juga pandemi tidak melihat status sosial seseorang, siapapun dapat terinfeksi Covid-19.